Sebelas

14.6K 1.3K 52
                                    

Multimedia: anggap aja gelato vanilla (aslinya toasted coconut gelato :v)

"Enak nggak?" Tanya Kafin sambil menyuapkan sepotong waffle ke dalam mulutnya.

Maudy mengangguk dua kali. Lalu melanjutkan urusannya dengan gelato di hadapannya. Roti bakar miliknya sudah habis tanpa sisa.

Melihat Maudy yang sangat menikmati makanannya itu, membuat bibir Kafin melengkung membentuk senyuman tipis.

"Santai dong makannya, Dy. Sampe cemong gitu." Kafin terkekeh ketika melihat gelato di sudut bibir Maudy.

"Eh?" Ucap Maudy malu-malu. Tangannya bergerak mengusap bekas gelato di wajahnya.

"Aku ke toilet bentar ya?" Pamit Kafin. Maudy mengangkat kepalanya lalu mengangguk pelan tandai setuju. Setelah itu, Kafin meninggalkan meja dan berjalan ke arah toilet.

Sepeninggal Kafin, Maudy tetap asik dengan gelatonya. Sama sekali tidak peduli dengan sekitar yang semakin ramai diisi oleh muda-mudi lainnya.

Hingga ponsel Kafin yang tertinggal di meja bergetar dan menampilkan sebuah nama yang Maudy kenali.

Hanin.

Untuk sesaat, Maudy dilanda rasa bimbang. Antara penasaran ingin mengangkat dan tak takut melanggar privasi Kafin.

Namun Maudy lebih memilih untuk mendiamkan panggilan tersebut. Namun ponsel Kafin kembali bergetar dan menampilkan nama yang sama.

Masih dilingkupi kebimbangan, gadis itu mengambil benda persegi panjang itu dan menggeser slide hijau.

"Hai! Lagi dimana?" Sapa sebuah suara begitu panggilan tersambung.

"Eh? Sorry Kafinnya lagi ke toilet. Hapenya ketinggalan." Balas Maudy yang lebih terdengar sebagai cicitan.

"Ohh.. ini siapa?"

Maudy berdeham pelan. "Maudy."

"Maudy?"

Maudy mengangguk. Lalu menyadari kebodohannya. Bahwa Hanin tidak akan bisa melihatnya. "Iya. Nanti kalau Kafin balik gue bilangin."

"Ya udah kalau gitu. Makasih."

Begitu panggilan terputus, Maudy segera menghela napas panjang. Entah mengapa dia merasa sangat lega.

Maudy segera meletakkan ponsel Kafin ke tempat semula.

Bertepatan saat itu, Kafin muncul sambil menyugar rambutnya yang sedikit basah. Lalu melemparkan senyum pada Maudy. Membuat matanya sedikit menyipit.

Melihat itu, membuat dada Maudy berdebar. Kafin terlihat dua kali lipat lebih ganteng dengan senyuman itu.

Ternyata dua bulan dekat dengan Kafin belum cukup bagi Maudy untuk tidak terpengaruh dengan pesona Kafin.

"Lama ya?" Tanyanya begitu duduk di hadapan Maudy.

"Nggak kok." Jawab Maudy sambil mengaduk-aduk sisa gelatonya. Nafsu makannya udah hilang karena panggilan tadi.

Sesekali Maudy mencuri pandang pada Kafin yang sedang memakan wafflenya.

"Kamu kenapa?" Tanya Kafin menyadari gelagat aneh Maudy.

"Eh? Nggak papa."

"Gelatonya kok diaduk-aduk doang? Nggak enak?"

Maudy mengangguk lalu menjauhkan mangkuk gelatonya. "Enak kok. Tapi udah kenyang."

Kafin berohria.

Sekali lagi Maudy mencuri pandang ke arah Kafin. Lalu berdeham, "tadi ada yang nelpon."

"Siapa?" Tanya Kafin santai.

"Hanin." Jawab Maudy. "Neleponnya dua kali. Jadi terpaksa kuangkat. Takut ada yang penting. Nggak papakan?"

Kafin terkekeh pelan. "Nggak papalah. Angkat telepon doang, Dy."

Tidak ada lagi jawaban dari Maudy. Gadis itu hanya diam sembari memperhatikan sekitarnya. Baru menyadari kalau pengunjung kafe jauh lebih ramai dari saat mereka datang tadi.

Ada beberapa yang datang bersama teman-temannya, ada yang datang bersama kekasih, bahkan ada yang datang sendirian.

Namun, dia sama sekali tidak terlihat orang tua disini. Sepertinya kafe ini memang dikhusukan bagi anak-anak muda sepertinya.

"Dy?"

Panggilan Kafin membuat Maudy harus menghentikan pengamatannya. "Kenapa?"

"Nanti malam ikut yuk?"

"Kemana?"

"Nonton basket di Semesta." Jawab Kafin menyebutkan salah satu Sekolah Menengah Atas yang cukup terkenal. Setelah Rajawali dan Angkasa tentunya.

"Jam berapa?"

"Jam tujuh pembukaan."

Maudy melirik arloji pemberian Maura yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ini udah mau jam enam. Jarak kafe ini ke rumah lumayan jauh, lho. Belum lagi siap-siap."

"Ya kan jam tujuh pembukaannya, Dy. Mau datang jam sembilan juga bisa, kalau belum selesai."

"Rame nggak?"

"Nggak, Dy. Pertandingan persahabatan aja sih. Mau?" Kafin melihat Maudy yang tampak ragu. "Kalau mau, kita pulang sekarang. Biar bisa langsung siap-siap."

"Ya udah, iya." Jawab Maudy pada akhirnya. Sebenarnya dia ingin menolak, namun Kafin terlihat sangat bersemangat.

Mendengar persetujuan itu, membuat Kafin lebih bersemangat lagi. Dia lalu meminta Maudy untuk menunggunya selagi ia pergi membayar.

Ada sedikit perdebatan. Maudy memaksa untuk membayar makanannya sendiri, namun Kafin menolak. Dengan alasan; dia yang membawa Maudy kesini, maka dialah yang harus membayar.

Kali ini Maudy mengalah. Dengan syarat, lain kali dia yang harus membayar. Untunglah Kafin setuju.

Setelah itu, Kafin pergi ke kasir untuk membayar pesanan mereka.

Tak butuh waktu lama hingga ia kembali ke tempat Maudy berada.

"Ayo, balik." Kata Kafin sambil menggandeng tangan Maudy dan berjalan di sebelah kanan gadis itu.

Siapapun yang melihat mereka, pasti akan mengira bahwa mereka adalah sepasang kekasih.

🌻🌻🌻
06-10-2019

Implisit ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang