Sumeleh

1.5K 63 0
                                    

Usai shalat isya' di masjid komplek rumah kostnya, Fatihah memperlambat diri di dalam masjid. Berdzikir panjang-panjang dan berdoa panjang-panjang. Berlama-lama itu tujuannya tentu sudah pemirsa tahu: ingin berjumpa dengan sang imam masjid. Yaitu Ust. Musa.

Begitu lampu-lampu di langit-langit masjid dimatikan satu persatu, mesin pendingin yang menempel di dinding-dinging juga menjerit satu kali alias mati, maka Fatihah segera keluar dari balik tabir tebal dari kayu jati. Ia lantas segera ke beranda masjid masih dengan rukuhnya. Dan alangkah terkejutnya Ust. Musa saat mendapati ada wujud putih sekujur tubuh dan juga putih wajah. Dan badan putih tinggi semampai itu tiba-tiba ada di hadapannya.

"Astahgfirullahal adziiiiim..." jantung Ust. Musa hampir copot. Tangannya mengelus dadanya.

"Maaf... maaf ustadz... saya bukan hantu." Fatihah mencoba menenangkan.

Ust. Musa mengelus-elus dadanya dan terus beristighfar. Wajahnya pucat pasi. Ia sungguh kaget dan ketakutan. Lalu perlahan tenang. Dia melirik jam dinding sudah hampir pukul setengah sembilan. Sedari tadi dia merasa hanya berdzikir seorang diri di dalam masjid dan memang biasanya hanya sendirian. Rupanya tidak, masih ada jama'ah perempuan. Maka sebagai imam dan sebagai lelaki lajang ia pantang terlihat gugup. Kini ia menenangkan diri dan segera memperbaiki suasana.

"Mbak kok belum pulang?"

"Belum Ustadz, masih berdoa tadi."

Ust. Musa tersipu dan melepas senyum. Fatihah meringis. Dalam dadanya bergejolak. Rupanya Ust. Musa yang suaranya merdu dan mendayu-dayu saat ngaji itu ternyata bertubuh pendek dan wajahnya hitam. Ya hitam tidak pakai manis. Dan bagi Fatihah dia sama sekali bukan kriterianya. Bukan levelnya kalau diukur dari segi fisiknya.

Maka tanpa tempo panjang, saat itu pula Fatihah—hatinya—memutuskan untuk tidak meneruskan mengidolakan Ustad Musa lagi. Titik!

"Maaf ustad saya duluan nggih. Assalamualaikum...." Fatihah lalu berpamitan dengan santun sambil sedikit membungkuk-bungkuk saat berjalan di muka Ustad Musa.

Ust. Musa melepas Fatihah dengan mulut mengaga. Dia takjub nampaknya ada bidadari yang jadi jamaahnya selama ini.

Fatihah sepanjang jalan merutuki dirinya sendiri dan menyesali selama ini mengidolakan orang yang jauh dari ekpektasinya. Sampai di kost Fatihah ceritakan semuanya pada sahabanya si Lestari lewat telepon.

"Yang imam suaranya merdu itu, Beb,"

"Kenapa sayang? Udah kesampaian kah cintamu kepada sang ustad?"

"Aduh, bingung jelasinnya, Beb."

"Ganteng kan? Sudah jadian kalian?"

"Kayak kurcaci, beb. Aduuuh kacau deh!"

"Hahaaaa...."

Lestari tertawanya sungguh tak punya sopan santu bener! Sementara Fatihah terenyuh, hatinya remuk redam penuh penyesalan.

"Dia bukan tipeku, Beb. Aduuuh....."

Mereka terus bercerita macam-macam. Lestari memaklumi yang terjadi. Ia memutar otaknya guna mencari kata bijak yang bisa dia utarakan dan dapat menenangkan hati Fatihah.

"Menurutku ini bagian dari seni mencari jodoh, Beb. Kamu terus ikhtiyar, berdoa dan tawakkal. Sabar ya, Beb. InsyaAllah dimudahkan selanjutnya, Beb. Tetap semangat ya."

"InsyaAllah, Beb. Makasih anyak ya atas nasihatmu. Kamu baik banget!"

"Ah.. sudah jangan berlebihan."

Itu obrolan Fatihah dengan Lestari, sahabatnya lewat telepon.

Selain mengobrol dengan Lestari tak lupa Fatihah menelepon sang Ibu. Mengabarkan juga insiden pertemuan dengan Ust. Musa yang masih hangat terjadi itu. Dia menyatakan tak akan meneruskan dengan Ust. Musa.

"Kacau, Bu!"

"Kenapa, Fat?"

"Ustad Musa bukan tipeku, Bu!"

"Makanya nurut Ibu saja, Wes sumeleh wae karo wong tuwo!"

***

"Wes pasrah wae ambek Ibu Ayah. Tak golekne sing apik," tutur Ibu sambil membawakan teh hangat untuk Fatihah yang baru sampai dari Surabaya. Fatihah mengipas wajahnya dengan kipas tangan karena udara di luar cukup panas. Sore itu ia tidak membawa mobil melainkan memakai motor maticnya.

"Iya wes terserah ibu saja," sahut Fatihah.

"Lak mesti kamu mangkel. Ujung-ujungnya nggak mau," sergah ibu sambil memarut kunyit. Ibu hendak membuat sari kunyit dicampur susu untuk meredakan flu si An'am, adik bungsu Fatihah.

"Ibu wedi nek aku nggak payu ta, Bu?" Tanya Fatihah.

"Ibu mana yang tidak takut anak gadisnya sing wes berumur tapi durung rabi, heh?" ucap Ibu. "Makane awakmu ojo nampik. Cinta bisa ditumbuhkan, Fatihah,"

"Kalau ibu takut aku nggak payu berarti ibu nggak percaya karo Gusti Allah," kata Fatihah lirih sambil meneguk gelas minum di ruang makan. "Sebelum Fatihah lahir sudah Allah tulis Bu. Rejeki, jodoh, kapan lahir dan kapan mati. Jodoh tak akan ke mana, Ibu. Dia tak akan tertukar. Dia akan dihadirkan Allah tepat waktu dengan indah. InsyaAllah,"

"Pinter omong, kamu Fatihah... Fatihah... Sak karepmu wes." tukas ibu sambil menyeka airmata yang mendidih. "Sudah tiga puluh piro usiamu, wes tuwek kon Nduk. Ibu malu digunjing banyak orang di pengajian ibu-ibu, Nak. Katanya kamu kalau terus nampik akan jadi perawan tuwek."

Suasana hening. Ibu menumpahkan airmata lalu mengalirkannya membentuk seutas sungai di pipinya.

"Loh, Bu. Buat apa airmara ini?" Fatihah merangkul ibu dari saming. Ibu menangis sambil masih memeras parutan kunyit.

"Tidak apa-apa. Terserah kamu saja,"

"Iya Bu, aku juga masih terus ikhtiyar ini,"

"Yang Mas Ust. Musa kan sudah kamu mundur sebelum berperang."

"Mohon maaf, Ibu. Aku ya juga ingin keturunan yang baik. Ibu saja dapat Ayah yang gagah ganteng. Masak aku bersuami yang kayak gitu. Kurang pas lah Bu."

"Iya... iya... Tapi jangan terlalu cari yang level tinggi. Harus sumeleh, Nduk!

"Hee sumeleh itu apa Bu?"

"Pasrah karo Gusti Allah, Fatihah!"

"O... baik, Bu. Yang penting Ibu jangan banyak nangis, Sidoarjo sudah sering banjir. Sekarang kapal Nabi Nuh sudah tidak bisa menyelamatkan kita dari banjir, Bu. Hehe," Fatihah menyeringai. "Sudah, Bu. Fatihah baik-baik saja. Fatihah sudah alhamdulillah dikarunia Ibu Ayah dan adik yang luar biasa ini. Iya kan?"

Mereka lalu berpelukan sangat lekat untuk beberapa saat.

Fatihah kemudian menuju kamarnya di lantai dua. Fatihah duduk di ambang jendela sebelum berangkat ke kampus. Dia edarkan pandangannya ke langit, ke jalan, atap-atap rumah dan burung-burung terabang di sana yang saling berkejaran ria.

Dia berdoa jika benar-benar Allah mengirimkan lelaki sholih yang mampu menjadi iman shalat dan keseharian, Fatihah akan menerimanya. Tak apalah meski bukan S2 atau S1, dan tak apa meski belum punya pekerjaan tetap.

Tapi mohon minimal yang sedap dipandang. Bukan yang jelek banget, ya Gusti!

Fatihah memang sudah sering gagal. Koleksi calonnya tak terhitung. Dia dan juga kedua orangtuanya sama-sama capek. Capek hati. []

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now