34. Sebuah Keputusan

896 38 0
                                    

Tidak ada yang harus dipertahakan dari hubungan yang tidak lagi memiliki kepercayaan.

***

Langit biru tampak berubah menjadi abu-abu. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun.

Revan masih berusaha membantu Rahel untuk bisa jalan, sedangkan Rahel masih berusaha melawan rasa putus asanya. Sudah cukup lama mereka melakukan hal yang diajarkan oleh Glenn, namun belum juga berhasil. Memang Rahel sudah bisa berdiri, akan tetapi itu hanya berlangsung selama kurang dari lima detik.

"Aw!" Rahel merintih kesakitan ketika untuk kesekian kalinya ia harus jatuh. Ingin rasanya ia menangis, namun ia tidak ingin membuat Revan ikut sedih.

"Sakit, ya?" Revan berjongkok, lantas memijat kaki Rahel. Siapa yang tega melihat pacarnya harus menahan rasa sakit sendiri?

"Jangan nyerah, Hel. Kamu harus semangat. Sakit yang kamu rasakan saat ini akan terganti dengan senyuman kebahagiaan kalau kamu bisa jalan lagi," ucap Revan memberi semangat kepada kekasihnya itu.

Rahel memaksakan senyumannya. Matanya mulai berkaca-kaca. Sejujurnya ia tidak mau merepotkan Revan seperti ini. Revan seharusnya tidak ikut menderita karena keadaannya saat ini.

"Wah, romantis sekali." Bersamaan dengan suara itu, terdengar juga suara tepukan tangan. Keduanya mencari sumber suara. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat Dino berdiri tidak jauh dari mereka.

Revan berusaha untuk tidak meladeni Dino. Pemuda itu mengangkat tubuh Rahel dan mendudukannya di kursi.

Dino berjalan mendekati mereka sembari berucap, "Best couple of the year."

Revan berusaha menahan emosi agar tidak menghajar Dino sekarang. "Kita langsung pergi aja, ya."

"Woy, semua yang ada di sini!" seru Dino. Hal itu membuat beberapa orang pengunjung menatap ke arah mereka. "Gue punya pertunjukan seru, nih. Gratis lagi!"

Ucapan Dino berhasil menarik perhatian para pengunjung taman. Mereka segera mendekat ke arah mereka.

Revan dan Rahel tampak kebingungan dengan apa yang akan dilakukan Dino.

"Din, lo ngapain?" tanya Revan. "Maksud lo apa, sih?"

"Buat kalian semua, coba kalian lihat mereka berdua." Dino menunjuk ke arah Revan dan Rahel, sehingga membuat beberapa pengunjung ikut menatap ke arah mereka. "Mereka adalah pasangan yang saling melengkapi. Revan yang sempurna harus mengorbankan waktunya untuk mengurus cewek yang cacat."

Mata Revan terbelalak mendengar ucapan Dino barusan. Keadaan sekitar menjadi riuh.

"Kasian juga, ya."

"Iya, kasihan."

"Lihat aja, cowoknya masih pakai seragam sekolah. Dia rela ngorbanin waktu untuk ngurus ceweknya."

Kira-kira begitulah respon para pengunjung taman itu.

Rahel yang masih duduk di kursi hanya bisa menatap orang-orang di depannya yang sedang memperbincangkan tentang dirinya.

Dino tersenyum sinis. Rencananya akan berjalan dengan lancar kali ini. "Apalagi, Rahel dengan teganya membiarkan Revan masuk dalam kehidupannya yang rumit, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun."

"Dino, cukup!" tegas Revan.

"Gimana pendapat kalian?" Dino menghiraukan perkataan Revan. "Mungkin Revan udah capek ngurus pacarnya yang lumpuh. Tapi, dia cuma kasihan sama pacarnya itu."

She is RahelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang