20. Peningkatan persentase

1.5K 156 3
                                    

Aku keluar dari ruangan yang digunakan untuk presentasi. Membawa dua map dengan isi surat-surat dari dua perusahaan berbeda. Tangan kananku pun tidak bebas begitu saja melainkan menenteng tas berisi laptop.

Mobil sengaja ku tinggal di kantor karena memang aku harus kembali ke kantor dulu untuk mengamankan surat-surat perizinan dan persetujun pemerintah di brangkas. Melihat ada meja bar yang menempel dengan dinding di sudut ruangan, aku langsung berlari ke sana. Meletakan map dan tas laptop kemudian merogoh tas untuk mencari ponsel.

Benda tipis itu berhasil ku temukan setelah megubek-ubek tas. Aku mencari kontak supir kantor untuk menghubungi bahwa aku sudah selesai meeting.

Panggilan pertama, tidak ada jawaban. Dilanjut ke panggilan kedua yang bernasib tidak beda jauh. Tapi bukan Laura namanya jika langsung menyerah. Jadi aku kembali mengulangi panggilan sampai mungkin yang ke sepuluh kali dan baru mendapat jawaban.

"Hallo, Pak Toto aku udah selesai. Bapak dimana? Cepet jemput Pak, aku harus pergi lagi soalnya."

"Halo, Mba Laura. Uhm anu Mba, saya nda bisa jemput."

Tiba-tiba saja darahku seakan menaik dari kaki menuju dada. "Kenapa?" satu kata yang mengekspresikan kekesalan.

"Anak saya kecelakaan motor, Mba. Sekarang di rumah sakit, saya harus ke sana soalnya masuk UGD, Mba. Maaf banget toh Mba. Saya udah kabari Bu Maria juga, beliau kasih izin tapi saya harus minta maaf sama Mba Laura." Suara memelas dengan aksen jawa terdengar di rongga telingaku membuat iba.

Aku melihat jam tangan di lengan kiri, menyadari sudah pukul 6 sore dan janji makan malam dengan orangtua Dimas tinggal sisa satu jam lagi. Tapi aku tidak bisa menyalahkan Pak Toto atas kejadian ini.

Ku hela napas pasrah, "yaudah gapapa. Cepat sembuh ya buat anaknya."

"Iya, Mba makasi banyak."

"Iya, Pak. Selamat sore." setelah mengucapkan salam aku memutus sambungannya.

Jika aku memutuskan untuk naik angkutan umum seperti busway sudah pasti tidak akan sampai tepat waktu, begitupun taksi. Jadi terpaksa aku memesan ojek online agar bisa tiba tepat waktu di acara makan malam.

Setelah menunggu sepuluh menit, ojekku pun datang. Aku langsung lari keluar gedung mencari si tukang ojek yang memilki tempat pemberhentiannya sendiri. Sungguh, semuanya menggunakan atribut yang sama, aku jadi pusing sendiri.

Setelah melihat plat nomor yang sama dengan di aplikasi, aku menghampirinya. "Mas, atas nama Laura?"

"Iya, Mba."

"Nah bener,"

Tukang ojek itu memberikan helmnya padaku untuk dikenakan. Kemudian aku menitip tas laptop untuk disangkutkan di bagian depan motornya. Bagus hari itu aku pakai celana bahan bermodel cutbray jadi tidak masalah duduk ngangkang.

"Mas ngebut ya, saya ada janji soalnya."

"Siap, Mba." Mas-mas tukang ojek itu pun ngebut.

Tidak ada persiapan dariku untuk naik motor, dan sialnya si tukang ojek ini juga kehabisan penutup mulut dan rambut. Alhasil, wajah dengan full make up ini tertiup angin jalanan. Persetan, yang penting sampai tepat waktu.

Jam pulang kantor di hari produktif seperti rabu, apa yang diharapkan dari jalanan jakarta selain tidak macet? Aku terjebak macet di setiap lampu merah dan peremptan jalan. Kisaran 15 menit di setiap lampu merah dan 10 menit untuk perempatan jalan. Kantor pemerintah dan kantorku yang berjarak 13km itu pun kami tempuh hampir satu jam. Dan, Yap, aku terlambat diacara penting dengan Dimas.

CelibateWhere stories live. Discover now