Dua Puluh

15.2K 1.3K 164
                                    

Wagelasseh udah part 20 aja :"
Mungkin cerita ini agak lebih panjang dari ceritaku yg lain. Tapi nggak panjang banget yang sampe bikin bosan juga sih. Dahlah, ikutin aja ya. Jangan lupa Vomment :)

..

"Terus kenapa? Kenapa kalau Darren antar aku pulang? Bukain helm aku? Elus-elus kepalaku, itu kenapa Kaf? Masalahnya sama kamu apa?

"Mau aku jalan sama siapa pun, thats none of your business kan, Kaf?" Lanjut Maudy membuat Kafin terkejut.

Bukan hanya Kafin, Maudy juga terkejut bisa mengeluarkan kata-kata itu kepada Kafin.

Tidak ada jawaban keluar dari mulut Kafin. Untuk pertama kalinya, cowok yang biasa dicap sebagai penakluk wanita itu dibuat terdiam oleh seorang Maudy.

"Jadi gitu? Selama ini aku bukan siapa-siapa untuk kamu? Cuma orang asing?" Jawab Kafin setelah terdiam beberapa saat.

Maudy berdeham. "Kenyataannya emang gitu kan? We are nothing."

"Aku nganter-jemput kamu, tiap malam kita chatan, video call-an, kita jalan, kita makan bareng, chat kamu bahkan aku prioritaskan. Itu sama sekali nggak berarti ya?"

"Kaf," jawab Maudy putus asa.

"Aku kira kamu cukup dewasa buat tau, nggak ada orang asing yang ngelakuin hal-hal tadi." Kafin menyugar rambutnya kasar. "Temen biasa aja nggak akan lakuin hal begitu, Dy. Dan sekarang kamu masih berani bilang we are nothing?

"Terus aku harus ngapain lagi, biar kamu bisa sadar kalau kita nggak cuma sekadar orang asing yang kayak kamu bilang?" Lanjut Kafin lagi.

Jantung Maudy berdegub kencang. Dia menggigit bibirnya cukup kencang,tidak menyangka ucapannya akan menciptakan drama seperti ini.

Maudy menelan ludah, membahasi tenggorokannya yang kering. "Maaf." Katanya lebih seperti cicitan.

"Nggak perlu. Kamu nggak salah." Kafin menatap Maudy yang wajahnya tertutupi oleh rambut karena gadis itu sedang menunduk. "Aku yang salah. Aku lupa, kalau cewek butuh kepastian. Perhatian-perhatian apapun yang diberikan, nggak akan berarti kalau nggak ada kepastian kan?"

Lagi, Maudy hanya bisa diam. Bingung harus menjawab apa. Dia merasa bersalah, takut, dan puas di satu waktu.

Takut karena membayangkan hubungannya dengan Kafin yang mungkin akan merenggang, dan puas karena segala perang batin dalam dirinya akhirnya dia bisa salurkan.

"Kalau gitu, kita buat komitmen sekarang." Kata Kafin berhasil membuat Maudy akhirnya menoleh.

"Komitmen?" Kafin mengangguk. "Komitmen gimana yang kamu maksud?"

"Komitmen, Dy. Kita saling jaga perasaan masing-masing. Biar hal kayak gini nggak terjadi lagi."

"Kaf, komitmen nggak sesimpel itu. Komitmen itu artinya kita ada dalam sebuah hubungan serius yang di dalamnya ada visi-misi untuk ke depannya. Aku ragu kita bisa." Kata Maudy serius.

"Why not? Jalani aja dulu, Dy. Kita nggak bakalan tahu, kalau belum dijalani."

"Kaf, kamu serius?" Kafin mengangguk. "Aku takut ini cuma emosi sesaat aja."

"Emosi sesaat gimana, Dy? Kita sama-sama udah berbulan-bulan. Aku udah nyaman ngelakuin sesuatu sama kamu."

"Sekali lagi aku tanya, kamu serius?"

Sekali lagi, Kafin mengangguk. "Iya, Sayang."

"Ya udah."

Jawaban singat Maudy membuat senyuman Kafin terbit. "Ya udah apanih?"

"Ya gitu,"

"Gitu gimana?"

"Terserah!" Kata Maudy kesal. Dia tahu Kafin sangat mengerti ucapannya tadi dan sekarang hanya mengodanya.

Kafin terkekeh. Dia kembali memeriksa jam di ponselnya. Sudah hampir pukul sembilan. Ternyata perdebatan mereka memakan waktu cukup lama.

Cowok itu bangkit dari duduknya lalu mendekat ke Maudy untuk mengacak rambut gadis itu. "Kalau gitu, aku balik ya?"

"Nggak jadi ngajak jalan?"

"Udah malam. Kamu kayaknya butuh istirahat."

Maudy mendengkus. "Ya udah. Pulang gih."

"Diusir banget nih?" Maudy hanya tertawa pelan. "Ya udah. Aku pulang ya? Nanti telepon kalau kamu nggak bisa tidur lagi."

Setelah itu, mobil Kafin pergi meninggalkan Maudy dengan senyuman lebarnya.

Namun senyuman itu tidak bertahan lama karena dia mengingat sesuatu hal yang sangat penting.

Bagaimana dia bisa dengan bodohnya menerima ajakan Kafin untuk berkomitmen, ketika Kafin sendiri punya Hanin sebagai kekasihnya?

Kebahagiaan Maudy seakan terhisap oleh Dementor. Senyumannya sirna, digantikan oleh matanya yang berembun.

Dalam hati, dia memaki dirinya sendiri yang selalu bertingkah bodoh jika sudah berurusan dengan Kafin.

Terus kalau sudah begini, apa yang harus ia lakukan?

Mengemis pada Kafin agar cowok itu memutuskan Hanin? Namun rasanya dia terlalu egois. Tidak bisa dipungkiri, dialah yang menjadi orang ketiga dalam hubungan dua orang itu.

Atau membatalkan persetujuannya untuk menerima komitmen yang Kafin tawarkan? Kalau begitu, apa Maudy bisa? Di saat dirinya sudah cukup bergantung pada cowok itu. Sama seperti yang Kafin katakan, dia juga sudah terlanjur nyaman dengan Kafin.

...
Gimana gais? :v
D

ouble update itu menyenangkan tapi susah dilakukan 🙂

Implisit ✔Where stories live. Discover now