Nightmare

93 18 7
                                    

Suara pecahan vas porselen mengisi ruang tamu. Padahal di luar hujan cukup deras, tapi suara pecahan tadi memekakkan telinga sampai Seiko langsung meringkuk ketakutan. Refleks ia juga menarik adiknya dalam pelukannya, menjauhkan tubuh mereka dari beling porselen yang terserak di lantai.


Sosok itu meraung. Meja ia tendang. Seiko mundur untuk menjauh dari pria tersebut. Sei yang masih dalam pelukannya mulai bergetar. Tangan anak laki-laki itu menggenggam erat kaus Seiko. Di antara suara perabotan yang diacak-acak dan hujan di luar, isakan Sei-lah yang mengisi gendang telinga Seiko.


Siapa sangka ayah mereka, seorang pria yang lembut dan perhatian, akan meluapkan amarah di hadapan putra-putrinya seperti ini.


Pria itu berbalik, menghadap anaknya. Seiko tersentak kaget. Dia memeluk Sei lebih erat, juga berusaha menyembunyikan adiknya dari ayahnya. Tatapannya dingin. Mata abu-abu menatapi kakak beradik itu dengan tajam. Tidak ada tatapan penuh kasih sayang yang biasanya pria itu tunjukkan.


"Dia meninggalkan kita," ucapnya sambil menggertakkan gigi. "Kau dengar itu? Dia meninggalkan kita. Dua hari. Dua hari tanpa kabar dan sebagian besar barangnya sudah hilang!" bentaknya. Kepalan tangannya dia pukulkan pada dinding.


Seiko menggigit lidah. Matanya mulai mengabur karena air mata. Meski dia berusaha untuk membendungnya, yang ada air mata tetap mengalir setetes demi setetes.


Pria tersebut mengerang nyaring. Suaranya menyedihkan. Seperti jeritan penuh amarah dan tangisan yang disatukan. "Ibumu meninggalkan kita," kali ini dia berkata dengan lebih pelan. Namun suaranya berat dan penuh rasa sakit. "Ibumu pergi. Kau tahu itu? Ibu kalian sudah tidak di sini! Dia tidak lagi mencintai kita! Dia tidak lagi mencintai kalian!"


Bohong. Seiko tidak mau percaya. Ibunya yang melahirkan dan membesarkannya selama ini bukanlah wanita yang dingin. Ibunya selalu memberikan Seiko dan Sei kasih sayang tiada banding. Tidak lupa beberapa hari yang lalu Seiko masih melihat wanita itu, tersenyum dan tertawa bersama suami dan anak-anaknya. Dia tidak mungkin melupakan keluarganya semudah kata ayahnya.


Dia juga tidak mau percaya kalau keharmonisan keluarganya sudah retak. Padahal sebelumnya mereka baik-baik saja. Padahal beberapa hari yang lalu mereka masih menikmati hari bersama-sama dengan senang. Padahal semuanya baik-baik saja sebagaimana mereka seharusnya.


Tidak.


Seiko tahu hubungan orangtuanya sudah mulai merentang.


Dia tahu. Tapi dia tidak mau percaya. Dia hanya tidak mau percaya kalau kali ini hubungan mereka sudah rusak. Entah apakah bisa diperbaiki lagi atau tidak. Selama ini dia tahu, tetapi dia pura-pura tidak tahu dengan harapan semuanya akan baik-baik saja.


Nyatanya dia salah besar.


"Apa-apaan dia?! Kenapa ini terjadi?!" ayahnya lagi-lagi menendang meja. "Apa yang salah?! Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik tapi kenapa ini terjadi?!"


Seiko tidak lagi bisa mendengar bentakan ayahnya dengan jelas. Dia menangis tanpa membuat suara. Sambil melihat ayahnya meluapkan amarahnya pada ruang tamu. Sambil mendengar adiknya yang menangis sesenggukan di pelukan. Sambil berdoa semuanya cepat selesai dan dia terbangun. Berdoa kalau ini hanyalah mimpi buruk belaka.

StarlightWhere stories live. Discover now