Kotak Amal

1.8K 80 0
                                    

Kalau kita ketemu di kotak amal ini lagi berarti kita jodoh, Mas Zain!

Seusai shalat isya' Fatihah membatin usai menyuapi uang ke mulut kotak amal, malam ini. Dan segera ia kembali berdiri di tempat yang persis malam-malam kemarin ia berdiri. Matanya sengaja tak ia parkir, dia edarkan ke seantero sekitar beranda masjid Al-Akbar. Malam ini adalah sudah empat hari sejak pertemuan Fatihah dan Zain di masjid mulia itu. Mereka saat itu mengobrol ngalor-ngidul, ngetan-kulon, membincang hal penting sampai hal yang tak penting. Di mana? Ya di masjid ini, di tempat Fatihah kini berdiri.

Malam ini malam Jum'at, air mata langit kembali meneteskan air tipis. Hujan Desember memang membawa sendu di hati jutaan umat manusia, termasuk di hati Fatihah. Apalagi ada lelaki tampan yang dirindu. Hujan tetap jadi masalah dalam hidup Fatihah. Dia takut kalau ternyata nanti atau entah kapan tapi di bulan-bulan hujan ini, akhirnya dia akan jadian sama Zain. Dia takut hujan menandai permulaan kisah cinta mereka dan akan pula menyudahi roman itu dengan sangat sadis. Seperti beberapa tahun silam. Fatihah jadian dengan Deny saat hujan dan putus tak terhormat di waktu hujan pula. Fatihah sangat tidak ingin hal itu terjadi. Tapi bila memang Tuhan menakdirkan demikian dia tak akan menolak. Siapa yang bisa menolak kuasa Allah. Tak bisa!

Butiran air di depannya tak lepas dari tangkapan kedua bola mata Fatihah. Air itu menetes dengan patuh. Sedikit... sedikit...sedikit... lalu banyak. Dan dari sedikit itu air perlahan melukai bumi. Fatihah sesekali mendongak ke langit. Lalu tangan kanannya dijulurkan dan ditengadahkan. Dia biarkan bulir-bulir air langit berebut mengecup telapak tangannya. Tak hanya mengecup air itu picik juga rupanya, banyak yang melompat lompat taka da yang benar-benar diam setia di tapak tangan Fatihah. Banyak dari mereka malah yang setekah berlabuh lalu pergi. Tak habis ide, Fatihah merapat-rapatkan jemarinya lalu dibentuklah tangan itu seperti perahu. Diamati air-air yang berjatuhan ke tangannya, perlahan tangannya penuh dengan air. Lalu dengan air di tangannya dia lalu dekatkan kewajahnya. Dipandangi air itu lebih dekat lebih dalam tahu-tahu di sana ada wajah seseorang. Semakin dekat diamati, rupanya wajah itu adalah Zain. Kaget Fatihah dibuatnya. Seketika air itu ditiriskan. Mereka kabur lewat celah-celah jemari Fatihah yang dilonggarakan.

Bayangan Zain berkelebat, Fatihah tersenyum simpul. Manis dan menggeleng-gelengkan kepala. Dia merasa dirinya aneh. Kenapa harus memikirkan Zain. Siapa sih dia sebenarnya?

Namun pikiran tentang Zain terus dia pelihara. Apalagi tentang pertemuan di kotak amal tempo hari. Dan malam ini nampaknya tidak akan pernah terjadi lagi. Sebab sudah sejam lebih Zain tak nampak batang hidungnya yang mancung. Kamu kemana, Mas?

Fatihah mematung. Fatihah sabar. Karena sabar maka ia memberi tambahan waktu untuk menunggu kehadiran Zain di depannya nanti. Namun lima menit tambahan waktu pun berlalu. Fatihah menarik nafas pasrah dan menghembuskannya lebih pasrah lagi. Sambil menunggu Fatihah memilih memainkan HP.

Sejam setengah sejak menyuapi kotak amal hingga detik ini Zain belum hadir juga. Fatihah benar-benar sabar dan menunggu setia, entah siapa Zain gerangan? Kok rela ditunggu segala.

"Kamu sering ke sini, Dik Fat?"

Seketika suara lembut dan segar keluar dari lisan Zain yang tiba-tiba berdiri di muka Fatihah.

"Mmmm... aku kaget, Mas" kata Fatihah memecah grogi.

"Makanya jangan ngelamunin aku terus." Zain bercanda.

"Hee... Aku kalau sempat aja yang ke sini, Mas. Kalau tidak terlalu malam dari kampus, ya shalat di sini. Tapi kalau ada kegiatan sampai lewat malam di kampus, ya tidak ke sini. Shalat di kampus atau di kost-an!"

"Kampus? kuliah lagi, Dik?"

"Hee.. Nggak, Mas. Lebih tepatnya nemeni adik-adik mahasiswa,"

"Oh... maaf. Bu dosen rupanya,"

"Hee..."

Fatihah mesem malu. Zain mesem manis.

"Ngajar di mana?"

"Unair, Mas,"

"Oh... prodi apa?" Zain tampak antusias.

"Farmasi. Sampean sibuk apa, Mas?" Tangan kanan Fatihah segera menutup mulutnya. Untuk apa ia bertanya hal itu. Ia mengernyitkan alisnya.

Aduuh.. aku nanyak apa ini?Aduuuh... apaan sih aku! Aduuuh....

Fatihah salah tingkah seakan dia baru saja membuat kesalahan besar dalam hidupnya. Buat apa dia menanyakan hal itu? Buat apa dia mengetahui pekerjaan lelaki itu? Dia khawatir jangan-jangan itu sangat menyinggung privasinya. Bagaimana kalau dia ternyata tidak berkenan menyebutkan apa pekerjaannya. Duh, Fatihah jadi merasa bersalah dengan meluncurkan pertanyaan tak penting itu.

"Nggak ada, hanya melanjutkan usaha orangtua, usaha baju busana muslim, Dik"

"Oh!"

"Oh!"

Hanya 'Oh' yang meluncur tak pamitan dari mulut kedua insan itu.

Selanjutnya mereka teramat hangat berbincang. Ketawa renyah kerap mengisi perjalanan panjang obrolan mereka. []

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now