dua puluh delapan

15.2K 1.2K 22
                                    

Euforia kebahagiaan masih melingkupi Maudy. Setelah tiga hari yang lalu ia resmi berpacaran dengan seseorang di sebelahnya yang sibuk mengatur napas.

Seperti weekend sebelumnya, mereka berdua baru saja selesai lari pagi. Hari ini mereka memilih untuk lari di taman kota.

Setelah delapan putaran, wajah dan kaos Kafin sudah dibasahi oleh butir-butir keringat.

Berbeda dengan Maudy yang terlihat lebih santai. Karena memang dia hanya menyelesaikan tiga putaran. Sisa waktunya ia gunakan untuk menonton Kafin dari bangku taman.

"Capek banget, Bang?" Goda Maudy ketika air mineralnya habis dalam satu kali tenggakan.

Kafin hanya mengangguk singkat. Tangannya meremas botol minum dan melemparkannya ke tempat sampah yang tak jauh dari tempat mereka berada.

Sepertinya Kafin tidak bercanda saat mengatakan bahwa dia adalah kapten basket Rajawali waktu itu.

Membahas mengenai itu, Maudy tiba-tiba teringat akan satu hal. "Kaf?" Kafin berdeham sembari mengusap wajahnya dari air keringat. "Inget nggak yang waktu kita nonton basket?"

Alis Kafin mengernyit seakan mengingat sesuatu. "Yang mana? Kita nonton basket nggak cuma sekali."

"Yang pertama kali,"

Kafin berohria. "Inget. Kenapa emang?"

"Kita taruhan waktu itu."

Mendengar itu, Kafin tertawa bahagia. "Iya ya? Aku menang kan?"

Kepala Maudy mengangguk malas. Sedikit tidak rela karena ia kalah dalam pertaruhan ini. Namun dia bukan orang yang akan lari dari kekalahan.

"Dulu kita taruhan apaan ya? Lupa. Udah lama banget, Dy."

Maudy berdecak pelan. "Yang menang bisa minta apapun ke yang kalah."

Setelah itu, senyum lebar Kafin tercipta. Bersamaan dengan binar-binar bahagia yang menghiasi mata hitam legamnya.

"Bisa minta apa aja beneran?" Tanyanya masih dengan senyum penuh kemenangan.

"Iya."

"Bebas nih?" Tanya Kafin lagi.

"Yang masuk akal lah!" Jawab Maudy kesal.

Kafin tertawa lalu menarik Maudy mendekat. Tangannya menepuk-nepuk punggung tangan Maudy. "Masuk akal kok, tenang aja."

"Apa emang?"

"Aku minta, kedepannya kamu harus percaya sama aku ya?" Ujar Kafin membuat Maudy menatapnya bingung.

"Maksudnya?"

Lagi, Kafin tersenyum. Kali ini senyumnya sedikit lebih tipis. "Aku tahu, kamu masih nyimpen ragu untuk aku. Setelah apa yang udah aku lakuin sebelumnya."

"Pembicaraan ini menjurus kemana?" Kata Maudy bingung.

"Nggak bisa dipungkiri, kesan yang aku kasih sama kamu selama ini tuh jelek, Dy. I know that i am an asshole. Berani deketin kamu padahal hubungan aku sama orang lain belum selesai. Nggak aneh kalau ke depannya kamu masih ragu jalaninnya sama aku." Kafin membasahi bibirnya yang kering sebelum melanjutkan ucapannya. "Tapi aku minta kedepannya kamu percaya sama aku. Walaupun aku belum bisa janjiin apa-apa, but i will try my best for you.

"Sounds like bullshit ya? Tapi aku serius." Lanjut Kafin sambil terkekeh pelan.

Maudy menggigit bibirnya. Tatapannya jatuh pada sneaker merah jambu yang membalut kakinya.

Semuanya terjadi terlalu tiba-tiba. Tiga hari lalu mereka berpacaran, dan hari ini Kafin mengatakan sesuatu yang membuat dada Maudy menghangat. Padahal sebelumnya, Maudy mengira kalau kedeketannya dengan cowok berjaket hijau stabilo itu akan berakhir mengecewakan.

"Kok diem? Lebbay ya aku?" Kata Kafin ketika Maudy tak kunjung membalasnya.

Lantas Maudy mengalihkan pandangannya ke Kafin yang kini sedang menatapnya. Gadis itu tersenyum miring. "Emang kamu lebbay."

"Tapi tetep bikin sayang kan?" Kekeh Kafin.

Maudy tertawa lebar. "Iya. Kok bisa gitu ya?"

Tangan Kafin bergerak mengacak-acak rambut Maudy yang dikuncir satu. "Ya iyalah, Kafin."

"By the way, kamu kok nggak ada romantis-romantisnya sih?" Decak Maudy.

"Ha?" Gumam Kafin tidak paham.

"Kemarin ngajak pacarannya di supermarket, sekarang ngomongin gituan di taman kota. Samping gerobak bubur ayam. Emang nggak ada tempat yang bagusan dikit?"

Tawa Kafin pecah mendengar itu. Bahkan beberapa orang di sekitarnya sempat melirik karena mendengar suara tawa Kafin yang cukup keras.

Malu menjadi bahan tontonan, Maudy memukul lengan Kafin dan menyuruh cowok itu untuk berhenti tertawa. "Diem, Kaf. Malu ih!"

Tawa Kafin akhirnya berderai. Namun hanya sesaat. Sebelum tawanya kembali pecah saat mengatakan sesuatu yang membuat wajah Maudy jadi semerah tomat.

"Terus first kiss-nya di parkiran kafe ya, Dy?"

😋😋😋
Beberapa part menuju ending. Yuhhhuuu..

Implisit ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang