25. Kasihan

1.2K 117 1
                                    

Mata terasa sulit terbuka lebar. Membengkak hingga menyulitkan untuk mengedip. Aku terlihat seperti sampah. Benar-benar sampah dengan rambut berantakan yang lepek, mata bengkak, dan tubuh lemas.

Drtt..drt...

Ponsel bergetar dari atas nakas. Sialnya, terlalu malas untuk merampas benda tipis itu. Setelah seharian menangisi nasib, aku terbangun dini hari dengan pikiran kalut. Aku memikirkan bagaimana memperbaiki imej diri dan keluarga. Rasanya seperti melempar kotoran ke wajah orangtua. Sialnya aku yang merasa bersalah walaupun kenyataan bukan aku yang salah.

Tling..

Tling..

Suara notifikasi terus bunyi dari semalam. Persetan dengan semua pekerjaan dan siapapun itu yang menghubungiku, sekarang Laura hanya ingin memanusiakan diri dengan merasa patah hati.

Kata-kata Dimas terputar dengan detail dan rapih layaknya potongan reff dari sebuah lagu. Mengalun di kepala yang menimbulkan sesak di dada. Mengapa ia tega? Apakah aku benar-benar tidak pantas mendapatkan sebuah cinta yang tulus dari seseorang? Apakah aku terlalu buruk untuk dicintai? Adakah yang salah dengan diri ini?

Pertanyaan demi pertanyaan yang muncul setelah recall kejadian kemarin membuat kepala terasa berat. Lagi-lagi menjatuhkannya di atas bantal dengan sprei yang mulai sedikit kering dari airmata.

Airmata itu mulai jatuh lagi saat pandangan lurus ke langit-langit kamar. Membayangkan semua yang sudah terjadi dan yang akan terjadi membuatku merasa ingin bunuh diri. Malu, kecewa, dan sakit hati. Bukankan tiga hal itu adalah rasa paling sialan? Aku merasakannya dalam satu momen dan benar-benar gila.

Dada kembali sesak dan isak itu mulai keluar. Walaupun mencoba untuk menahan suara tapi nyatanya hati mulai menguasai dan memerintahkan otak untuk melepaskan apa yang dirasakan. Menangis dan menangis sampai tubuh terasa kembali lelah dan mata mulai memejam.

***
Usapan lembut di kepala membuatku terjaga. Mata itu mulai terbuka karena menyadari bahwa ada seseorang bersamaku di sana. Samar-samar namun pasti, seorang wanita paruh baya tengah duduk dan tersenyum ke arahku.

"Makan ya," ujar Ibu.

Hati ini rasanya seakan diremas melihat senyum tulus itu. Dadaku kembali sesak. Bibir pun bergerak ke bawah dengan kendali hati. Dan lagi, melihat wajah ibu aku kembali menangis. Dimas benar-benar sialan. Ia menjadi penyebab aib keluargaku.

Aku langsung bangkit dan memeluk tubuh yang mulai rapuh itu. "Ibu maafin Laura," berusaha sekuat mungkin untuk mengucapkannya.

"Kenapa kamu?" merasa bingung, ia tidak memelukku balik.

Aku melepaskannya. Menatap manik mata itu. Berpikir apakah sekarang waktu yang tepat untuk bercerita padanya tentang apa yang terjadi. Kepala terasa berat sekali seketika.

Aku memundurkan posisiku, bersandar pada sandaran tempat tidur dan memijit pelan pelipis. "Pusing," gumamku tanpa sadar.

"Makan dulu, kamu belum makan dari kemarin nanti sakit." Ujar Ibu yang mulai meraih sendok.

Ku tatap lagi matanya, pandangan kami bertemu. Nanti atau sekarang, ibu juga akan tahu. Mencoba mengumpulkan keberanian, aku menghela napas dalam. Mata sudah terasa panas lagi mengingat kejadian kemarin.

"Bu," dengan tidak percaya diri, suara mulai keluar.

"Apa?" tanggapnya yang masih fokus pada makanan di piring.

"Aku gajadi nikah." Akhirnya kalimat ajaib itu terlontar.

Sendok yang semula bergerak pun mendadak berhenti. Ia menoleh, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kilat marah dan kecewa namun lebih banyak rasa iba.

Reflek ku genggam tangannya. "Dimas bisex, Bu. A-aku gatau harus gimana." Tangisku pecah lagi.

Tubuh yang sudah ringkih itu menarikku ke dalam pelukannya. Sudah lama aku dan Ibu tidak berpelukan seperti ini. Rasanya nyaman sekali. Lebih nyaman dibanding kasur yang sudah ku gunakan semalaman untuk menangis.

"Namanya belum jodoh," suara pelan nan lembut itu terdengar di rongga telinga dibarengi usapan lembut dari ujung kepala hingga punggung.

"Tuhan baik lho sama kamu. Dikasih tahunya sebelum kalian sah, coba kalau nanti pas sudah berumah tangga? Kamu bisa lebih sakit hati dari ini." Lanjutnya yang malah membuatku menangis hebat.

Ibu melepaskan pelukannya dariku. Kini dia menggengam tanganku erat dan menatap mata yang sudah sembab ini. Tangannya bergerak mengusap sisi dahiku dan berakhir dengan menyelipkan rambut ke belakang kuping. Ia tersenyum tipis. "Maafin Ibu ya."

Mataku sedikit membelak, namun tidak ada kata yang mampu keluar dari bibir. Mencoba mencerna untuk apa permintaan maaf itu.

"Kalau aja Ibu, Nenek, dan semua yang ada disini ga terlalu maksa kamu untuk nikah. Mungkin kamu ga harus terburu-buru dan berakhir sakit hati seperti sekarang." Rasa tulus itu bisa dirasakan dari nada bicaranya. Penuh penyesalan dan anehnya hal ini membuatku sedikit tenang. Terasa seperti sugesti agar tidak perlu terburu-buru dan memaksakan kehendak untuk merasakan cinta.

"Mulai sekarang, lakukan apapun yang buat kamu bahagia. Kalau belum siap nikah, jangan dipaksa. Semua harus perlu kemantapan hati." Sudut bibir Ibu tertarik ke atas, membentuk sebuah senyuman. Sungguh rasanya tenang sekali sekarang.

"Nenek sama yang lain gimana, Bu?" pertanyaan ini terlontar begitu saja dari bibirku.

"Nanti biar Ibu yang bicara ke mereka. Kamu tenangin diri dulu aja, mereka akan paham. Kita kan keluarga."

Aku menghela napas kembali. Ini bukanlah titik terang dari masalah. Setelah satu keluarga tahu dan mereka memberitahukannya pada mantan calon tamu undangan, akan ada bercak hitam pada keluargaku. Hal ini pastinya akan menjadi gosip panas yang akan selalu dibicarakan mereka. Rasa iba padaku layakanya terkena virus mematikan pasti akan terjadi dalam beberapa hari ke depan. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi kehidupan setelah ini yang penuh dengan iba dari orang-orang. Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa seorang Laura akan merasakan dikasihani.

Continued

CelibateWhere stories live. Discover now