26. Hukuman

812 41 0
                                    

Semua orang butuh keadilan.
Kalau gak buat salah, kita pantas untuk membela.

***

Mata Revan membulat ketika ia memasuki ruangan BK. Di sana ada Bu Lita dan Dino yang sedang berbincang ringan. Revan bertanya dalam hati, kenapa Dino ada di sini?

Pemuda itu berjalan mendekat. "Selamat siang, Bu."

"Duduk," titah Bu Lita. Revan mengangguk, lalu duduk tepat di samping Dino.

Kini kedua alis Revan saling bertaut ketika ia melihat beberapa lebam di wajah Dino. Revan beralih menatap Bu Lita yang juga sedang menatapnya.

"Ada apa, Bu?" tanya Revan.

Bu Lita tampak mengambil ponsel, kemudian menunjukkan sebuah foto kepada Revan. Pemuda itu terkejut saat melihat dirinya sedang bersiap di garis start untuk melakukan balap liar. Seingat Revan, foto itu sudah lama, tepatnya waktu ia duduk di kelas 10.

"Bu, foto itu--"

"Belum waktunya kamu bicara." Bu Lita memotong ucapan Revan, sambil men-slide layar ponsel itu. Kini layar ponsel menampilkan sebuah video Revan dan geng Angin sedang melakukan tawuran. Sampai sekarang Revan tidak tahu siapa yang merekam aksi tawurannya itu.

Pemuda itu hanya bisa menggeleng tidak percaya; tidak menyangka kalau ada orang yang dengan tega membuka aibnya di masa lalu untuk menghancurkannya di masa sekarang. Memang tidak bisa ia pungkiri bahwa video itu adalah benar—ia pernah melakukan semua hal itu—tapi, itu hanya kejadian masa lalu, tepatnya sebelum Revan pindah sekolah.

Revan melirik Dino yang sedang menunduk. Ia masih tidak tahu kenapa wajah Dino lebam.

"Ibu pikir setelah kamu jadian sama Rahel, kamu akan berubah. Tapi, ternyata salah." Dari raut wajahnya, Bu Lita terlihat kecewa.

Revan kembali menggeleng. "Itu video lama, Bu."

"Jangan mengelak!" tegas Bu Lita yang berhasil membuat Revan terkejut. "Ibu tidak tahu bagaimana caranya membuat kamu tobat. Pak Hadi saja, sudah bosan mengatasi kamu. Introspeksi diri, Revan! Kamu sudah dewasa, apa kamu tidak lelah dihukum terus?"

Revan diam, lalu menunduk. Mungkin ini belum saatnya ia membela karena apa yang dikatakan Bu Lita adalah benar adanya.

"Kamu bahkan dengan teganya mukul Dino saat ia menegur kamu, padahal niat Dino baik." Ucapan Bu Lita barusan membuat Revan mendongakkan wajahnya. Kini ia menatap Dino sepenuhnya.

"Fitnah." Kini pertanyaan kenapa Dino ada di sini terjawab. Dino-lah yang menunjukkan foto dan video itu kepada Bu Lita dan Dino juga memfitnah Revan tentang lebam yang ada di wajahnya.

Revan beralih menatap Bu Lita. "Saya tidak pernah memukul Dino sampai lebam seperti itu."

"Revan, cukup!" Bu Lita menyentak. "Dino sudah cerita semuanya tentang tawuran dan balapan liar yang sering kamu lakukan. Apa pembelaan kamu?"

"Ibu lebih percaya pemfitnah ini dari pada saya?" Revan tertawa. "Saya berkata jujur, Bu. Terserah Ibu mau percaya atau tidak."

"Ibu percaya karena ada bukti, Revan. Ibu punya teman yang menjabat sebagai guru di sekolah lama kamu. Beliau banyak cerita soal kenakalan kamu di sekolah lama. Dan, yang membuat Ibu semakin percaya semua itu adalah ketika ayahnya Rahel juga mengiyakan bahwa kamu setiap malam sering melakukan balapan liar," ujar Bu Lita.

Revan terkejut setengah mati saat mendengar hal itu. Pikirannya fokus pada empat kata yang diucapkan Bu Lita—'ayahnya Rahel juga mengiyakan'.

"Om Andi?" Revan bertanya. Suaranya pelan, seakan tidak mampu mengucapkan nama itu.

She is RahelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang