Yumenosaki Private Academy

184 21 7
                                    

Ketika ibunya berkata mereka akan pindah, Moriyama Seiko tidak merasa sedih. Lagipula, Tokyo sudah terasa menyesakkan baginya. Dia tahu dia akan merasa kesepian nantinya ketika meninggalkan teman-teman sekolahnya, namun Seiko tetap menyetujui pilihan ibunya untuk meninggalkan tempat di mana ia lahir dan tumbuh besar bersama keluarga tersayangnya.


Adiknya juga tidak terlihat keberatan dengan pilihan ibunya. Sehingga saat mereka meninggalkan Tokyo, Seiko beserta ibu dan adiknya dapat melepaskan helaan napas lega. Seiko tidak terkejut. Dia sudah menduganya. Hanya saja dia tetap tidak menduga sekolah barunya.


"Jurusan Produser Akademi Yumenosaki?"


Moriyama Kaori tersenyum canggung, sembari meletakkan cangkir kopinya di meja, dia menghela napas panjang. "Yumenosaki sudah lama dikenal sebagai sekolah dengan akreditasi yang bagus. Kurasa tidak ada salahnya menyekolahkan kalian di sana," jelasnya. "Sei berhasil mendapatkan bangku di jurusan musik, hanya saja tidak ada bangku kosong pada jurusan umum. Satu-satunya yang menyediakan bangku kosong adalah jurusan produser yang masih belum sepenuhnya resmi."


Netra ungu Seiko menatapi pamflet pada tangannya. Pada pamflet itu, ada pengenalan mengenai sekolah baru Seiko dan adiknya. Di Akademi Swasta Yumenosaki, terdapat enam jurusan; jurusan umum, jurusan idol, jurusan musik, jurusan vokal, jurusan teater, dan jurusan terbaru mereka—jurusan produser.


Dia tidak terkejut kalau adiknya ingin mendaftar pada jurusan musik. Toh, Sei memang sudah lama menunjukkan rasa sukanya pada musik. Seiko sendiri ingin memasuki sekolah yang sama dengan adiknya. Hanya saja untuk memasuki jurusan produser yang belum sepenuhnya resmi (berdasarkan ucapan ibunya), Seiko merasa sedikit ragu.


"Tidak ada salahnya kalau kau menolak, Seiko," Kaori berkata sembari menggapai tangan putrinya. "Ibu bisa mencarikanmu sekolah yang lebih cocok untukmu kalau mau. Mungkin saja ada sekolah seni yang masih menerima siswa baru. Kau masih senang melukis, bukan?"


Seiko masih diam saja. Dia memperhatikan tangan ibunya untuk sesaat, sebelum menatapi wajah sang ibu. Kaori menyunggingkan senyuman lembut, namun Seiko bisa melihat senyumannya tidak mencapai matanya dan tampak lesu. Ada lingkaran gelap tipis di bawah matanya. Bahkan tatapan Kaori juga menunjukkan kelelahannya.


Pandangan Seiko jatuh pada tangan ibunya. Kulit tangan sang ibu terasa sedikit kasar, namun Seiko tetap menyukainya. Tangan hangat yang selama ini mengusapnya dengan lembut dan penuh perhatian. Tangan yang selalu bekerja keras untuk dirinya dan juga sang adik. Tangan yang selalu melindunginya.


Sembari menyunggingkan senyuman tipis, Seiko menatapi ibunya lagi. "Tak apa bu," ucapnya, tangannya membalas genggaman sang ibu. "Aku tidak keberatan memasuki jurusan itu. Ibu tidak perlu repot mencari sekolah baru. Toh, ibu juga masih sibuk dengan tempat kerja baru ibu, bukan?" tanyanya penuh rasa khawatir.


Kening Kaori mengerut ketika mendengar ucapannya. "Seiko, ibu tidak keberatan mencarikan tempat yang lebih cocok untukmu," katanya. Salah satu tangannya berpindah untuk mengusap pipi putrinya. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan ibumu. Yang pasti ibu ingin yang terbaik untukmu..."


"Aku benar-benar tak apa," Seiko berusaha meyakinkan ibunya. "Lagipula, aku ingin memasuki sekolah yang sama dengan Sei."

StarlightWhere stories live. Discover now