Ibarat Memilih Pakaian

1.6K 76 0
                                    

Siapa yang tak sedih bila malam-malam selalu dilewati seorang diri. Manusia yang terbuat dari baja pun bila malam-malanya sepi sendiri pasti dilanda nestapa. Pasti nelengsa. Pasti rindu ingin berbagi rasa berbagi bermesra dalam rumah tangga. Semua intinya butuh bahagia.

Itu pula gejolak yang melanda dalam dada Fatihah. Dosen itu kini sudah semakin berumur. Sudah masuk 36 tahun. Tapi jodoh bukan semakin dekat malah seolah semakin meninggalkannya: menjauh.

Malam ini setelah sekian lama merasa didzolimi Zain, Fatihah mau bangkit dari keterpurukan. Sudah dua kali gagal dalam kisah cintanya. Kini ia mencoba keberuntungan lagi dengan terus shalat berjama'ah di masjid. Namun di masjid kampung di kompleks tempat ia ngekost.

"Aku mau rajin ke masjid lagi, Beb,"

"Nah gitu, move on, Beb. InsyaAllah dimudahkan, Beb. Semangat."

Itu obrolan Fatihah dengan Lestari, sahabatnya lewat telepon.

Seminggu di masjid ia langsung mengenal banyak ibu-ibu pengajian. Dan bahkan ada yang ingin mengambilnya mantu. Namun sayang mindernya terlalu besar sehingga menghadang niatnya untuk mencintai Fatihah. Anaknya hanya tamatan SD dan kini hanya jadi pramuniaga di salah satu supermarket di tengah kota.

Memang status sosial Fatihah sebagai dosen telah menjadi benteng besar bagi orang yang hendak memintanya. Mereka jangankan bertandang ke rumahnya, baru di depan pagar saja sudah berbalik arah. Malu katanya, takut ditolak karena tak selevel.

Sebulan Fatihah rajin ke masjid. Dan dia diam-diam mengagumi salah satu imam masjid saat shalat. Sebenarnya ada banyak imam di masjid itu dan bergiliran. Tapi hanya satu yang masuk ke relung hati Fatihah. Bila kebetulan si ustadz imam itu yang memimpin shalat, Fatihah diam-diam merinding, lalu airmatanya meleleh mendengar lantunan indah ayat suci Al-Quran mengalun dari sang imam itu. Hatinya mendesir-desir dibuatnya.

Imam itu tak pernah diketahui Fatihah. Hanya lantunan suara merdunya saat shalat yang dia dengar. Karena memang repot cara mengenalnya, gimana caranya bisa tahu. La wong posisi jama'ah perempuan ada di belakang jama'ah laki-laki. Sudah itu mereka juga masih dibatasi tabir yang tinggi dan tebal. Sehingga Fatihah tak bisa tembus melihat ke depan. Sekalipun Fatihah ada di shaf terdepan di jamaa'ah wanita. Tapi apa makna hatinya sampai mendesir? Walahu a'lam. Inikah jodoh Fatihah?

***

Dan tahu-tahu Fatihah sudah mengetahui siapa imam bersuara merdu itu, selang beberapa pekan. Ia tahu karena tak sengaja menguping obrolan ibu-ibu saat menyiapkan konsumsi di acara maulid Nabi kemarin. Ahad pagi itu tangan Fatihah memang repot bekerja saat itu, tapi telinganya ia pasang lebar-lebar untuk mengetahui siapa sebenarnya lelaki yang dia idam-idamkan itu.

"La iya, pemuda alim seperti beliau kok belum menikah juga ya," ucap Ibu-ibu kasak-kusuk.

"Mungkin masih mencari yang pas, Jeng. Ustadz Musa itu kan lulusan universitas di Mekkah, Jeng. Jadi mungkin masih nyari calon yang selevel," kata perempuan yang lain.

"Coba aku punya anak perempuan, sudah tak pek mantu dekne, Jeng,"

"Hust.. ngaco, ah! Mana mungkin Pak Ustadz Harun mau besanan sama sampean, Jeng!"

"Hee... siapa tahu, Jeng!" balas ibu-ibu tadi.

Fatihah terus repot memasukkan nasi kotak ke kresek. Tapi sekali lagi kupingnya berfrekuensi tinggi. Dia baru tahu Ustadz Musa adalah putra pemilik mushalla ini, Ustadz Harun. Kini Fatihah hanya bisa menegadahkan tangannya kepada Allah SWT. Semoga dia segera dipertemukan jodoh.

Tapi jujur saja dia meraruh hati pada imam bersuara merdu itu. Bila dia mengaji suaranya mendayu-dayu. Hati tenteram dan tenang dibuatnya. Sungguh beruntung siapapun yang mendapatkan ustadz Musa.

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now