Satu

34.6K 2.4K 42
                                    

Multimedia: Bubble tea

Sudah satu bulan sejak kepindahan Maudy. Semua berjalan lancar. Dia sudah tidak perlu lagi bangun subuh seperti dulu, karena jarak rumah barunya ke sekolah cukup dekat. Hanya butuh waktu lima belas menit jika lalu lintas sedang tidak ramai.

Memang ini adalah salah satu alasan Maudy pindah rumah, karena rumah lamanya berada di pinggir kota. Membuat point Maudy di sekolah hampir habis karena sering terlambat.

"Dy?" Maudy yang tengah menikmati bubble tea menoleh ke sumber suara. Adrila Simanjuntak. Teman barunya sejak tiga minggu lalu.

Seperti sore-sore sebelumnya, kini mereka sedang berbincang ringan di teras rumah Rila.

Rumah Rila ada di depan rumah Maudy. Mereka berkenalan ketika Anne-Mama Maudy, menyuruh anak bungsunya itu untuk mengantar brownies ke tetangga-tetangga baru mereka.

Perbedaan antara Maudy dan Rila cukup kontras. Dari segi wajah sudah sangat terlihat jelas. Maudy berwajah manis, sedangkan Rila yang memang memiliki darah Batak itu memiliki garis wajah tegas.

Rambut mereka juga berbeda. Jika rambut Maudy adalah tipe rambut lurus sebahu, maka Rila memiliki rambut ikal yang hampir mencapai pinggangnya.

Dibalik perbedaan fisik itu, mereka memiliki selera dan tingkat kerecehan yang sama. Inilah alasannya mengapa mereka bisa cukup dekat padahal baru saling mengenal.

"Kenapa?" Balas Maudy sambil mengunyah bubble di mulutnya.

"Lo di Angkasa dari kelas satu?" Angkasa yang Rila maksud adalah sekolah menengah atas swasta tempat Maudy menuntut ilmu.

Maudy mengangguk pelan. Tangannya sibuk memutar-mutar sedotan ramah lingkungan yang sengaja dia beli untuk mengurangi penggunaan plastik. "Iya, dari dulu di situ."

"Kok gue nggak pernah liat?"

"Kan lo nggak di Angkasa. Di Rajawali kan?" Maudy menyebutkan sebuah sekolah yang juga menjadi rival sekolahnya.

SMA Angkasa dan SMA Rajawali adalah dua nama sekolah yang tersohor di kota mereka. Itu pula yang menyebabkan keduanya menjadi rival. Lebih tepatnya Para Siswa di sekolah itu.

Kurang lebih seperti UI dan ITB. Bedanya anak usia SMA memang lebih labil, tidak bisa mengendalikan emosi. Akibatnya, pertikaian tak jarang terjadi.

"Ya tapikan Angkasa dekat sini. Lagian kalau dilihat-lihat dari tampang, kayaknya lo termasuk jejeran anak populer." Rila mengamati gadis yang duduk di kursi sebelahnya.

"Kalau memang gitu, kan populernya di sekolah gue. Nggak sampai ke luar."

"Eits! Jangan salah. Anak-anak populer di Angkasa juga populer di Rajawali." Kata Rila dengan tawa membahanya.

Pertama kali mendengar Rila tertawa memang cukup membuat Maudy kaget. Namun beberapa minggu mengenal Gadis Medan itu sudah membuatnya terbiasa.

"Segitunya ya?"

"Iya. Sebenarnya ini rahasia anak Rajawali sih. Emang sekolah lo nggak ya?" Maudy menggeleng lalu beberapa detik kemudian mengangguk. "Gue sih nggak. Nggak tahu kalau yang lain. Jarang juga sih dengar anak-anak bicarain anak Rajawali gitu. Palingan kalau lagi ada konflik gitu, semacam tawuran bulan lalu."

Mendengar itu, jiwa Rajawali Rila sedikit terguncang. "Wah anak Angkasa emang pada sok nggak peduli gitu ya? Sok dingin. Pantas aja lo nggak ngenalin gue waktu anter brownies dulu."

Maudy tertawa. "Emang lo siapa sih? Yang kuasai Rajawali?"

"Gue itu ketos Rajawali tau!" Lontar Rila kesal. Padahal ia kira namanya akan menjadi bahan pembicaraan di Angkasa--rival sekolahnya itu setelah menjabat sebagai Ketua OSIS.

Pengakuan Rila membuat Maudy tersedak saking kagetnya. Bukannya mau meragukan tetangganya yang satu itu. Namun selama berteman, Rila sering menunjukkan sifat kekanakannya. Membuat Maudy tidak yakin kalau Rila adalah ketua organisasi paling penting di sekolah.

"Woi! Mulutnya nggak usah mangap gitu lah." Seru Rila membuat Maudy segera mengatupkan mulutnya.

"Sumpah gue speechless."

"Tapi serius. Gue masih nggak yakin kalau anak-anak Angkasa nggak ngomongin anak Rajawali." Ujar Rila masih tidak yakin dengan ucapan tetangganya tadi.

"Mungkin ada sih, beberapa orang. Tapi emang gue jarang banget denger. Serius!" Tangan Maudy terangkat memamerkan jari telunjuk dan jari tengahnya ke arah Rila.

"Terus lo tahu anak Rajawali siapa aja?"

Maudy tidak langsung menjawab. Dia butuh waktu untuk berpikir. "Mantan tetangga gue dulu, Renatta sama Sabil. Terus Rian, mantan gebetan gue. Terakhir elo.

"Eh satu lagi. Kafin." Lanjut Maudy cepat. Iya. Kafin yang dia bicarakan memang Kafin yang sama dengan yang menyapanya di atas hoverboard.

Karena tidak pernah lagi bertemu dengan cowok itu, membuat rasa penasaran Maudy muncul.

Mereka satu komplek perumahaan namun sebulan ini tidak pernah bertemu. Wajar saja kan kalau Maudy kepo sampai mencari akun sosial media Kafin?

Dan berhasil. Maudy mendapatkan akun instagram Kafin yang kebetulan tidak diprivasi.

Dari beberapa postingan di sana, ada foto Kafin dan beberapa temannya yang lain, mengenakan seragam khusus milik Siswa Rajawali.

"Kafin? Lo kenal?"

Maudy mengangguk. "Waktu gue pindahan, kebetulan dia lewat dan ngajak kenalan."

Mendengar penuturan Maudy membuat Rila berdecak malas. "Hati-hati, Dy."

"Hati-hati kenapa?" Tanya Maudy bingung.

"Nanti lo terjerat pesona dia lagi. Nggak munafik, Kafin itu mau diam aja juga udah bisa bikin cewek baper. Apalagi lo yang diajak kenalan gitu." Tutur Rila malas.

"Kenapa emang?"

Rila menatap Maudy bingung. "Apanya?"

"Kalau gue terjerat dalam pesona dia?" Kata Maudy tidak yakin.

"Ya nggak papa sih kalau lo mau dicap pelakor."

Maudy terkejut. Rila memang tidak mengatakannya secara langsung, namun dia sangat mengerti maksudnya apa. Tapi sebisa mungkin Maudy menampilkan wajah tenangnya.

"Ohh.. Udah ada pawangnya ya?" Rila mengangguk pelan. "Rajawali juga?"

"Iya. Temen sekelas malah. Udah mau satu tahun."

Maudy berohria. "Cantik pasti ya? Anak populernya Rajawali juga? Couple goals-nya Rajawali dong."

"Enggak sih. Malah jarang yang tau kalau mereka pacaran."

"Kok bisa?" Tanya Maudy tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Hanin pendiam anaknya, nggak cantik tapi tipe yang nyaman buat dipandangin, adem. Nggak suka umbar-umbar kehidupan pribadi juga. Sosial medianya aja cuma ada foto bunga."

Jawaban Rila sepertinya belum menjawab pertanyaan di benak Maudy. Diam-diam dia menyimpan satu nama di kepalanya. Hanin.

"Tapi kok bisa jarang yang tahu gitu? Mereka di sekolah nggak pernah bareng emangnya?"

"Teman kelasnya Kafin dari kelas sepuluh. Jadi banyak yang ngira mereka temenan doang."

"Nggak pernah mesra-mesraan gitu? Gue kira Kafin tipe pacar romantis."

"Pernah. Sering malah! Tapi Si Kafin kan emang manis banget kalau ke cewek. Jadi keliatan biasa aja gitu." Jelas Rila yang kini melempar pandangan penuh tanya kepada Maudy. "Kenapa jadi bicarain Kafin? Jangan bilang lo suka sama dia?"

Dengan cepat Maudy menggelengkan kepalanya. "Enggaklah! Orang baru sekali doang ketemu. Penasaran aja gue."

Rila berohria. "Ya kirain. Soalnya hampir separuh siswi Rajawali pernah baper ke doi."

Setelah itu Maudy tidak bersuara lagi. Dia sibuk berperang dengan pikirannya sendiri.

Tidak biasanya Maudy kepo tentang kehidupan orang lain. Kecuali kalau...

'Gue nggak mungkin suka sama dia kan?' Batin Maudy.

Implisit ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang