28. Undangan

1.7K 136 1
                                    

Persiapan event launching produk baru sudah sampai 80%. Persoalan dengan JFW pun sudah selesai tiga hari setelah aku kembali masuk kantor. Dan event paling akhir yaitu Influencers Awards sudah mulai memasuki tahap 50%. Memang agak lama, karena event ini akan menjadi acara penghargaan paling besar di Indonesia. Maria senang bukan kepalang dengan hasil kerjaku yang cepat menangani krisis semacam kasus dengan JFW kemarin. Saking senangnya ia sampai memberiku dress keluaran Versace sebagai bonus. Walaupun aku bisa membelinya dengan gaji sendiri, tapi pemberian mewah nan gratis ini tentu saja membuatku senang.

Cklek.

Pintu ruanganku terbuka, menampilkan sosok pria tinggi dengan setelan rapih. "Boleh masuk?" tanyanya sembari masuk ke dalam.

Aku hanya tertawa kecil, "udah masuk juga pake nanya." Ku gelengkan kepala.

Fadli tertawa, kemudian mendekat ke arahku. Ia tampak melihat ke monitor komputer. "Ngerjain apa?"

"Release buat media." Jawabku sembari ikut melihat layar monitor lalu beralih ke arahnya.

Ia mengangguk sembari membulatkan mulut berbentuk huruf o. "Sibuk ya?"

Ku gelengkan kepala. "Engga terlalu si. Kenapa?"

"Uhm...," ia menggumam kemudian mengeluarkan sebuah benda berukuran persegi panjang dengan pita manis warna merah di bagian tengah. "Mau kasih ini aja sii, hehehe." Ia meletakannya di atas mejaku.

Ku raih benda itu. Benda yang membuat rasa sesak itu datang karena teringat akan sesuatu yang pernah ku genggam dengan bahagia dulu. Manis sekali ada hiasan pita merah yang senada dengan undangan berwarna putih gading. Ku lihat ada nama Fadli dan Jesica tertera di sana. Tepat di bagian atas pita yang di tengah.

"Lo..., nikah?" mataku kini menatapnya dengan bingung.

Ia mengangguk cepat dengan girang. "Gue sebenernya udah mau curhat sama lo tentang dia, tapi lo jarang di kantor jadi yaudah lo terima beresnya aja kaya gini deh."

Aneh, hatiku tidak terasa sakit sama sekali melainkan senang melihat Fadli dengan orang lain. Rasanya seakan dosa menyakiti hati Fadli kala itu terhapus.

"Selamat ya," aku menjulurkan tangan yang ia terima untuk berjabat. Namun detik berikutnya, ia malah beralih memelukku. Erat sekali.

"Makasih." Ujarnya dalam pelukan.

Aku terdiam, mencoba menalar suasana dan mengartikan pelukannya.

"Sama-sama." Ujarku sembari mengusap-usap punggungnya.

Ia pun melepaskan pelukannya, menatapku dengan tatapan iba dan aku tahu kalimat selanjutnya yang akan terlontar dari bibir.

"El, I am sorry for what you've been through. Gue—,"

"Iam fine. It's been a month." Sebelum ia melanjutkan kalimatnya, aku menyanggah terlebih dahulu. Sudah cukup aku menerima rasa iba dari banyak orang kantor selama sebulan, dan lama-kelamaan aku jengah terus dikasihani.

Ia menatapku dalam yang ku balas dengan anggukan dan senyum. Membuat tangan besar yang pernah ku genggam itu mendarat di kepala dan mengusap puncak kepalaku gemas. "Gue tahu kok lo emang kuat. Karena kuat itu sifat lo, bukan sikap. Dan sifat ga akan hilang sampai kapan pun."

Ku anggukan kepala beberapa kali. "Cukup setuju. Gue lagi ga mau merusak mood yang mau nikah soalnya." Candaku yang diakhiri tawa.

Fadli tertawa renyah. "Asli ngurusin nikahan ribet banget ya. Apalagi gue sama dia ada turunan Tionghoa, pake lah acara Sangjit, mana nikahan harus di gedung. Sewa WO tapi tetep aja cewe gue masih minta buat kita yang milih souvenir, katering, fitting dan segala macem. Sama aja ga pake WO ini mah, gue ribet-ribet juga." Curhat Fadli mengalir begitu saja.

"Namanya juga sekali seumur hidup. Wajar ribet."

"Iya sih. Tapi waktu gue jadi kebagi lebih banyak. Kantor aja harus ketemu klien, abis meeting sama klien gue langsung jemput si Jesi di kantornya terus ketemu WO. Tiap hari kaya gitu pegel juga kan."

Ku anggukan kepala setuju. "Apalagi gue waktu itu udah ketemu WO terus ketemu EO buat event kantor. Ketemu media juga lagi. Sibuk banget pokoknya mah."

"Iya ya, keren juga lo bisa ngurus semuanya. Jadi merasa kalah gini gue ngeluh depan lo."

Kedua pundak ku angkat sembari memberikan ekspresi angkuh. "Ya gimana ya, gue multi tasking banget sih."

"Nyesel gue udah puji anak sombong." Fadli menggelengkan kepalanya sembari memberikan ekspresi malas.

Drtt...drt..

Getar dibarengi sedikit dering dari ponsel berbunyi menginterupsi obrolan ringan kami. Fadli merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Melihat sebuah nama tertera di layar ponselnya, ia langsung buru-buru mengangkat.

"Halo sayang? Hah hari ini ya? aduh aku lupa... iya-iya aku kesana sekarang." Fadli tampak berbicara dengan sekali tarikan napas. Raut wajahnya berubah panik.

"Iya oke sayang. See you." Ujarnya kemudian menutup telepon.

"Aduh, El. Gue harus cabut kayanya. Gue lupa hari ini ada janji fitting kedua. Gue pergi dulu ya. Bye." Fadli segera melangkah menjauh dengan sedikit berlari, kemudian menghilang di balik pintu ruangan.

Bahkan aku belum sempat menjawab perkataannya, Fadli sudah hilang begitu saja. Ia tampak sangat antusias. Hal ini membuatku sadar bahwa aku sangat naif kemarin menafsirkan Dimas mencintaiku padahal tak pernah sekali pun ia rela mengorbankan waktu demi mengurus pernikahan seperti Fadli. Rasanya memang hanya ada Laura yang terjebak dalam ambisi cepat menikahnya. Ck, seperti mengurus pernikahan khayalan karena tidak berakhir nyata.

Continued

CelibateWhere stories live. Discover now