Esok Akan Kutatap Langit Sore yang Indah

1.3K 58 5
                                    

Malam ini Fatihah berjanji untuk dirinya sendiri sebelum mengatupkan kedua matanya. Nanti akan menerima lelaki manapun asal sholih. Baik lebih tua darinya atau lebih muda. Baik ganteng maupun agak ganteng. Kalau jelek banget janganlah!

Ia memejamkan mata dengan optimis. InsyaAllah esok atau lusa atau entah kapan, Allah pasti akan mengirimkan jodoh untuknya. Jodoh yang terbaik yang benar-benar tak salah alamat dan tidak terlambat. Jodoh yang memang sudah tertulis begitu di catatan suci I istana khayangan.

Fatihah berniat bila ia mendapat jodoh yang dipilihkan Allah swt untuknya meski di ujung usianya, ia akan mengajaknya ke pantai menikmati langit senja yang indah. Dan bila perlu setiap sore pun akan dia mengajaknya. Baginya senja selalu indah. Langit berwarna jingga dan matahari perlahan merebah lalu terlelap di pangkuan bumi.

Selain itu ia akan mengajak suaminya kelak sesekali mendaki ke gunung. Mungkin ke Arjuno, ke Rinjani, ke Semeru, ke Bromo, dan sebagainya. Niatnya adalah untuk menghirup udara segar pegunungan. Juga untuk menikmati hijau dedaunan yang rimbun, sejuk dan indah. Fatihah akan selalu bersujud syukur kepada Allah atas rejeki tersebut. Bila benar-benar jodoh itu segera dikirimNya segera.

Untuk malam ini sebelum memejamkan mata rasanya itu saja dulu angan-angan Fatihah. Dia sangat berharap apa yang dikhayalkan akan jadi kenyataan. Dia akan sabar mengikuti skenario Tuhan atas takdir hidupnya. Dia percaya bahwa alur hdupnya akan indah. Karena yang menyusun alur itu adalah Allah, Tuhan Yang Maha Romantis. Bukan manusia yang sok romantis, bahkan palsu!

Maka kini dalam tidurnya Fatihah benar-benar bermimpi. Ia bermimpi sedang mendaki gunung. Tak sendirian, melaikan bersama seseorang.

"Loh, Pak! Kamu suamiku ya?" Fatihah kaget bukan buatan saat dalam perjalanan mendaki ternayata di temani orang yang taka sing baginya.

"Iya 'kan kemarin kita menikah?" ucap Yadi santai menanggapi pertanyaan Fatihah.

"Mana mungkin? Kan Pak Yadi non muslim. Masak Ayah Ibuku mau menikahkan aku sama sampean."

"Nggak tahu, lah ini kenyataannya kita bareng, artinya kita sudah suami istri. Hehe"

"Tidaaaaaaaaaaak... Fatihah berlari menjauhi Yadi."

Seketika itu ia terperanjat, terjagalah dia, ngos-ngosanlah dia sambil duduk dengan perasaan tak keruan di ranjang tidurnya. Diteguklah gelas berisi air yang tadinya terparkir di meja pojok ranjangnya, diminumnya air itu hingga tandas.

Dia benar-benar tak yakin Yadi adalah imam yang dikirim Allah SWT untuknya. Yadi adalah nasrani yang baik. Dia cinta sama Tuhannya, dia pasti setia dengan ajarannya. Bagaimana mungkin dia akan berpaling dan memilih Fatihah. Apalagi dia juga adalah kader gereja yang taat. Fatihah putus asa membayangkan semuanya. Rasa-rasanya memang mustahil Yadi bisa mualaf. Diteguknya lagi air di gelas itu hingga tinggal gelas. Lalu diletakkan gelas itu di meja sudut dipannya. Kemudian beristighfar beberapa kali. Dilihatnya jam duduk di meja dekat gelas berisi air mineral itu sedang bersila di angka 3 lebih sedikit. Dijatuhkan lagi kepalanya di bantal. Fatihah memejamkan mata lagi. Dia melanjutkan tidur. Matanya mengeja plafon putih di atas kamarnya. Lama ia menatap plafon putih itu. Hasilnya? Kantuk tak datang lagi. Ia malah segar sekarang. Bila mata terpaksa dipejamkan wajah Pak yadi yang makin jelas terpancar. Ayolah, ngantuklah!

Pukul empat tepat Fatihah bangun tidur nampak kurang segar. Ia bergegas mengambil wudhu lalu mendirikan Shalat sunah bakda Subuh kemudian menegakkan shalat Subuh. Di sujud terakhirnya ia utarakan niat mulianya kepada Allah Sang Pemilik Takdir semua makhluk di jagat ini. Bahwa ia sangat ingin menikah. Tapi menikahnya harus benar-benar dengan lelaki muslim, sholih, dan bisa menjadi imam shalatnya. Tak apa-apa dia bukan orang kaya seperti yang diingikan dahulu kala. Tak apa-apa dia bukan orang akademisi atau dokter atau pengusaha, yang penting sholih dan baik.

Ia sampaikan juga agar Allah swt menyegerakan sesegera-segeranya dalam mendapatkan Imam itu.

"Mohon segerakan ya Allah!" gumamnya.

Bahkan ia sampaikan pula bahwa jika pagi nanti sudah ada pun dia siap menikah. "Hamba sekarang sudah menurunkan grade untuk calon pendamping hidup hamba ya Allah," gumamnya lagi. "Yang penting baik agamanya, yang sholih ya Allah!" penurunan grade dari orang yang mapan ke orang yang baik agama dn sholih itu didasarkan karena Fatihah merasa bosan sudah sering gagal merajut cinta.

Usai shalat Fatihah berdoa banyak-banyak dan panjang-panjang. Intinya untuk jodoh lagi. Tidak lebih tidak kurang.

Usai shalat dan doa Ibu menelepon Fatihah.

"Gimana kabarmu, Sayang?" ibu menyapa.

"Aku tak sabar, Bu!" jawab Fatihah.

"Heh, ada apa, Sayang?"

"Tidak, Bu. Aku oke! Sekarang aku berdoa, Bu. Semoga Allah segera mempertemukan mantunya Ibu."

"Aamiin,"

"Lelaki itu tak perlu berpendidikan tinggi, tak perlu yang kaya dan ganteng. Pokoknya sholih, sedap dipandang, dan mampu memimpin aku dalam shalat dan dalam keseharian, Bu." Fatihah mengutarakan itu sambil memeluk bantal pagi itu.

"Haaa, masih ngayal kamu, Fat!"

Ibunya tersenyum ngenyek sambil meletakkan lipatan baju yang baru saja disetrika di depannya.

"Itu loh masih pilah-pilih namanya, Nduk. Coba nggak usah pilah-pilih, Fatihah," kata ibu. "Ibu sudah rindu nimang cucu ini Fatihah. Ayo mbok yo serius kamu nyari suami, Nak. Jangan sibuk di kampus terus...."

"Iya, Ibu... ini sudah sibuk nyari suami, Ibu. Sedang ikhtiyar ini." Fatihah menghela nafas sejenak. Ia akan mengutarakan hal penting tentang mimpinya tapi dia agak ragu. Namun akhirnya pun kesampaian berkisah. "Ibu aku semalam mimpi menikah dengan Pak Yadi."

"Hah? Dia sudah mualaf paling. Ibu setuju loh, Nduk kalau dia mualaf. Dia loh, Nak, baik banget. Dia ganteng, kerjaan mapan, kaya, kurang apa lagi coba?" cerocos Ibu.

"Di mimpiku malah aku lari kok, Bu. Aku takut karena Pak Yadi belum masuk Islam, Bu."

"Duh.. piye toh. Kasihan kalian, Nak... Nak..."

Ibu menjatuhkan pantatnya di sofa. Ia tampak sedih menghadapi situasi agak genting yang dialami putri tersayangnya itu. Dia suda merasa buntu. Dengan cara apalagi dia bisa membantu anaknya dalam menemukan jodoh. Dia dan suaminya sudah berusaha juga. Beberapa kali sudah dia ikuti saran teman pengajiannya. Dia mengikuti usul tentang memperkenalakan Fatihah pada anak tetangga. Yang PNS, gagal. Dipetemukan dengan yang Tentara, nggak sreg. Lalu diperjumpa dengan tetangga kampung yang kuli panggul di pasar, sebenarnya pria itu baik, teman SD Fatihah pula, tapi pun tak akan berlanjut. Fatihah kasihan kalau harus menjadi istrinya. Tu akan jadi beban berat baginya. Jadi dapat disimpulkan, usaha Ibu semuanya berakhir sia-sia.

"Terus piye, Nduk?"

"Aku sekarang pokoknya ikut Ibu dan Ayah saja ya, Bu," Fatihah pasrah.

"Iya tapi jangan sama non Muslim juga, Nduk."

"Heran juga kenapa Allah mendekatkan aku dengan orang non Muslim ya, Bu? Duh Gustiiiiiiiii...." Fatihah menyembulkan nafasnya beberapa kali.

"Pasti ada banyak hikmah dan pelajaran, Nak. Siapa tahu Pak Yadi masuk Islam hayo?"

"Semoga aja, Bu."

"Iya! Aamiin."

Ibu tercenung nun di seberang sana.[]

Surga Terakhir [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang