29. Hancur

947 47 0
                                    

Kamu boleh bersedih, tapi jangan sampai kamu putus asa. Hidup kamu harus berlanjut. Masih banyak yang butuh kamu, termasuk aku.

***

Setelah mengantar Rahel pulang, Revan memutuskan untuk langsung pulang juga. Hari sudah malam, untung saja hujan sudah berhenti. Revan tidak mengambil jaket yang ia berikan kepada Rahel, hanya helm yang ia ambil.

Pemuda itu menyipit saat melihat sebuah motor sport berwarna merah terparkir di depan rumahnya. Ia segera memarkirkan motornya di garasi, kemudian masuk ke rumah untuk memastikan bahwa dugaannya tentang siapa yang datang tidak salah.

Dan benar saja, ketika ia sudah berdiri tepat di depan pintu utama, ia mendapati Raffi sedang duduk di ruang tamu sembari memainkan ponselnya. Sekujur tubuh Raffi terlihat basah juga sama sepertinya.

"Fi." Revan berjalan mendekat dan memasang wajah tidak suka ketika Raffi menatap ke arahnya. Sebenarnya, Revan sangat merindukan semua kebersamaannya dengan Raffi.

Revan mengernyit saat melihat beberapa lebam di wajah Raffi. Bahkan, pangkal hidung pemuda itu terlihat sobek. "Lo kenapa?"

"Masih peduli, ya?" Raffi tersenyum kecut, lalu melepaskan ponsel yang sedari tadi ia pegang di atas meja.

"Lo kenapa?" tanya Revan lagi.

"Gue nyamperin Rimba." Raffi menyugar rambut ke belakang. "Gue curiga alasan lo menjauh itu karena Rimba. Dan, ternyata dugaan gue benar. Rimba, 'kan, yang maksa lo buat jauhin kita?"

Revan terkejut. "Apa?! Lo nyamperin Rimba?!"

"Iya. Akhirnya pertanyaan gue selama ini terjawab juga." Raffi tertawa kecil. "Gue udah kasih pelajaran sama mereka, jadi lo gak perlu menjauh lagi."

Tiba-tiba, wajah Revan terasa panas. Ia tidak menyangka kalau Raffi akan senekad itu. "Fi, lo gak tahu apa yang akan terjadi setelah ini! Seharusnya lo gak melakukan ini, Fi!"

"Emangnya kenapa? Mereka semua udah babak belur. Mereka gak akan berani lagi buat nyakitin lo."

"Iya! Mereka mungkin gak akan nyakitin gue, tapi mereka bisa aja sakitin Rahel!" tegas Revan.

Revan mengacak rambutnya frustasi, lalu menendang sofa yang ada di depannya. "Argh! Sial!"

"Rahel? Apa kaitannya sama Rahel?" Raffi mengernyit bingung.

***

"Kenapa kamu tidak ke kantor Papa?" Langkah Rahel terhenti ketika ia mendengar suara berat dari ayahnya. Ia balik badan dan mendapati ayahnya sedang duduk di ruang tamu dengan masih mengenakan pakaian kantor.

"Papa?" Rahel sedikit terkejut. Ia segera menyalim ayahnya, lalu duduk di sofa. "Tumben Papa udah pulang."

"Gak usah mengalihkan pembicaraan!" sergah Pak Andi. "Kamu lihat kondisi kamu sekarang. Basah kuyup! Di mana tanggungjawab pacar kebanggaan kamu itu?"

Rahel memejamkan mata sejenak. "Pa, kalau Papa gak suka sama hubungan aku dan Revan, gak apa-apa. Aku gak masalah. Tapi, aku mohon, jangan mencoba untuk menghancurkan hubungan kami."

"Kami dipelet, ya, sama Revan? Kamu bahkan gak bisa melihat kesempurnaan dalam diri Glenn."

"Gak ada yang sempurna, Pa." Rahel berdiri dari tempat duduknya. "Aku gak mau berantem sama Papa. Aku capek."

She is RahelWhere stories live. Discover now