Mmm... Sampean Gombal, Mas!

1.7K 78 3
                                    

Fatihah berjilbab merah muda dan mengenakan baju terusan senada. Ada juga motif-motifnya warna merah tua. Pagi ini wajahnya segar menawan. Bila bibirnya melengkung bulan sabit pipinya nampak melukis lesung yang membuatnya makin juita. Mata bulatnya tak ada yang menyamai. Ditambah hidungnya yang lancip sungguh jadi penyempurna lara kaum pria.

Hari ini Fatihah tengah menunaikan tugas mengajar di hari Selasa. Kemudian HP di tas bu dosen muda itu menjerit. Lalu ia pungut dan dibawanya ke luar kelas. Ia lantas bersender balkon depan kelas lantai 4 di kampusnya.

"Assalamualaikum, Mas Zain. Ada apa, Mas?"

"Waalaikumsalam. Ini Dik Fatihah. Sepulang dari Al Akbar malam nanti aku ada perlu. Boleh?"

"Oh.. iya, Mas. Boleh!" batin Fatihah ribuan kali mengucap Yes... Yes...

"Baiklah kalau begitu, sampai nanti ya, Dik. Selamat mengajar ya, Ibu Dosen. Assalamualaikum,"

"Hehe... Waalaikumsalam, Pak pengusaha,"

Zain menutup teleponnya lantas mesem manis. Pun Fatihah senyumnya merekah. Seperti mawar yang baru saja usai dari kuncupnya. Kegembiraan hatinya tentu saja karena baru saja ia mendengar suara lembut calon kekasihnya, si Zain. Baginya itu sangat istimewa. Tak boleh dia sendiri yang bahagia. Karenanya ia kembali mengambil hapenya lalu Fatihah buru-buru mengobrol dengan Lestari, sahabatnya lewat telepon.

"Mas Zain baik, Beb. Dia baru saja nelepon aku ngajak ketemu di masjid."

"Aduuuuh, kalian pasangan syurga Beb. Enak itu ketemunya malah di masjid. Ayo semangat ya cantiiiiik."

"Iya, makasih banyak ya sodariku. Kamu baik banget deh."

Saat pertemuan malam itu di teras masjid tiba. Kedua insan Tuhan itu membahas yang sebenarnya tidak terlalu penting. Hanya membahas cara merawat bunga angrek di pelataran rumah Zain supaya tidak dimakan ulat.

"Aku nggak tahu, Mas. Aku ngak suka anggrek, Mas. Jadi mana aku tahu cara merawatnya. Googling kan bisa."

"Aih, aku pikir kamu paham, Dik,"

"Nggak, Mas. Maaf ya."

"Nggak masalah. Terus di rumah kamu melihara bunga apa?"

"Ada banyak, Mas. Tapi Ibu yang merawat. Aku tidak ikut campur, Mas. Tidak bisa... Hee..."

"Bisanya apa terus?"

"Makan aja, Mas."

"Hee..."

Mereka asyik mengobrol. Nampak di hati masing-masing mereka saling menaruh hati. Kedunya saling berteriak "aku cinta kamu" tapi tak bersuara. Mereka menjaga gengsi. Si pengusaha muda ini menunjukkan perangai baik sopan dan lemah lembut. Usinya mungkin 34an tahun, ya serasi pokoknya dengan Fatihah.

Mereka menurut pandangan umum pasti adalah sepasang kekasih. Sayang, mereka tak pernah saling mengutarakan isi hati masing-masing. Mereka saling menjaga, tak pernah saling bersentuhan. Karena ada niat di hati keduanya untuk melangkah manis ke jenjang selanjutnya. Dan semua bermula di teras masjid agung itu.

***

"Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikumsalam, Dik dosen,"

"Mas lagi apa?"

"Mikirin kamu, hee..."

"Mmm.. sampean gombal, Mas"

"Nggak percaya masuklah ke kepalaku. Lihat sendiri apa isinya."

"Mmm... Mas... Mas.."

"Mmm... Dik... Dik..."

"Mas!"

"Apa?"

"Aku boleh ngomong sesuatu?"

"Jangan. Aku belum siap,"

"Emang aku mau ngomong apa? Ge Er, ah,"

"Aku loh tahu, Adik mau ngomong apa."

"Kayak peramal aja,"

"Emang aku sudah tahu apa isi hati kamu, kok!"

"Mmm... sampean gombal, Mas!"

"Serius,"

"Aku serius nih, Mas,"

"Iya, Apa? Aku juga serius dengerinnya,"

"Besok malam maukah Mas ke rumahku? Berkenalan dengan orangtuaku. Setelahnya kenalkan aku ke orangtuamu."

"Oke... siap, D..ik..."

"Makasih ya, Mas."

"Tapi sebaiknya jangan besok malam, Dik Dosenku, Ahad pagi saja. Besok temenin aku makan malam boleh?"

"Mmm...."

"Aku yang teraktir Adik, kita nyoba makanan di restoran Turki mau?"

"Hee.. boleh, Mas. Makasih ya Mas!"

"Tak perlu sungkan. Ya sudah sampai besok ya, Dik Dosenku, met tidur ya. Mimpiin aku ya."

"Gombal sampean, Mas. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Fatihah sumringah. Zain juga berbunga-bunga. Seusai menutup telepon mereka di tempat masing-masing melamun dan tersenyum sejadi-jadinya. Di situasi begini tak ada alasan bagi Fatihah untuk tak bungah. Bibirnya selalu melengkung bulan melukiskan bahagia. Wajah tampan Zain pun selalu berkelebat di benaknya. Dia ingat sopannya, suaranya yang lembut. Semua berkelebat. Senyumnya, gombalnya, dan hal-hal lucu segar dari Zain. Lalu tak lama kemudan Fatihah mengatupkan matanya.

Di sudut ruang tamu di kota tetangga: Sidoarjo, pun kebahagiaan melukiskan binar di wajah Zain. Dia tak bisa tidur juga. Namun ia harus bergegas masuk kamar untuk tidur.

"Telepon dari siapa, Bi?" tanya seorang perempuan di kamar Zain.

"Mas Toha, rekan bisnis yang di Batam, Mi," jawab Zain. "Besok malam aku harus ke sana. Kami akan bahas semuanya soal bisnis. Ini baju muslim katanya ada sedikit kendala. Makanya 'kan selalu telat datang ke toko kita." jelas Zain.

"Oh... iya sudah ayo tidur dulu, Bi."

"Iya, Mi."

"Soal besok biar aku ngajak Mama tidur di sini, kalau tidak begitu aku 'kan takut loh, Bi." kata perempuan di sebelah kiri Zain itu. "Besok urusannya semoga lancar ya Bi. Kamu jangan jelalatan loh, Bi,"

"Siyap sayang!"

Zain melepas mesem kecil, lalu mengecup dalam-dalam ubun-ubun putranya yang kini berusia 4 tahun. Setelah itu giliran mengecup kening perempuan yang di perutnya tengah berisi janin laki-laki berumur delapan bulan–menurut hasil USG terakhir sepekan pekan lalu.

Zain sebelum matanya benar-benar terpejam masih mengingat paras ayu dan polos Fatihah, yang jika dia tersenyum maka nampaklah lesung pipinya.

"Kamu sangat pantas jadi istriku, Dik Fatihah," batinnya.

Lelaki muda tampan itu tersenyum sinis lalu perlahan ingatannya lenyap: tidur. []

Surga Terakhir [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang