Enam

16.6K 1.5K 313
                                    

Multimedia: Maudy's outfit.

Mata Maudy berbinar ketika melihat pemandangan di depannya. Bentangan pasir putih dan suara deburan ombak. Tidak lupa sinar matahari pagi yang menyentuh setiap inci kulit putih Maudy.

Maudy sama sekali tidak menyangka Kafin akan membawanya kesini. Pantai yang terletak di pinggiran kota.

"Kok bisa kepikiran kesini, Kaf?" Tanya Maudy melihat Kafin yang asik memotret di sebelahnya.

Entah kebetulan macam apa, mereka sama-sama mengenakan kaos outih dan celana pendek denim. Bedanya Maudy memakai kets putih polos sedangkan Kafin terlihat lebih santai dengan sandal jepitnya.

"Kamu bilang mau yang jauh-jauh. Biar nggak terciduk." Kini kamera Kafin sudah mengarah ke Maudy. "Senyum.."

Setelah mengambil beberapa potret Maudy, Kafin menyimpan kameranya ke dalam tas. "Nggak suka pantai ya?"

"Suka!" Jawab Maudy lantang. "Mana ada orang yang nggak suka pantai."

"Ada."

"Siapa?"

"Hanin." Jawab Kafin dengan sangat santai.

Maudy tidak langsung menjawab. Jujur, dia sedikit terkejut. Sebelumnya dia tidak pernah menyangka akan mendengar nama itu keluar dari bibir Kafin.

"Hanin siapa?" Kata Maudy memalingkan pandangannya ke arah laut lepas di depannya.

"Teman kelas. Mau minum kelapa nggak, Dy? Sambil makan pisang goreng, enak."

Maudy menggeleng. "Nanti aja deh. Masih kenyang."

"Oke."

Saat Kafin melirik ke samping, matanya menangkap pemandangan yang menurutnya sangat indah.

Maudy yang sedang asik bermain pasir dengan rambut yang berkibar karena tiupan angin.

Membuat Kafin semakin sadar kalau gadis di sebelahnya itu sangat cantik.

Kafin meraih ponsel di sakunya lalu memotret Maudy tanpa ijin. Dan setelah itu tersenyum ketika melihat hasilnya.

Bertepatan saat itu, ponsel Maudy bergetar. Sebuah notifikasi masuk.

Kafin.Danurendra menyebut anda dalam ceritanya.

Maudy menatap Kafin dengan dahi yang mengernyit heran. "Kamu buat snapgram apa?"

Kedua bahu Kafin terangkat. "Liat sendiri aja."

Maudy lantas mengecek instagram story milik Kafin. Dan betapa terkejutnya dia melihat potret dirinya yang diambil secara candid.

"Hapus ih!" Maudy pura-pura merajuk. Padahal jauh di dalam lubuk hatinya dia bahagia.

"Kenapa?"

"Nanti fans kamu pada nyerbu aku." Jawab Maudy setengah bercanda. Setengahnya lagi dia memang serius.

"Mereka mana tahu kamu." Jawab Kafin sambil menyeret tubuhnya mendekat ke Maudy.

"Tahu, kan kamu tag aku."

"Ya udah, aku ulang ya? Yang nggak tag kamu."

Maudy mengangguk. Setidaknya itu lebih baik kan?

..

Pukul satu siang, ketika terik matahari sudah sangat menyengat, dua remaja berbeda gender itu memutuskan untuk pulang.

Pulang dalam artian yang sebenarnya.

Mereka terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan. Hingga kini berakhir di rumah Kafin.

Hanya ada mereka dan satu asisten rumah tangga. Entah kemana perginya anggota keluarga yang lain.

Mata Maudy mengedar ke seluruh penjuru ruangan rumah Kafin. Sepertinya orang tua Kafin memiliki selera seni yang cukup tinggi.

Terbukti dari banyaknya lukisan yang tergantung di dinding, dan guci-guci antik yang Maudy lihat. Semuanya tersusun rapi.

"Papa-Mama kamu kemana?" Tanya Maudy pada Kafin yang baru saja keluar dari kamarnya untuk berganti kaosnya yang tadi basah karena Maudy.

"Papa kerja, Mama lagi jenguk Denira di luar kota. Tifusnya kambuh." Jawab Kafin sebelum mendaratkan tubuhnya di sebelah Maudy.

"Denira itu saudara kamu ya?"

Kafin mengangguk sambil menyalakan televisi dengan remote di tangannya. "Elder sister."

Maudy berohria. Sebenarnya dia sudah tau jauh sebelum Kafin mengatakannya.

"Eh itu aja!" Seru Maudy ketika televisi di depannya menampilkan salah satu film produksi marvel, ant man and the wasp.

"Suka Avengers?" Maudy mengangguk semangat. Matanya fokus memerhatikan televisi. "Hero favoritnya siapa?"

"Suka Thor sama Captain America. Tapi Iron Man sama Hawkeye lucu juga. Terus Black Widow tuh keren, Hulk juga. Tapi Groot parah sih imutnya."

Kafin terkekeh. "Kalau Thanos?"

"Nggak ah! Kayak ubi ungu."

Jawaban Maudy membuat tawa Kafin pecah. Membuat cowok itu mengacak-acak punya kepala Maudy gemas.

Perlakuan yang masih berefek bagi jantung Maudy, walaupun tidak separah dulu.

"Kafin lepasin ah! Kok hobi banget sih  ngacak-ngacak rambut orang."

"Nggak juga. Yang aku acak-acak cuma rambut kamu."

Refleks, Maudy berdecih. "Yakin?"

"Iya, emang siapa lagi?"

"Ya mana aku tahu." Jawab Maudy sambil menjauhkan tangan Kafin dari kepalanya.

Entah mengapa moodnya hancur seketika. Mungkin Maudy sedang PMS. Berhubung bulan ini dia bulan kedatangan tamu.

Tapi karena Kafin adalah kaum Adam yang tidak punya rasa peka, cowok itu malah semakin melancarkan aksinya. Dia kembali mengacak-acak rambut Maudy.

"Kafin!!"

"Apa sayang?"

Hanya dua kata. Namun dua kata itu mampu membuat Maudy tersipu.

"Cie pipinya merah." Kafin tertawa melihat semburat merah di pipi Maudy. "Baru dipanggil sayang lho, Dy. Belum yang lain,"

Maudy berdeham. Berusaha menetralkan dirinya. "Apasih! Biasa aja. Lagian yang lain apa coba?"

"Yang lain kayak.."

Cup!

Bibir Kafin mendarat di kening Maudy. Tidak langsung mengenai kening, masih ada rambutnya yang membatasi. Tapi kenapa efeknya sampai ke hati Maudy?

..

😎😎😎😎🙂🙂🙂🙂🤓🤓🤓🤓
Part ini pendek sih, tapi ngetiknya lama beut.
Nentuin baju Kafin sama Maudy ada kali setengah jam.
Belum lagi harus berhenti untuk memperbaiki hati, karena ini mengingatkan ku pada masa lalu 🤣🤣🤣😋😂😂😂 canda.

7 Juni 2019

Implisit ✔Where stories live. Discover now