Astaghfirullahal adziim...

1.5K 58 0
                                    

Pukul 18.20 awak kabin mengumumkan penundaan kembali karena hujan masih lebat. Suara perempuan itu meminta penumpang mematikan HP agar tidak mengganggu sinyal.

Fatimah tetap berkirim pesan kepada Fatihah kalau dia masih belum berangkat karena hujan badai. Fatihah mulai risau. Namun ia tidak menceritakan apapun kepada keluarganya hingga mereka sampai di rumah nanti.

Sesuai janji Fatihah izin kepada Ayah dan Ibunya untuk menginap di rumah Uwak. Tepatnya untuk merawat Uwak. Ayah, Ibu, dan Yadi, suami Fatihah memberi restu. Tapi ia tidak ikut ke rumah Uwak. Ia memilih tnggal di kontrakannya.

Sampai di rumah, Uwak langsung shalat. Usai shalat Fatihah menawarkan untuk makan namun Uwak menolak. Katanya sudah kenyang.

Sementara itu Fatimah dan Ali masih duduk bosan di dalam pesawat. Awak kabin tak muncul lagi setelah sejak tadi mondar-mandir. Kini mereka mendekam di dalam bahkan tak nampak untuk sekadar mengumumkan kapan pesawat berangkat. Hujan belum juga reda. Beberapa area landasan pacu tergenang air. Kasak-kusuk penumpang lain sampai ke telinga Fatimah bahwa di luar hujan parah.

Namun selang sepuluh menit, tepat pukul 18.30 awak pesawat mengumumkan pesawat akan segera take off. Ali membetulkan diri dalam duduknya. Fatimah juga. Ia menutup majalah yang dia bolak-balik sedari tadi. HPnya pun sudah dia taruh dan dinonaktifkan.

Fatihah dan Uwak memanjatkan doa untuk keselamatan Fatimah dan Ali usai shalat isya'. Fatihah di belakang Uwak saat mereka berjamaah, tak kalah khusyuknya. Bahkan Fatihah sampai berlinang airmata memanjatkan doa untuk adik sepupunya itu. Berlinang airmata juga untuk urusan yang lain. Sudah dua bulan ia menikah dengan Yadi yang dia cintai. Dia berdoa untuk kebahagiaan diri dan keluarga yang dirajutnya.

Akhirnya pesawat yang dinaiki Fatimah-Ali benar-benar siap berangkat. Mesin menderu-deru, suaranya mulai meninggi. Fatimah komat kamit. Ali juga memanjatkan doa, membaca doa macam-macam demi keselamatan dia dan istrinya lalu dtutup dengan doa sapu jagat. Mohon bahagiakanlah kami di dunia dan akhirat, ya Robbi. Amin.

Pesawat dengan deru mesin kasar mulai bergerak. Mula-mula berjalan biasa agak panjang lalu berbelok berputar di depan dan makin meninggikan suara gasnya. Tetapi masih diam di tempat. Lalu selang beberapa waktu pesawat itu bergerak maju agak cepat... cepat.... cepat.... mesin menderu kencang, cepat... dan burung besi Air Link itu akhirnya naik ke udara. Sementara itu hujan masih terus turun. Airnya mebias di kaca jendela pesawat. Langit gelap dan semuanya gelap.

Ali, Fatimah, dan orang-orang yang mempunyai Tuhan saat itu memanjatkan doa untuk keselamatan dirinya dan juga penumpang yang lain. Pesawat mulai meninggi dari juanda pesawat terbang ke timur lalu di depan ia putar haluan ke kiri lalu ke barat. Pesawat kini terbang persis di atas selat Madura dan selat Jawa. Hujan masih mengguyur Surabaya dan sekitarnya. Kabarnya di banyak titik kelurahan ada genangan air yang parah. Air mencapai ketinggian sebokong orang dewasa. Namun karena selokan dan kali di Surabaya lebih terawat maka air hanya bertahan dua jam mengenangi jalanan kota dan kampung. Tak lebih.

Di Sidoarjo pun tak kalah parah. Banjir di mana-mana. Maklum kepala pemerintahannya belum lama ini diciduk KPK. Kabarnya ia menerima suap sebuah proyek. Bagaiamana mengurus tatanan kota la wong mengurus agar praktik korupsinya tak diendus KPK saja tak becus.

Di salah satu sudut rumah di Sidoarjo utara Uwak masih sibuk mendaras al-Quran di mushalla kecilnya. Suaranya parau. Mendengar Uwak mengaji hati Fatihah mendesir. Tapi sebenarnya itu desiran kalut dan seperti menitipakn rasa khawatir di hatinya. Entah khawatir akan apa. Tak tahu. Mestinya semuanya berjalan baik. Fatihah dan Yadi baik-baik saja. Dan Fatimah-Ali pun tengah berbunga-bunga.

Mesin pesawat yang membawa Ali-Fatimah mendesing di langit. Nampak tinggi, tinggi sangat. Fatimah merebah ke bahu kiri Ali. Tangan kanan Fatimah digenggam oleh Ali. Fatimah memejamkan mata lantas tersenyum. Fatimah memejamkan mata. Semua tentang Bapaknya yang sudah sepuh lalu Kak Fatihah dengan dinamika hidupnya, berkelebat di depannya dengan jelas. Justru kadang dalam keadaan memejamkan mata kita bisa melihat jelas peristiwa yang kita ingin atau tak ingin lihat. Memejamkan mata sama halnya membuka mata hati. Bayangan-bayangan penuh kenangan dan terpatri kuat di hati selalu muncul saat memejamkan mata. Fatimah tersenyum saat kelebat wajah Bapak nampak. Bapak tersenyum di depannya. Dia melambai-lambaikan tangan saat melepas Fatimah tadi, masih dia ingat jelas.

Ali mengelus tangan istrinya itu dengan cinta. Ini adalah perjalanan bahagia bagi mereka. Diciumnya ubun-ubun Fatimah.

Sang Bapak masih sibuk membuka lembar demi lembar Al Quran di pangkuannya. Fatihah berkali-kali mengintip Uwak yang sedang mengaji. Ia lalu pergi ke dapur. Ia berinisiatif untuk membuatkan wedang jahe. Sibuk dia mempersiapkan di dapur. Memasak air, menumbuk jahe, dan meraciknya hingga selesai. Lalu Fatihah mengantarkan ke Uwak. Uwak hanya melirik saat Fatihah meletakkan wedang jahe di dekatnya. Lalu Fatihah melepas senyum pada Uwak. Uwak membalas senyum Fatihah kemudian melanjutkan ngajinya.

Mesin pesawat mendesing di angkasa. Air hujan masih membias di kaca jendela. Sesekali pesawat labil. Fatimah melirik ke jendela. Petugas meminta semua penumpang tenang dan tak berjalan-jalan untuk ke toilet di dalam pesawat. Karena keadaan kurang baik. Ali komat kamit. Penumpang lain pun berdzikir. Ada pula yang berdoa sesuai keyakinannya. Mereka memanjatkan doa dengan wajah cemas. Kali ini perjalanan bisa dikata tak mulus.

Bapak terus mengaji lalu merasa kakinya kesemutan. Ia lantas merubah posisinya dari bersila ke berselonjor. Saat berselonjor tak sengaja kaki Bapak menyenggol wedangnya. Gelas itu tumpah. Air bersimbah. "Astaghfirullahal adziim...." Ucap Bapak.

"Apa, Wak?" tanya Fatihah dari ruang tengah. Uwak kembali beristighfar.

Air bersimbah, seketika badai angin ganas menyapu pesawat yang membawa Fatimah-Ali. Pesawat itu oleng lalu meluncur tak terkendali ke perairan Laut Jawa. Tepatnya di wilayah perairan Tuban, Jawa Timur. Seisi penumpang kocar-kacir. Pesawat langsung nyungsep ke dasar samudera. Langit gelap, alam semesta gulita, dan nasib mereka gelap.

Uwak beristighfar tanpa henti. Fatihah dari ruang tengah berlari ke mushalla menemui Uwak.

"Ada apa Wak?" Fatihah dadanya berdebar. Belum dijawab Uwak, Fatihah sudah melihat apa yang terjadi. "Astaghfirullahal adziim...."

Segera ia mengambil serbet lalu mengelap lantai dan membereskan gelas serta lepeknya. Fatihah ikut was-was dengan melihat raut wajah Uwak yang nampak khawatir.

Uwak terus beristighfar dan mengelus dadanya. Wajah anaknya, si Fatimah berkelebat di depannya. Lukisan ka'bah di depannya berubah melukiskan wajah Fatimah yang sedang tersenyum teramat manis padanya. Bayangan tentang wajahnya yang anggun saat ijab qobul tadi pagi nampak. Wajahnya saat melambai-lambai berpamitan di terminal Juanda pun berkelebat. Yaa Allah, apa yang terjadi dengan Fatimah?

Nun di belahan bumi lain, di sebuah hotel tempat keluarga Ali menginap, Mama terbangun dari tidurnya lantaran bermimpi. Mesin pesawat yang membawa Ali-Fatimah mendesing di langit. Nampak tinggi, tinggi sangat. Mama melihat Fatimah merebah ke bahu kiri Ali. Tangan kanan Fatimah digenggam oleh Ali. Fatimah memejamkan mata lantas tersenyum. Namun seketika badai angin ganas menyapu pesawat yang membawa Fatimah-Ali. Pesawat itu oleng lalu meluncur tak terkendali ke perairan. Seisi penumpang kocar-kacir. Pesawat langsung nyungsep ke dasar samudera. Langit gelap, alam semesta gulita, dan nasib mereka gelap.

"Astaghfirullahal adziim.... Aliiiiiiiiiiiiiiiiiiiii....." Teriak Mama.

Suaminya terperanjat lalu memeluk sang istri. []

Surga Terakhir [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang