Tentang Aku dan Revan

1.5K 65 2
                                    

(Ditulis dari sudut pandang Rahel Andini)

Aku bingung, kenapa harus kamu yang selalu berjuang? Apa kamu tidak pernah lelah?
-Rahel Andini-

Aku yang memulai.
Jadi, aku yang paling bertanggungjawab atas hubungan ini.
-Revan Ardiansyah-

- H A P P Y   R E A D I N G -

Siang tadi aku dan Revan baru saja pulang dari rumah sakit. Kami bergegas menuju rumah sakit ketika kami mendengar kabar bahwa Mira akan melahirkan anak pertamanya. Aku bahagia melihat Mira tersenyum ketika mendengar suara tangisan anak laki-lakinya yang sangat lucu. Wajah anak itu sangat mirip dengan Raffi.

Namun, di balik kebahagiaanku itu tersirat kesedihan yang teramat sangat. Jujur, aku iri melihat Mira dan Raffi bisa memeluk buah hati mereka. Sedangkan aku dan Revan masih berduka atas kepergian anak kembar kami. Ya, setahun yang lalu aku mengalami keguguran. Tidak hanya itu, kandunganku harus diangkat. Aku tidak bisa hamil lagi. Harapan Revan untuk bisa memeluk buah hati kami berdua harus aku patahkan.

Aku tahu, Revan juga sakit hati ketika harus menerima kenyataan pahit itu, namun Revan selalu berkata, "Gak apa-apa. Bahagia dalam keluarga itu bukan cuma tentang anak."

Revan selalu menguatkan aku, tapi bagaimanapun aku merasa bersalah karena tidak bisa memberikan keturunan untuknya.

Aku bisa melihat bagaimana Revan menginginkan seorang anak. Hal itu terbukti dari sikap Revan yang selalu menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumah Deva, Bagas dan Rimba sekedar untuk memeluk anak-anak mereka yang lucu-lucu.


Saat ini aku sedang melihat pantulan wajahku di cermin. Aku bisa melihat dengan jelas air mataku menetes.

Pintu kamar terbuka. Cepat-cepat aku mengusap air mataku—merasa takut jika Revan mendapatiku menangis lagi. Aku sangat paham hal yang paling Revan tidak suka di dunia, yaitu ketika melihat aku menangis. Revan sendiri yang mengatakan hal itu.

"Menangis lagi?" tanyanya sembari melepas dasi. Ia menghampiriku sambil menunjukkan raut wajah tidak suka.

Aku diam karena berbohong pun percuma. Aku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku terhadap Revan. Suamiku itu selalu saja tahu jika aku sedang bersedih karena katanya mataku selalu terlihat jelek ketika menangis.

"Apa yang harus aku lakukan agar kamu tidak menangis terus?" Revan bertanya. Ia juga menatap dirinya sendiri di pantulan cermin.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Lidahku terasa keluh untuk mengeluarkan suara. Bibirku bergetar. Aku selalu merasa lemah karena tidak mampu menahan tangisan.

"Aku tidak bisa melihat kamu menangis terus, Rahel. Aku tidak kuat. Kamu tahu itu, 'kan?" Revan seakan mendesakku. Aku tidak tahu harus merespon apa.

Aku dibuat tidak berani menatap Revan. Air mata menetes ketika aku mengedipkan mata.

Revan menarik tanganku untuk berdiri dan mendudukkanku di atas spring bed. Tangannya menarik kepalaku untuk bersandar pada bahunya. Ia mengelus lembut rambutku sembari berkata, "Jangan menangis lagi."

***

"Selamat pagi." Revan menyapaku ketika aku sedang mempersiapkan sarapan untuknya. Seperti biasa, ia akan mengecup keningku sebelum duduk untuk sarapan bersama.

She is RahelWhere stories live. Discover now