Pembenci Hujan

8.8K 165 5
                                    

Serpihan kenangan itu tak berhenti berkelebat di benak Fatihah ketika hujan turun. Dan sore ini ia sangat terpukul ulu hatinya lantaran hujan telah sejam lebih tak berjumpa reda. Sore ini air mata langit turun tanpa ampun. Rinainya jatuh teratur di halaman rumah dari genteng dan aspes. Hujan tak sendirian datang, ia mengajak angin sambil membelai-belai pohon, dahan, dan dedaunan di pelataran perumahan Fatihah. Juga pepohonan dan dedauna di pinggir jalan-jalan raya juga tak luput dari belaiannya. Pohon-bohon nampak nyengir menahan geli. Ada juga pohon di sebelah sana yang murung, melamun, marah, sedih, dan ada yang merindu. Suasana di luar rumah nampak sibuk bagi air dan angin. Mereka berkejaran ke sana ke mari. Ribuan orang berteduh di bawah pertokoan yang sudah tutup. Ada juga yang terus menembus hujan-angin dengan membungkus tubuhnya dengan mantel. Genangan air berserak di sana sini. Pengendara sepeda motor mengutuk hujan. Pengendara mobil enak menyetel musik sambil kepalanya bergidik-gidik patuh irama.

Fatihah meski sedang berdiam di dalam rumah terus menghardik hujan. Dia sangat kecewa pada hujan. Memang Fatihah sangat berbeda dengan kebanyakan perempuan di muka bumi ini. Guru TK itu remuk hatinya bila mendapati hujan turun dari langit. Tak sudi ia melihat hujan meski air suci itu katanya datang dari khayangan. Melihat saja tidak apalagi menikmati tetes demi tetesnya. Paling dendam lagi, berbarengan dengan hujan ada desir angin menyergap dadanya. Benci dia.

Fatihah aneh!

Banyak orang menitikan air mata bahagia ketika hujan turun. Ada yang menikmati sambil minum teh panas atau kopi mahal yang katanya romantis di sebuah kafe, ada juga sambil merenung di kursi malas di balkon apartemennya, ada pula yang menyanggah dagunya sambil menatap rinai hujan dari balik jendela, bahkan matanya tak berkedip demi tetes-tetes air langit itu. Jutaan raga-raga lainnya bahkan sedang memadu cinta di kala hujan tiba.

Bagi banyak manusia, katanya hujan penuh kenangan. Sepanjang hujan sepanjang itu pula kenangan berlangsung. Mungkin jutaan orang saling jatuh hati dan memutuskan untuk hidup bersama sampai kakek nenek saat hujan ini. Makanya dengan hadirnya hujan menjadi begitu indah bagi kehidupan seseorang. Siapa pun itu. Kecuali Fatihah. Dia aneh!

Memang beda dengan Fatihah. Ia sangat membenci hujan. Bahkan marah kadang bila hujan turun. Saat pulang bekerja dia lekas-lekas ia menepikan motornya bila langit gerimis. Tak menunggu hujan lebat, lekas-lekas ia memakai jas hujan. Sudah lengkap jas membungkus tubuhnya lalu ia menarik gas motornya sampai penuh. Ia sangat tak sudi dilanda hujan.

"Dasar, hujan pembawa petaka," gumamnya.

Di rumah Fatihah langsung berberes badannya lalu mengurung diri di kamar. Dia keluar kamar bila hujan benar-benar berujung. Hujan bagai malapetaka bagi dia.

Seperti sore ini. Sepulang kerja sejak dari sekolah TK tempatnya mengajar hujan sudah turun. Terpaksa ia pulang dengan mengebut agar cepat sampai di rumah.

Di kamar ia mengurung diri. Galau. Ia rebahan sambil menutup telinganya dengan bantal agar tak mendengar denting piano hujan. Berguling kanan kiri sama tak sedap. Duduk ambruk di kasur pun tak nyaman. Lalu ia terpaksa berdiri, sore itu. Duduk melihat pantulan gambarnya di cermin meja riasnya. Kedua pipinya ia elus sendiri. Rambutnya disisir, matanya dikerjap-kerjapkan, bibirnya disentuh, dagunya, lehernya, terus ia pandangi ke bawah. Sampai perut. Ia berdiri. Berputar-putar di depan cermin. Batinnya menghibur diri: aku loh cantik, aku loh langsing!

Kini ia duduk lagi. Lalu air bening meleleh di pipinya tanpa ia sadari, tanpa permisi, rupanya tak kuasa ia menahan. Sekali lagi gegara hujan di luar rumahnya yang seakan tiada akhir.

Kini ia menjambak rambutnya sendiri sampai awut-awutan seperti orang depresi. Bahkan lebih. Lebih mirip orang tak waras.

"Laknat Kau Mas... laknat..."

Fatihah sangat membenci hujan bahkan menaruh dendam. Tapi sebenarnya ia mulanya sama dengan perempuan lain—di bumi ini—yang suka hujan. Baginya, dulu, hujan romantis. Bahkan ia dulu jadian dan menyatakan akan hidup sampai menua dengan seorang lelaki ganteng, ya saat hujan. Kejadiannya malah di sebuah kafe di jantung kota. Memang mestinya hujan itu romantis, manis, dan menyajikan bertriliunan kenangan.

Ia benci hujan karena calon suaminya, namanya Deny meninggalkannya saat hujan. Bukan mati. Tapi si karyawan BUMN itu menghianati cinta suci Fatihah. Cinta yang meledak, akhirnya, seperti bom waktu yang meluluh lantakkan segalanya. Hati Fatihah hancur berkeping-keping. Seolah, saat itu, berakhir sudah perjalanan hidup ini. Padahal dia sangat mengidolakan ungkapan manis seorang penulis kawakan. Bahwa saat kau hancurkan hatiku, akan tetap kucintai engkau dengan serpihan yang tersisa. Kata manis itu rupanya pahit kenyataannya. Fatihah tak bisa menjadikan kata manis itu sebagai obat mujarab, kali ini. Maaf!

Bermulanya di sini. Sore itu hujan turun dan Fatihah pulang kerja langsung menuju rumah Deny, kekasihnya. Ia sampai di rumah Deny dengan wajah semringah. Fatihah membawakan Nasi Bebek Jayjay yang kesohor, kesukaan Deny. Fatihah berangan ini akan membahagiakan calon suaminya itu.

Ia rela berhujan-hujan dari sekolah tempat mengajar demi membawakan makanan favorit kekasihnya itu. Fatihah biasa begini. Ia punya kunci serep rumah Deny. Mereka enam bulan lagi rencananya akan menikah. Semua sudah oke. Semua sudah dipersiapkan.

Sayang seribu sayang, saat Fatihah masuk ke kamar Deny, eh, Deny sedang memadu cinta dengan wanita lain. Bahkan mereka sedang memainkan melodi terindah bak sepasang suami istri halal. Apalagi suasana mendukukung. Hujan. Adem. Seger!

Bodoh Deny juga kenapa hanya pintu depan yang ia kunci. Kamarnya tidak. Maka mendapati pemandangan itu tak hanya nasi bebek yang tumpah ruah ke lantai tanpa Fatihah sadari, hati Fatihah pun runtuh berkeping-keping. Berserak tak terperi.

Nasi yang harapannya akan dimakan sekotak berdua sambil besenda gurau, berkisah indah ini itu penuh cinta, kini berserakan di lantai. Persis hati Fatihah yang remuk redam tak keruan. Ia mematung tanpa kata di pintu kamar Deny. Wajahnya memerah, matanya perih, telinganya panas, dadanya sesak dan sekujur tubuhnya bagai hendak meledak. Lalu perlahan air mata Fatihah meluap dan mengaliri seutas sungai di pipinya.

Janji Deny akan sehidup semati dengan Fatihah, bohong. Akan menjaga perjakanya hanya untuk Fatihah, untuk malam pertama mereka, dusta! Sungguh laknat! Biadab! Kini telah semua Deny khianati. Maka Fatihah berhambur keluar rumah. Segera ia starter motor metic-nya lalu ditarinya gas sekuat tenaga. Deny tampak menyesal dan ingin mengejarnya tapi perempuan di kamar itu mencegah. Dengan cepat Fatihah pergi. Ditembuslah hujan dengan motornya hingga sampai di rumah dengan basah kuyup. Airmatanya deras sederas hujan sore. Dan tahu-tahu sudah sampai di rumahnya.

Kini Fatihah kembali nelangsa di depan meja riasnya. Kenangan-kenangan laknat itu tak berhenti berkelebat di benak Fatihah ketika hujan turun. Dan sore ini ia sangat terpukul karena hujan telah dua jam lebih tak bertemu reda. []

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now