Epilog

5.1K 201 34
                                    

"Kamu yakin, Laura?" tanya Maria yang kini tengah membuka kacamata dan meletakannya di atas meja.

Ku anggukan kepala. "Yakin, Bu. Influencers Awards akan jadi event terakhir saya."

Ia mendecak. "Padahal saya sudah cocok sama kamu. Kerja kamu bagus, banget malahan. Personality kamu juga sangat suits perusahaan ini. Tapi saya tidak bisa menahan langkah untuk mewujudkan mimpi kamu." Maria mengangkat satu tangannya di udara. Wajahnya terlihat kecewa.

Aku bingung harus menanggapi dengan apa. Jadi aku memilih untuk menjawab dengan senyuman. Hal ini membuat atmosfer kecanggungan antara kami.

Maria menghela napas. "Bilang ke bagian HRD untuk sebar lowongan kerja untuk ganti posisi kamu. Kalo ada saran kandidat kamu boleh kasih tau saya. Berkas kamu nanti biar saya suruh asisten siapkan. Mungkin dua hari sebelum acara terakhir kamu bisa ambil."

Ku anggukan kepala. " Baik, Bu. Terimakasih banyak."

Maria hanya mengangguk. Kemudian menyodorkan tangannya yang ku terima. "Semoga sukses ya. Kalau butuh bantuan, jangan sungkan hubungi saya."

Lagi-lagi aku hanya mengangguk. "Terimakasih banyak untuk segala hal selama saya kerja di sini. Ibu memberikan saya banyak pengetahuan."

Ia pun hanya menanggapi dengan senyum. Karena posisi salaman kami kini berdiri. Setelah salaman itu selesai aku segera permisi keluar ruangan.

Begitu keluar ruangan, rasanya kepala ringan sekali. Seperti aku meninggalkan segala beban di dalam ruangan Maria. Tiba-tiba saja aku dalam mood yang sangat baik begitu kembali ke ruanganku.

Alasan resign selain ingin fokus pada firma, aku juga ingin memberi ruang untuk diri agar tidak terlalu berambisi pada kerjaan. Jika hanya mengurus firma saja kan setidaknya aku tidak mengerjakan  segalanya sendirian. Athena memberi laporan bahwa tim kami sudah bertambah. Bekerja tim dalam menangani kasus tentu akan sangat meringankan.

Usiaku akan menginjak kepala tiga tahun depan. Banyak sekali yang terjadi tanpa disadari. Semua yang terjadi seiring berjalannya waktu seakan sulit untuk dirangkum jadi satu. Pertemuan dengan Keanu yang ku pikir akan ada keberlanjutan rupanya berhenti sebelum titik mulai, begitupun dengan sosok Fadli yang sudah dikenal lama tapi bukan jodoh, lalu semua seakan diakhiri oleh kisah paling naifku dengan Dimas. Aku melewati tiga fase menyakitkan secara berurutan hingga pada akhirnya mendapatkan sebuah pemahaman. Pemahaman tentang cinta yang memang tak bisa dikehendakan oleh manusia melainkan sang pencipta.

Pertemuan dengan Keanu memang manis yang berakhir pahit, tapi aku jadi sadar bahwa cerita romansa ala novel yang dapat menimbulkan cinta hanya pada kejadian di satu malam itu tidak ada. Begitupun denganku dan Fadli. Kami saling tahu, kenal, dan cocok. Tapi memang tidak bisa bersatu. Sementara Dimas, ia adalah kesalahan terhebat. Jika saja dari awal aku tidak terlalu naif menafsirkan segala sikap manisnya padaku sebagai cinta, dan agak lebih peka lagi mungkin semua tidak akan seberantakan sekarang.

Jika ditanya bagaimana keadaanku sekarang, aku akan menjawab tidak baik namun tidak buruk. Aku tidak mau berbohong dan terlalu keras lagi pada diri sendiri, aku merasa lelah dan sakit hati sekarang. Bukankah itu manusiawi?

Jauh di dalam lubuk hati, rasa sakit itu masih ada dan lukanya masih basah. Tapi hati besar bisa menerima sebagaimana mestinya. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk menemukan cinta walaupun dengan usia matang, dan ku rasa tidak ada salahnya.

Aku sudah dibuat tidak berasa dengan omongan orang-orang. Jika mengikuti keidealisan agar mampu mengubah pemikiran mereka dengan cara menjadi apa yang mereka mau, bisakah aku mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 07, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CelibateWhere stories live. Discover now