dua puluh tujuh

15.2K 1.2K 79
                                    

Multimedia: Kafin's outfit

Dua minggu berlalu sejak kejadian di parkiran cafe malam itu. Tidak ada yang berubah dari dua remaja yang sedang berjalan mengelilingi supermarket itu.

Sekitar satu jam yang lalu, cowok yang sedang mendorong troli belanjaan itu muncul di depan rumah Maudy dan meminta izin pada Anne dan Fadlan untuk membawa anak bungsunya keluar.

Sepasang orang tua itu dengan senang hati memberikan persetujuan. Lain halnya dengan Si Anak yang terlihat bersungut-sungut karena me time-nya di weekend ini terpaksa hancur.

"Kamu ngapain sih ngajak keluar jam segini?" Kesal Maudy sambil melirik arlojinya. "Ini tuh baru jam delapan. Astaga!"

Tidak ingin merespon, cowok berkaus putih dan celana pendek bercorak army itu tetap mendorong troli santai. Setelan casual yang terlihat keren di tubuhnya.

Beebeda dengan Maudy yang hanya memakai kaos hitam dan celana training yang membalut kakinya.

"Kafin!" Seru Maudy yang semakin kesal karena dicueki. Sekarang posisinya, dia tertinggal di belakang.

Merasa namanya disebut, Kafin lantas berhenti dan membuat Maudy yang masih mengomel itu menabrak punggungnya.

"Aduh! Kalau berhenti bilang-bilang dong!" Maudy mengaduh dan memukul punggung Kafin cukup keras.

Kafin tertawa. Ia menarik Maudy agar berdiri di sebelahnya lalu mengacak-acak rambut kuncir kuda gadis itu.

"Makanya jangan jalan di belakang. Kayak asisten aja."

Bibir Maudy mengerucut. "Kamu jalannya kecepetan. Tungguin makanya."

"Kamu aja yang lambat." Ejek Kafin. "Makanya jangan ngomel terus. Ntar cepet tua, lho."

Setelah itu, Kafin merangkul pundak Maudy dan berjalan beriringan untuk mencari semua titipan dari Widia.

Tujuan utama mereka pagi ini memang berbelanja bulanan untuk keluarga Kafin. Karena itu juga, Maudy tidak bisa menolak. Tidak enak dengan Mama Kafin.

"Kamu pakai mesin cuci satu mata kan? Berarti sabunnya yang ini." Ujar Maudy yang tengah memilih-milih sabun cuci di hadapannya.

"Kaf? Mau yang biru ini atau ini?" Kata Maudy lagi.

Merasa tidak ada jawaban, Maudy melirik ke sebelahnya dan tidak mendapati Kafin di sana. Dia mengumpat, ternyata sedari tadi ia hanya mengobrol dengan troli.

Mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, Maudy menemukan cowok itu berada di depan sebuah boneka beruang yang tingginya hampir setara dengan remaja sepertinya.

Setelah menaruh sabun cuci yang tadi dia pegang, Maudy segera menyusul ke tempat cowok itu berada.

"Serius amat,"

Kafin menoleh dan sedikit terkejut dengan keberadaan Maudy. "Eh, dapet nggak sabunnya?"

Kepala Maudy mengangguk. "Kamu nggak belok kan, Kaf? Sampe natap boneka segitu seriusnya."

Lantas Kafin menyentil kening Maudy pelan. "Menurut kamu? Hm?"

Kedua bahu Maudy terangkat, ia lalu meninggalkan Kafin dan berjalan menuju boneka lain yang lebih menarik perhatian Maudy.

Dia mengambil Teddy bear coklat yang berukuran jauh lebih kecil dari yang sebelumnya mereka lihat lalu memeluknya.

"Suka?"

Maudy menoleh ke samping, menatap Kafin yang tersenyum ke arahnya lalu mengangguk semangat. "Sebenarnya aku nggak terlalu suka boneka sih. Cuma punya dua di rumah. Tapi ini lucu juga. Enak dipeluk.

"Eh fotoin dong!" Sambung Maudy lagi.

"Mana hape kamu?"

"Ketinggalan di mobil kan? Pake punya kamu aja dulu."

Setelah itu Kafin mengeluarkan hapenya dan langsung memotret Maudy sebanyak tiga kali dengan gaya yang berbeda-beda.

"Lagi?"

Maudy mengulurkan tangannya, "mana mau liat dulu."

Kafin lantas memberikan ponselnya. Untuk beberapa saat, Maudy mengamati gambarnya lamat-lamat sebelum mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.

"Udah bagus. Nanti kirimin ya?"

Kafin mengangguk, mengiyakan. "Mau nggak?"

"Apanya?" Tanya Maudy bingung.

"Bonekanya."

Maudy berohria. "Kenapa? Emang kamu mau beliin?"

Awalnya Maudy hanya bercanda saat mengatakan itu, namun Kafin malah mengangguk santai. "Iya. Aku yang bayar, tenang aja."

"Nggak usalah." Jawab Maudy sambil menaruh kembali boneka itu ke tempat semula, namun ditahan oleh Kafin.

"Ambil aja, Dy. Kalau diingat-ingat, selama ini aku belum ngasih kamu apa-apa."

"Apasih Kaf,"

Kafin tersenyum tipis. "Iya kan? Selama ini aku emang nggak ada ngasih apa-apa ke kamu."

"Ya emang aku ngapain sampai kamu harus ngasih sesuatu ke aku? Ulang tahunku masih bulan depan. Menang sesuatu juga enggak." Kata Maudy sambil tertawa pelan.

"Kamu belikan aku jaket lho, bulan lalu." Jawab Kafin lagi.

Satu bulan Maudy memang memberikan sebuah jaket yang menurutnya akan sangat bagus jika dipakai Kafin. Terlebih mengingat cowok itu yang senang sekali mengoleksi jaket atau semacamnya.

"Ohh, itu rencananya buat aku sih. Tapi kebesaran. Jadi aku kasih kamu." Kata Maudy bohong. Tentu saja dari awal jaket itu dia beli khusus untuk Kafin.

Kafin mendengkus. "Kamu nggak pinter bohong, Dy. Itu jaket cowok."

"Okay, aku memang bohong. Tapi kalau kamu bilang kamu nggak pernah ngasih apa-apa ke aku, kamu salah. Kamu udah ngasih banyak hal ke aku." Kata Maudy membuat Kafin mengernyit bingung.

"Apa?" Ujar Kafin sambil melipat tangannya di depan dada.

"More than anything, you give me happines. Sebelum kamu ngatain aku lebbay, aku akui aku emang lebbay. Tapi this is true. I dont know how, tapi kalau sama kamu aku ngerasa nyaman aja gitu. Walaupun kadang kamu suka resek kayak hari ini.

"Kamu yang selalu sempatin anter-jemput aku itu juga sesuatu buat aku. Dan jangan lupa sama kamu yang selalu peka ngasih jaket kalau aku kedinginan. Itu semua jauh lebih penting dari sekadar jaket yang aku kasih atau boneka beruang ini, Kaf." Lanjut Maudy sambil tersenyum manis.

Mendengar seluruh penjelasan itu, membuat Kafin merengkuh gadis itu ke dalam pelukan dan menghirup dalam-dalam wangi rambut gadis itu.

"Dy, pacaran yuk?" Kata Kafin di tengah-tengah pelukannya.

Maudy tersenyum dan mengangguk pelan dalam pelukan Kafin. Tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang kini menatap ke arah mereka.

🙂🙂🙂
25 Januari 2020
Selamat hari raya Imlek bagi yang merayakan.

Implisit ✔Where stories live. Discover now