Diaaaaaaaaam....

1.4K 57 0
                                    

Selepas malam itu, Fatihah kian dekat dengan Yadi. Di kampus sering makan di kantin berdua bila keduanya sama-sama punya jam kosong. Mereka sering mengobrol ngalor-ngidul, membincangkan macam-macam. Soal keseharian, soal negara, soal sekitar, soal apapun yang menarik dan yang tak menarik, juga soal hati mereka.

Bahkan keduanya sudah punya tempat makan favorit. Bukan di kafe dalam kampus yang mulai pengap karena mahasiswa mahasiswi nyampur sama-sama ngerokok. Jadi Pak Yadi dan Fatihah mencari tempat makan dan ngobrol yang kondusif. Ketemulah tempatnya di sebuah warung makan tidak terlalu besar namun nyaman, lokasinya tak terlalu jauh dari kampus.

Tak hanya bercengkarama di kampus, saat pulang pun beberapa kali—bisa juga dikata sering—Fatihah diantar pulang ke kost atau ke rumah oleh Pak Yadi. Bahkan kadang Yadi rela menunggu beberapa menit di parkiran masjid saat Fatihah sedang shalat di dalam. Ini namapaknya jadi pelajaran berharga bagi banyak manusia. Mereka tak terlelu mempermasalahkan perbedaan. Mereka menjunjung tinggi persamaan di anatara mereka. Mereka sama-sama menaruh cinta di bilik hati masing-masing. Mereka memang beda iman, beda keyakinan, tapi mereka mengedepankan persamaan sebagai makhluk Tuhan yang saling mengasihi dan bahkan mencintai.

Dan dari banyak hal yang telah mereka jalani dan akan mereka hadapi mereka bahagia. Mereka nampaknya berbahagia bila bersama, meski belum ada yang mengutarakan isi di dada mereka. Keduanya menyimpan rasa yang besar: cinta.

Soal hati, Yadi jelas tersirat disandarkan ke hati Fatihah. Namun soal iman Yadi rasanya masih belum bergeming. Tapi hidayah Allah siapa yang tahu. Fatihah begitu yakin pria jangkung yang hidungnya lancip itu, nanti, akhirnya akan masuk Islam.

Situasi macam itu akhirnya pun sampai di telinga Lestari, sahabatnya. Fatihah dan Lestari pagi ini mengobrol di sebuah kafe tak jauh dari sekolah tempat putri Lestari bersekolah. Lestari tak punya banyak bendahara kata untuk menasihati sahabatnya dalam menjalani kedekatan dengan pria beda agama itu. Namun bukan Lestari kalau tak punya nasihat baik untuk Fatihah, sahabatnya itu.

"Coba kamu istikharah, Beb. Siapa tahu Pak Yadi memang dikirim Allah untukmu." Lestari serius mengucapkan itu. Fatihah meyanggah pipi kanannya, matanya melihat plafon kafe di ujung sana, dia terkesima dengan lampu kecil yang lucu. Warna warni dan justru karena beraneka warna lampu itu terlihat indah.

"Kamu tidak lagi dekat dengan siapapun kan sekrang ini?" Lestari mengintrogasi sahabatnya. "Heh? Ngelamun aja!"

"Eh... Sorry... Sorry..." Fatihah meringis. Dia malah menggaruk-garuk dahinya yang tidak gatal. Fatihah tidak menjawab. Seolah buntu benaknya.

"Berati bisa jadi benar Pak Yadi dikirim Allah buatmu, Beb," Lestari mengekekeh.

"Ah, nggak serius ah kamu, Beb," protes Fatihah.

"Serius cantik! Lebih baik nanti istikharah ya!"

"Tapi dia Kristen, Beb. Bingung aku."

"Takdir tak ada yang tahu, Beb. Mungkin hari ini, besok, atau jangan-jangan detik ini Pak Yadi sudah bersyahadat,"

"Aamiin,"

Fatihah mengusap mukanya dengan kedua tapak tangannya.

"Kamu yang sabar aja, Beb. Terus mendekat jangan jaga jarak terlalu jauh. Pak Yadi orang baik. Dia sholih loh Beb. Meskipun belum Islam."

Fatihah terenyuh dengan nasihat sahabatnya. Dia saat ini penuh harap kepada Allah Ilahirobbi, semoga Pak Yadi segera bersyahadat.

Ah, mimpi!

Malam harinya Fatihah benar-benar melakukan shalat istikharah. Meski matanya berat ia paksa bangun di tengah malam. Usai shalat istikharah dia lanjutkan shalat tahajjud. Dia tumpahkan air matanya di sajadah bersama dengan harapan-harapan suci.

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now