40. Melepaskan

1.1K 55 12
                                    

Ada saatnya hati kita harus tegar untuk melepaskan.

***

Sepulang sekolah, Rahel segera bersiap untuk menuju rumah sakit. Sebenarnya ia sudah berencana sepulang sekolah langsung menuju rumah sakit, namun rencananya itu harus dia batalkan karena berpikir bahwa ia akan menginap malam ini di rumah sakit berhubung besok hari Sabtu. Jadi, Rahel perlu mengambil baju untuk dibawa ke rumah sakit.

Rahel mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan pengering rambut, lantas menyisirnya. Rambut pajangnya yang lurus kini terlihat lebih rapi. Ia menatap pantulan dirinya di cermin sambil tersenyum kecut.

"Kangen banget sama kamu, Revan." Gadis itu menarik nafas dalam-dalam, lantas menghembuskannya perlahan. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap tersenyum, agar Revan tidak kecewa terhadapnya.

Setelah puas dengan penampilannya yang sederhana, namun tetap cantik, gadis itu mengambil tas berisi baju ganti dan peralatan lainnya kemudian berjalan keluar kamar.

Gadis itu menuruni anak tangga sambil memainkan ponselnya. Ia mengirimkan pesan kepada Mira bahwa dia akan menuju rumah sakit sekarang.

"Rahel." Rahel mengalihkan pandangannya dari ponsel ke arah sumber suara.

"Aku mau ke rumah sakit." Rahel meraih tangan ayahnya, lantas menciumnya.

"Tunggu." Pak Andi menahan tubuh Rahel agar anaknya itu tidak pergi seenaknya.

"Apa lagi?" tanya Rahel malas. "Semua ketertinggalan aku udah fix. Aku udah salin semua catatan Mira dan minta bantuan Mira untuk jelasin materi yang aku gak ngerti. Mira juga udah bantu aku ngumpulin tugas-tugas yang gak sempet aku buat karena sakit."

Rahel seakan sudah tahu apa yang akan dibahas oleh Pak Andi. Apalagi kalau bukan tentang pelajaran?

"Bukan itu, Sayang. Papa kangen aja sama kamu. Beberapa hari ini kamu selalu sibuk ngurusin Revan."

"Oh, ya? Aku juga pernah bilang gitu ke Papa, terus apa Papa peduli? Papa selalu sibuk ngurus kerjaan Papa tanpa henti. Aku pikir Papa udah berubah, tapi ternyata itu cuma pemikiran aku aja, bukan kenyataannya." Rahel menatap ayahnya itu lekat. "Aku ngurusin Revan karena selama ini yang ngurus aku itu Revan, bukan ayah kandung aku sendiri."

"Salah gak, sih, kalau Papa cemburu sama Revan? Kamu selalu membanding-bandingkan Papa dengan Revan."

"Jadi, karena itu Papa benci sama Revan?" tanya Rahel. "Kalau gitu, salah gak kalau aku cemburu sama kantor dan laptop Papa? Salah gak kalau aku cemburu sama mitra kerja Papa? Jangan salahin aku kalau aku benci sama perkerjaan Papa! Aku cemburu sama pekerjaan Papa. Kenapa? Karena Papa selalu mengutamakan pekerjaan Papa dari pada aku!"

Pak Andi mengusap wajah. "Kenapa akhir-akhir ini kita selalu berantem, sih?"

"Aku juga gak mau berantem sama Papa. Jadi, biarin aku pergi. Aku ngurus Revan, dan Papa silakan urus pekerjaan Papa itu!" Setelahnya, Rahel segera pergi meninggalkan Pak Andi yang masih bergeming di tempatnya.

Merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, Pak Andi berlari mengejar Rahel.

"Rahel!"

Mendengar namanya dipanggil, Rahel sempat menghentikan langkahnya. Namun, tidak menunggu waktu lama untuknya kembali melanjutkan langkah.

She is RahelWhere stories live. Discover now