Tiga Puluh ✔

34.4K 2.1K 613
                                    

Btw ini kebanyakan percakapan, karena part lalu hampir narasi semua. Wkwkw

..

Sudah dua hari ini Maudy menghindari Kafin.

Gadis itu sama sekali tidak membalas pesan atau panggilan dari Kafin. Bahkan di pagi-pagi buta dia sudah berangkat dengan ojek online menuju sekolah. Pulangnya, dia meminta Shelly dan Lois bergantian mengantarnya pulang.

Namun Maudy tahu betul kalau hal itu tidak akan berlangsung lama.

Hari ini, Kafin sudah duduk manis di parkiran Angkasa. Entah bagaimana caranya agar cowok itu bisa lolos masuk ke sini dengan seragam Rajawali yang dia kenakan.

Maudy baru saja ingin putar balik, ketika lengannya ditahan oleh seseorang.

"Aku udah ngasih kamu waktu dua hari, we need to talk now."

Maudy tidak menjawab. Gadis itu hanya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Kafin. "Ini parkiran sekolah, lho Dy. Banyak yang bakalan liat kita. Aku sih nggak masalah kalau kamu mau buat drama di sini. Tapi emang kamu nggak papa? 

Mendengar itu, Maudy menggigit pipi bagian dalamnya. Ia tahu kalau Kafin tidak main-main dengan ucapannya.

Dengan terpaksa, Maudy berbalik dan membiarkan Kafin membawanya menuju gerbang keluar.

"Jadi, kamu kenapa?" Tanya Kafin ketika mereka sudah berada di dalam mobil.

Maudy memalingkan pandangannya ke luar jendela tanpa menjawab.

"Aku bukan cenayang yang bisa baca pikiran kamu, Dy. Aku nggak bakal tahu mau kamu apa kalau kamu nggak cerita."

"Aku nggak kenapa-kenapa." Jawab Maudy membuat Kafin menggeleng tak percaya.

"Nggak kenapa-kenapa? Setelah dengan mudahnya minta udahan. Kamu tahu nggak? Kamu nyiksa aku, Dy." Tangan Kafin meremas kencang kemudi mobil. "Selama kamu menghindar, aku coba nyari tahu kesalahanku. Tapi tetep nggak nemu kesalahannya. So?"

"Aku capek, Kaf." Maudy memainkan rok sekolahnya. "Awalna, I want to talk about this. Tapi aku takut kalau aku jadi bodoh kayak kemarin-kemarin lagi. Ngomong sama kamu bukan jalan yang tepat. Aku bakal melupakan segalanya, and being stupid again."

"Hey, kok ngomongnya gitu? Kamu nggak stupid sama sekali."

Maudy tersenyum miring. "Naruh harapan ke kamu. Padahal dari awal aku tahu, kamu udah ada orang lain. Tapi tetep aja aku lakuin. Kalau bukan bodoh, itu apa namanya?"

Penjelasan Maudy membuat Kafin terkejut. Dia menatap Maudy tajam. "Aku belum pernah bilang ya? Kalau aku nggak suka kamu bahas ini. Walaupun aku udah tau, tapi kamu semakin nyadarin aku kalau aku brengsek."

"Bukan kamu yang brengsek. Aku aja yang nggak tahu diri."

Kafin menutup wajah dengan kedua tangannya. Dia menarik napas dalam-dalam.

"Okay, terserah kamu mau nyebutnya gimana. Tapi kamu pernah mikir nggak? Kalau kita nggak kayak yang kamu bilang tadi, kita berdua nggak bakal sama-sama.

"Jadi sekarang, mari lupakan kebodohan kita di masa lalu dan mulai awal yang baru." Sambung Kafin.

"Gimana kita bisa mulai awal yang baru kalau kamu bahkan belum selesaiin masa lalu kamu."

Kafin mengernyit, menciptakan kerutan-kerutan samar di dahinya. "Maksud kamu?"

"Aku lihat Hanin sama boneka yang waktu itu kita lihat. Itu dari kamu kan?"

Kafin kembali meremas kencang kemudi mobil untuk menyalurkan seluruh emosi dalam dirinya. "Aku pernah minta kamu buat percaya sama aku. Apa sesusah itu, Dy?"

Hampir sama dengan Kafin, gadis itu tengah meremas-remas roknya. "Emang kamu masih bisa percaya kalau jadi aku?"

"Kenapa kamu nggak minta penjelasan?" Tanya Kafin frustasi.

"Untuk apa? Semuanya sudah terlalu jelas. Nggak perlu penjelasan dari kamu pun aku udah tahu kalau aku yang harusnya mundur di sini."

Kafin mematikan mesin mobil yang sejak tadi menyala. Mengetahui bahwa perdebatan kali ini akan sedikit lebih panjang juga lebih menguras tenaga.

"Kemarin aku ngajak ketemu buat benar-benar selesaikan semuanya. Mau bagaimana pun, dia teman kelasku, Dy. Walaupun keadaan nggak bakal kembali seperti semula, setidaknya aku berusaha selesaikannya dengan baik. Dulu, kami juga mulai dengan baik. Dan masalah boneka? Waktu itu aku janji buat ngasih dia di anniversary pertama kami yang dekarang udah nggak mungkin lagi, karena aku sudah punya kamu. Jadi aku kasih kemarin. Setidaknya cuma itu yang bisa aku kasih buat nebus kejahatanku."

Tangan Kafin terulur mengambil tasnya yang berada di kursi tengah. Mengambil ponselnya dari sana lalu menyerahkannya pada Maudy.

Bingung, Maudy mengangkat kedua alisnya. Melemparkan pertanyaan 'untuk apa' melalui tatapannya.

"Telpon Hanin. Kalau nggak bisa percaya sama aku, kamu bisa tanya orangnya langsung."

Maudy bergeming. Tidak berniat mengambil ponsel Kafin yang terulur di hadapannya.

"Kenapa? Kamu nggak mau? Mau aku yang telpon?" Kepala Maudy menggeleng cepat. Membuat Kafin mengutak-atik ponselnya sebelum kembali menyodorkannya ke hadapan gadis di sebelahnya. "Kalau gitu, kamu bisa baca roomchat kami."

Sedikit ragu, namun akhirnya Maudy mengambil ponsel Kafin dan membaca obrolannya bersama Hanin yang terlihat hampa.

Isi chat mereka terakhir adalah saat Kafin mengajak bertemu untuk membicarakan sesuatu kemarin.

Chat sebelum itu terjadi sekitar seminggu lalu, saat Hanin menanyakan mengapa akhir-akhir ini Kafin berubah. Namun hanya dibalas oleh Kafin dengan gambar dirinya sedang berada di perjalanan.

Siapa pun yang melihat itu akan tahu bahwa hubungan keduanya sedang tidak baik-baik saja.

Maudy meremas ponsel Kafin. "Maaf."

"Sudah percaya?" Maudy mengangguk pelan. Membuat ketegangan yang tercipta akhirnya sedikit mencair. Beriringan dengan senyum lega yang menghiasi wajah Kafin.

Lantas Kafin mengulurkan kedua tangannya untuk merapikan anak rambut yang menutupi wajah Maudy. "Mau janji satu hal nggak?"

"Apa?" Tanya Maudy sedikit serak karena sejak tadi menahan tangis.

"Ini perdebatan terakhir tentang Hanin ya? Kami udah benar-benar selesai. Yang ada sekarang cuma Kafin sama Maudy. Okay?"

Maudy mengangguk kecil. "Okay."

END.

Akhir kata, aku mau ucapin terima kasih buat klean-klean-klean yang udah ikutin cerita ini dari awal. Dan juga mohon maaf apabila cerita ini tidak sesuai dengan ekspetasi kalian. Aku baru belajar gais.

Saya, Diana Aprilia Gultom, Siswa tingkat akhir SMA yang mager dan bercita-cita lulus SNMPTN pamit undur diri.
See you in another story:)

26 Januari 2020

Implisit ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang