Fight (2) - Yoonmin

1.2K 115 9
                                    

Jimin masih diam di depan televisi menyala yang entah menyiarkan acara apa. Jimin tidak fokus. Tidak peduli lebih tepatnya.

"Jimin"
"Ya, pa"
"Sudah makan?"
"Nanti saja. Jimin ke kamar dulu"pamit Jimin lalu berlalu menuju kamarnya.

Tuan Park termangu. Sudah hampir satu bulan putrinya bersikap sangat tenang. Tidak pernah membangkang bahkan saat beliau membicarakan tentang Yoongi. Jimin mengatakan jika mereka sudah berakhir seperti yang beliau inginkan. Namun ternyata ada sesuatu yang hilang. Keceriaan Jimin. Tuan Park tak lagi melihat itu dalam diri Jimin. Seolah hilang di rampas secara paksa dan hanya menyisakan suram nya.

Tok tok tok

"Chanyeol"
"Ibu?"
"Kau melamun, ada apa? Dimana Jimin?"tanya nyonya Park heran.
"Jimin di kamar, bu. Ibu akan menginap?"tanya Chanyeol saat melihat asisten rumah tangganya menyeret sebuah koper.
"Iya. Ibu ingin menemani Jimin. Sudah beberapa minggu ini dia berubah. Ibu khawatir. Ini pasti karna Yoongi. Kau memaksa mereka berakhir kan?"
"Bu, aku tidak ingin membahas ini. Aku berangkat kerja sekarang"
"Berhenti egois, Chanyeol-ah. Jimin itu putri mu satu-satunya, jangan sampai kau menyesal, sayang"pesan nyonya Park sebelum berjalan menuju kamar cucu semata wayangnya.

Chanyeol masih berdiri terdiam di dekat ruang keluarga, perkataan ibunya benar-benar terasa seperti tamparan baginya. Sesuatu tiba-tiba muncul dalam benaknya. Kapan terakhir kali ia dan Jimin pergi bersama? Bercanda bersama? Saling berbagi cerita bersama? Sepertinya sudah sangat lama hingga ia sendiri pun lupa.

"Apa yang aku lakukan pada putriku sendiri"gumam Chanyeol lirih.
.
.
.
"Sedang apa, Ji?"tanya Hoseok, teman Jimin.
"Menikmati hidup"jawab Jimin masih dengan mata yang menatap langit biru yang cerah.
"Cih, kata-kata mu. Seperti tak punya beban hidup saja"
"Justru karna hidupku penuh beban, aku mencoba mencari sesuatu yang bisa menenangkan ku"balas Jimin.
"Seberat apa beban mu?"olok Hoseok.
"Seberat restu papa ku"jawab Jimin santai.

Hening. Hoseok terlihat menatap teman baiknya itu dengan tatapan iba nya. Sudah beberapa minggu ini dia tidak melihat Jimin bersama Yoongi lagi. Ia tau keduanya sudah berakhir, tapi biasanya mereka akan kembali bersama selang beberapa hari. Tapi ini lain. Ia beberapa kali melihat Yoongi yang memperhatikan Jimin dari jauh. Bahkan kadang ia tanpa sengaja melihat Jimin dan Yoongi yang saling berpapasan dan hanya dengan bertukar sapa. Apa kali ini benar-benar berakhir?

"Kau ini, kata-kata mu itu menyedihkan sekali tapi kenapa wajahmu datar sekali?"tanya Hoseok.
"Sudah tidak ada sedih lagi, Seok-ah. Hidupku ini bukan sepenuhnya milikku. Aku hanya boneka papa"jawab Jimin tanpa ekspresi.
"Jimin-ah, kau masih punya aku"
"Kalau begitu, apa aku boleh meminta sebuah pelukan?"
"Tentu saja, kemarilah"

Jimin masuk ke dalam pelukan Hoseok dengan riang, namun beberapa saat kemudian Hoseok merasakan bahu kecil itu bergetar diiringi isakan yang sangat kecil. Ah, Jimin menangis lagi.

"Aigoo, Jimin ku yang malang"ucap Hoseok sembari mengusap punggung Jimin lembut.

Disana Hoseok melihat. Sosok yang selalu ada untuk Jimin meskipun tak lagi berdiri sedekat dulu. Yoongi. Namja itu menatapnya dan Jimin yang tak sadar karna memunggungi dan masih tenggelam dalam sedihnya. Yoongi menatap Hoseok penuh harap. "Terima kasih" itu yang bisa Hoseok baca dari bibir pria pucat kesayangan Jimin sebelum memilih pergi.

"Kenapa kau semalang ini?"tanya Hoseok lirih.
.
.
.
Jimin sedang duduk di balkon kamarnya sembari memeluk boneka kumamon besar yang Yoongi belikan saat kencan pertama mereka dulu.

"Jimin"

Gadis itu menoleh lalu kembali menatap ke depan saat tau nenek nya masuk ke dalam kamar.

"Sedang apa, sayang?"tanya nyonya Park.
"Tidak ada, halmie"
"Jimin kenapa menjadi sangat diam sekarang?"
"Memangnya Jimin harus bagaimana?"
"Kemana Jimin yang dulu?"
"Halmie, hidup ini sudah bukan milik Jimin. Hidup Jimin ini milik papa, jadi Jimin hanya akan melakukan sesuatu jika papa memerintah"jawab Jimin datar.

Nyonya Park tersentak dengan jawaban cucu manisnya itu. Jimin tidak pernah seperti ini sebelumnya. Jimin itu anak baik yang ceria, bukan pendiam yang murung seperti ini.

"Jim-"
"Halmie, apa jika Jimin menyesal menjadi anak papa, apa itu termasuk durhaka? Apa dosa?"
"Jimin, kenapa berkata seperti itu sayang?"
"Sebelum Yoongi memutuskan hubungan dengan Jimin, dia bilang dia tidak ingin Jimin menjadi anak pembangkang dan durhaka. Dia ingin Jimin menurut pada papa. Tapi semakin Jimin rasakan, Jimin menjadi semakin tidak mengenali papa, dan akhirnya penyesalan itu hadir"

Nyonya Park tersedu kala melihat bagaimana menderita nya sang cucu. Bahkan Jimin tak terlihat seperti orang yang sedih sekarang. Jimin benar-benar mirip dengan robot sekarang. Sangat kaku.

"Sayang, tolong maafkan papa mu"pinta nyonya Park.
"Itu sebuah keharusan, halmie. Karna Jimin tidak ingin mengecewakan Yoongi dan tidak ingin membuat pengorbanan kami sia-sia"jawab Jimin.
"Kau ingin tau sebab papa tidak suka pada keluarga Yoongi?"

Jimin yang semula tak tertarik pun segera menoleh pada neneknya yang sudah tersenyum dengan mata yang sedikit sembab.

"Akan halmie ceritakan, sayang"
.
.
.
"Jimin"panggil Chanyeol.
"Ada apa, pa?"Jimin menghentikan langkahnya menuju kamar.
"Bisa bicara sebentar dengan papa?"

Jimin mengangguk lalu duduk di sofa yang bersebrangan dengan milik ayah nya.

"Tidak ingin duduk di sebelah papa?"tanya Chanyeol.
"Tidak. Disini saja"tolak Jimin halus.

Chanyeol tersenyum pahit saat mendapat penolakan dari putrinya yang dulu nya sangat dekat dengannya.

"Nanti malam rekan kerja papa akan datang untuk makan malam. Papa harap kau mau ikut makan bersama, dia juga membawa anak nya"terang Chanyeol.
"Namja?"tanya Jimin.
"Iya"
"Papa ingin melakukan perjodohan?"
"Hanya perkenalan, jika cocok bisa saja"
"Baiklah, terserah papa saja. Jimin akan menurut. Jimin masuk ke kamar dulu"

Chanyeol hanya memandang punggung sempit putrinya hingga menghilang di balik pintu kamar bercat merah muda itu.

"Bukankah ini yang aku inginkan. Kenapa putri jadi seperti ini?"

Sebuah tepukan pada pundak Chanyeol membuat namja itu menoleh, sebuah senyuman hangat menyambut Chanyeol.

"Ibu tidak ingin menyudutkan mu, tapi kau bisa dengar sendiri apa yang Jimin katakan beberapa hari lalu kan?"
"Maksud ibu?"
"Ibu tau kau menguping pembicaraan Jimin dan ibu tempo hari"
"Aku hanya ingin yang terbaik untuk Jimin, bu"
"Terbaik untukmu, bukan untuk Jimin"
"Bu"
"Sampai kapan kau mau menuruti ego mu? Sampai putri mu benar-benar tak kau kenali? Apa kau ingat kapan terakhir kali kalian saling bercanda? Apa kau ingat kapan terakhir kali Jimin memperlihatkan senyum cantik nya? Sadarlah, Yeol. Kau hanya punya Jimin. Jangan sakiti hatinya lebih dalam lagi"

Chanyeol terpaku. Kata-kata ibunya ingin sekali ia sangkal, namun ia juga sadar jika apa yang ia lakukan memang salah. Sudah sangat lama rasanya ia tak lagi pergi berdua dengan Jimin, sekedar berjalan-jalan menghilangkan penat. Dan senyuman? Chanyeol hampir saja lupa bagaimana wajah cantik itu saat tersenyum jika di dalam dompet dan ponsel nya tak menyimpan momen itu.

"Ibu mohon, tolong pikirkan perasaan Jimin. Kejadian itu sudah lama, Yeol. Lebih dari 20 tahun kan? Berdamailah dengan dirimu sendiri. Demi Jimin"
"Bu"panggil Chanyeol setelah beberapa saat terdiam.
"Ada apa, nak?"
"Biarkan Jimin menikah dengan anak teman ku. Itu yang terbaik"

Nyonya Park terlihat menghela nafas berat sebelum menepuk pundak putranya itu, beliau memilih berlalu memasuki kamar cucu nya. Tidak ingin berdebat lebih panjang karna mungkin saja akan berakhir sia-sia.

END(?) 😂

BTS fanfic 😍Where stories live. Discover now