Mau Setiap Hari

1.3K 57 0
                                    

Yadi tinggal di sebuah rumah kontrakan tak jauh dari kampus. Dia mengabarkan semuanya kepada Fatihah. Tentang semuanya, tentang dia kabur, tentang dia masih mencari jalan agar bisa bersyahadat, dan tentang hal lain yang ingin Yadi sampaikan kepada Fatihah. Fatihah mendengarkan apapun kisah Yadi. Dia berfikir dengan begitu dia bisa membantu mengurangi rasa kalut di benak dan hati Yadi. Kini Yadi mulai kelihatan kurusan. Wajahnya agak pucat juga agak kurang gizi.

Maka Fatihah perhatiannya bertambah kepada Yadi. Ia semakin sayang dan kasihan kepada kekasih hatinya itu—meski di antara mereka tidak ada yang mengutarakan secara lisan kalau mereka sama-sama cinta. Namun memang keduanya sudah jelas saling—berteriak aku cinta padamu dalam diam—menaruh cinta di bilik hatinya masing-masing. Itu nampak dari bahasa tindakan. Satu-satunya petunjuk jujur yang menjelaskan bahwa mereka saling jatuh cinta.

Memang karena cinta semua bisa berubah. Demi cinta orang lemah jadi kuat, orang sakit bisa sembuh, orang terpuruk bisa bangkit, dan orang gila bisa seketika jadi waras. Maka benar adanya ketika orang jatuh cinta, ia bisa berbuat apa saja bahkan di luar kekuatannya. Karena kekuatan cinta suci didorong oleh kekuatan Yang Maha Agung. Itu kalau cinta murni.

Kalau cinta yang lain, misal cinta nafsu bisa saja digagalkan oleh Yang Maha Kuasa. Buktinya banyak. Misalnya aktris yang menjual cinta nafsu ia mudah saja diringkus polisi karena kedapatan menjual diri di sebuah hotel kepada pria hidung belang. Berita menyebutkan tarif cinta nafsu ini melangit tak karu-karuan mahalnya. Itulah cinta nafsu. Dan masih banyak contoh yang lain.

Kalau kekuatan cinta suci yang Yadi miliki sangat kuat. Hingga akhirnya bersyahadatlah Yadi pada Kamis malam usai shatal magrib. Tempatnya di masjid kampus. Yadi bersyahadat di hadapan imam masjid disaksikan puluhan jamaah, juga disaksikan Fatihah di shaf kaum hawa, di belakang. Fatihah melelehkan airmatanya menyaksikan kekasih hatinya menyatakan syahadat demi dia. Demi cintanya yang teramat besar untuknya.

Angin mendesir pelan meniup dedaunan di pelataran masjid. Dahan, rating, dan daun terpelanting dibawa angin. Itu semua tentu sudah dikehendakiNya. Semua terjadi atas ridha Allah Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang. Angin berembus pelan merasuk di kalbu, ia senantiasa baik, ramah, dan taat titah Tuhan. Tugasnya mengademkan semua makhluk di mayapada ini.

Malam ini sejuk, Allah bahagia menyaksikan satu jiwa manusia di masjid kampus baru saja bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah SWT dan tiada Nabi yang patut dipercaya sebagai utusan Allah selain Nabi Muhamamd Rosulullah.

"Terima kasih banyak ya, Mas. Kamu baik banget." Ucap Fatihah di beranda masjid. Yadi tersenyum dan menganguk pelan. Kepalanya masih menempel peci putih. Yadi memeluk Islam demi Fatihah. Demi cintanya. Meskipun sebenarnya untuk bacaan shalat saja dia belum sepenuhnya hafal. Tapi tekad Yadi membaja. Ia akan belajar sekuat jiwa raga belajr berislam secara kaffah, tidak setengah-setengah. Dia akan membuktikan kepada Fatihah bahwa dia bsia menjadi imam yang diimpikan Fatihah.

***

"Ibu... Pak Yadi masuk Islam demi aku, Bu." Fatihah pagi buta sudah mengabarkan hal itu kepada Ibunya. Dengan sambil menguap-nguap sang Ibu menerima telepon dengan tanggapan kurang jelas.

"Kamu ngigau, Fatihah?"

"Ibu.... Aku serius... Pak Yadi masuk Islam."

"Jangan becanda kamu, Nduk."

"Aku serius, Bu."

Ibu langsung menggugah Ayah yang masih tidur pulas pukul 3 dini hari. "Yah.. Yah.. bangun. Ada kabar baik ini."

"Apa sih, Bu." tepis Ayah lantas membalik badannya membelakangi Ibu.

"Ayah... Pak Yadi masuk Islam demi Fatihah anak kita."

"Serius, Bu?" Ayah langsung bergegas. Kini ia duduk dengan mata membelalak.

"Iya serius, Pak."

Ayah mengamit HP yang masih dicengkeram Ibu.

"Kamu serius, Nduk?"

"Inggih, Yah,"

"Alhamdulillah..." Ayah sujud syukur.

***

Malam-malam berikutnya Fatihah kian sering mengunjungi Yadi di rumah kontrakannya.

Malam ini Fatihah membukakan tepak warna kuning berisi nasi dan lauk yang ia masak sendiri. Masakan sederhana hanya kare ayam. Namun masakan itu sungguh teramat spesial bagi Yadi. Dia membawakan Yadi nasi ke kontrakannya karena saat ini kehidupan Yadi sudah berubah. Dulu dia enak pulang kerja langsung membuka tudung di meja makan lalu menyantap makanan enak-enak sesuka hati. Baik masakan sang Mama atau masakan Bibi. Yang spesial bagi Yadi adalah sop buntut masakan Bibi. Kini semua sirna. Hanya ayam kare dan nasi goreng buatan Fatihah—yang terenak versi Fatihah—yang kian akrab buat Yadi.

"Makasih ya, Dik," Yadi menatap Wajah Fatihah, saat Yadi mengunyah nasi ayam kare buatan Fatihah. Yang ditatap mengalah, menunduk.

"Sama-sama, Mas. Maaf kalau tidak enak ya!"

"Ini yang terenak di dunia ini, tahu!"

Yadi mengkekeh. Fatihah malu-malu.

Mereka bercengkrama di beranda kontrakan Yadi. Kini Yadi sudah mulai berdaptasi menjadi dosen kontraktor, maksudnya dosen yang mandiri ngontrak rumah. Tak ada lagi masakan Mama atau Bibi yang enak. Tak bisa lagi pakaian tinggal ambil karena semua disiapkan Bibi—asisten. Kini kalau tidak nyuci sendiri ya me-loundry di dekat rumah kontrakannya.

"Aku yang makasih ya, Mas atas semuanya," tutur Fatihah.

"Aku yang makasih, Dik. Kamu baik banget repot-repot membawakan aku makan kayak gini terus."

"Ah, hanya ini, Mas. Kebaikanmu yang terbesar. Bahkan memeluk Islam demi cinta kita."

"Ini sudah suratan takdir, jalan hidupku, Dik. Mohon terimalah aku apa adanya."

"InsyaAllah, Mas. Maaf nasinya tidak enak ya? Besok kita beli aja ya di warung!"

"Ini yang terenak, Dik. Aku maah maunya setiap hari dimasakin kamu,"

Mereka mengkekeh.

"Halalkan aku dulu, Mas!"

Fatihah tersenyum puas. Yadi tersenyum amat manis lalu mengangguk-anguk. Fatihah pun tersenyum manis, akhirnya. []

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now