Kaukah Jodohku, Mas?

2.5K 103 0
                                    

Di teras masjid Fatihah mematung.

"... Dekatlah pada Allah. Allah yang akan mendekatkan jodohmu nanti. InsyaAllah. Shalatlah berjama'ah di masjid mungkin kamu ketemu jodohnya di masjid, Nduk...."

Ia menghayati betul ucapan Ibunya perihal jodoh, kala pulang baru-baru itu. Dia merenung. Baiknya, batin Fatihah, ia memang harus rajin ke rumah Allah. Selain berpahala 27 derajat juga di masjid dia merasa lebih khusyuk beribadah. Maka kini ia jalankan nasihat ibu, rajin ke masjid.

Di teras masjid itu matanya tak lepas dari triliunan bulir air langit yang berebut mencumbu bumi di pelataran masjid Al Akbar Surabaya. Tangannya bersendekap dengan tubuh yang masih berselimut rukuh. Fatihah agak abai dengan nestapanya. Yang ia yakini adalah Allah SWT akan segera mengirimkan lelaki sholih di rumah suci itu. Seperti halnya Allah menururnkan air suci dari langit malam ini.

Oiya, dia tak lagi benci dengan hujan? Bisa iya bisa tidak. Yang jelas sampai detik ini bila ia berjumpa hujan ingatan akan Deny, mantan kekasihnya suka hadir. Tapi bijaknya memang dia mengabaikan. Serius!

Persis di hadapan Fatihah bergantian manusia menceburkan uang ke mulut kotak amal masjid. Sudah menceburkan uang, mereka kemudian berlalu. Kotak mirip brankas dan selazim dan sebesar itulah ukuran kota amal itu.

"Beb doakan ya, aku nyari jodoh di masjid nih,"

"Hee... ke masjid sembahyang bukan nyari jodoh, Beb. Tapi ide kamu mulia banget ini. Semangat ya cantiiiik."

Itu obrolan Fatihah dengan Lestari, sahabatnya lewat WA. Kiranya perlu bagi Fatihah berbagi kisahnya. Apapun seputar kehidupan Fatihah rasanya perlu dibagi ke sahabatanya itu. Baik yang senang maupun sedih pada sahabatnya itu.

"Semangat ya Beb. Semangat!!!!" tulis Lestari membakar semangat. Fatihah membalas emot love dan emot menyembah banyak banyak.

Tak jauh dari tempat Fatihah berdiri di sebelah baratnya, di kiri Fatihah ada seorang pemuda berdiri, seorang diri mengenakan kemeja putih dan celana kain cokelat muda, berkopiah putih tulang dan sedang memelototi HP-nya.

Fatihah terus mematung menikmati hujan. Lelaki itu sibuk mengangkat telepon dan mengulangi ucapan halo-halo dan salam berkali-kali. Sambil repot menelepon, lelaki itu masih menyempatkan nyeburkan uang yang dikepal ke kotak amal yang letaknya di persis di depan Fatihah. Fatihah membisu, ia melirik sepintas lalu mengalihkan pandangan kea rah lain.

Sementara itu lekaki tadi terus megucap halo-halo. Mungkin suara di seberang putus-putus atau kurang jelas. Suara lelaki itu terpaksa sampai juga ke telinga Fatihah. Ia menoleh ke sumber suara. Melihatnya dan matanya ditahan beberapa saat. Fatihah melihat wajah lelaki itu agak lekat. Lelaki di sebelahnya itu hanya terlihat dari samping kanan dan itupun pipinya ditindihi HP ukuran lebar lebih dari segenggaman tangan.

"Halo... assalamualaikum Umi... Halo Mi..." suara pemuda itu. Prediksi Fatihah usianya sekitar 33 tahun, sepantaran dia lah. "Aku di Al Akbar, Mi.. Mi... Umi... Nggak jelas Mi. Putus-putus. WA saja ya," katanya lalu menyudahi teleponnya.

Pemuda itu merasa suaranya menggangu sekitar. Ia menoleh ke berbagai arah. Ia merasa suara yang diulang-ulangnya tadi mengundang perhatian orang lain. Ia melihat ke depan dan ke kiri dan kanan. Nah, saat melihat ke kanannya ada perempuan berukuh putih bordir bunga emas mengitari wajahnya, sedang melihatnya. Ia lihat sepintas. Mata mereka bertemu tapi sebentar lagi mereka melepas. Lelaki itu men-takeoff-kan senyum bulan sabi kepada Fatihah. Fatihah salah tingkah. Ia membalasnya dengan manis lalu menghadap ke depan. Lelaki itu entah sekarang melihat apa mendangakkan kepalanya, mungkin.

Lelaki itu sebentar mengetik di Hpnya lalu memasukkan ke saku celana. Ia sekali lagi menoleh ke arah perempuan itu. Kali ini agak lama. Ia amati betul-betul dari samping kiri perempuan itu mirip akrtis-aktris kenamaan.

Fatihah merasa diperhatikan ia menolehkan sedikit wajahnya ke arah lelaki itu. Mata mereka sekali lagi bertemu agak lama dan lelaki itu yang melempar senyum bulan lagi. Fatihah pun melepas senyum hingga tampak lesung pipinya. Lalu mengangguk tanda salam hormat atau salam sopan.

Saat itu Fatihah seperti tersengat listrik bertegangan 500.000 watt. Dadanya penuh dengan tegangan. Kakinya seperti menjelma besi tak dapat digerakan. Suhu sekujur tubahnya berubah drastis. Kini tak lagi adem meski tengah hujan. Fatihah merasa ada udara baru yang menguasai tubuhnya. Jantungnya dipompa cepat. Melihat lelaki itu benak Fatihah bercokol pikiran baik.

"Yaa Allah. Inikah lelaki yang engkau kirimkan untukku? Ahggrr... mikir apa aku." Dada Fatihah bergemuruh sendiri. Hawa hangat merayapi hampir ke seluruh badan Fatihah.

Perjumpaan mata lalu perintah untuk saling bersedekah senyum seolah otomatis terjadi. Fatihah tersenyum manis kala itu. Lelaki itu pun sama, dia menghadiai Fatihah senyum termanisnya malam ini. Hanya bagian kepala yang beropreasi ada kesempatan emas itu. Dan entah samapia kapan mereka akan menyudahi tatapannya itu. Lelaki itu agak ragu-ragu menyudahi tatapannya. Merasa agak kurang nyaman, Fatihah memutuskan mengakhiri. Dia lantas bergeser ke depan empat langkah dari tempat semula ia berdiri. Kali ini tidak tolah-toleh. Lalu turun di satu undakan mengawinkan kakinya ke sandal miliknya. Ia sejenak menengadahkan tangan kanannya ke langit memastikan hujan masih turun apa sudah reda. Meskipun di dadanya belum reda. Masih gerimis. Fatihah tetap memutuskan meninggalkan teras masjid menuju mobilnya. Empat undakan turun ia lalui dan di undakan kelima ingin hati Fatihah menoleh memberi muka dan senyum lagi pada lelaki tampan tadi. Tapi dia memilih mengurungkannya. Malu! Kini ia berlari kecil menuju mobilnya di pelataran masjid.

Fatihah merekam cukup baik peristiwa manis tadi. Jam tangannya sudah pukul delapan lebih sepuluh menit. Segera Fatihah meringsut ke mobilnya, ia duduk bersiap di jok empuk Brionya. Duduknya ia pas-paskan, tak lupa ia memasang seatbelt lalu mengenakkan posisinya. Lantas mulai menginjak gas perlahan. Namun gas segera dileas lagi. Penyebabnya adalah selang beberapa menit, lelaki tampan tadi kemudian berlari kecil, tangan kanannya memayungi kepala dari rintik hujan. Ia berlari persis di depan Brio Fatihah yang mulai bergerak. Fatihah terperangah karena merasa dibuntutinya. Setelah lewat di depannya lalu meringsut ke samping kanan Brio Fatihah. Saking terburu-burunya lelaki itu menyenggol spion kanan Fatihah sampai spion itu kuncup sedikit ke belakang. Dan segera lelaki itu berhenti berlari dan membetulkan spion itu dan tak lupa ia menyembah kepada si empunya. Lelaki itu menyembah meski tak melihat jelas yang di dalam mobil.

Sontak Fatihah menurunkan kaca jendela mobilnya. Lelaki itu terperangah, ia melihat pemilik mobil yang dihantam spion adalah orang yang tidak asing. Lelaki itu amat terkejut melihat siapa di dalam itu.

"Lha... kok sampean... Maaf banget ya, Mbak," ucap Lelaki itu dan kedua telapak tangannya ditangkupkan kembali di dada, bagai menyembah lalu melempar tersenyum manis.

"Nggak apa-apa, Mas," balas Fatihah dengan suara lembut sambil mengangkat tangan kananya menunjukkan telapaknya, lalu juga melepas senyum membalas senyum lelaki tadi.

Lelaki itu lantas berlalu tapi kali ini ia berhati-hati sambil tangannya memayungi kepalanya. Fatihah menaikkan kaca jendelanya dan memerhatikan langkah lelaki itu dari spion. Ternyata dia membuka pintu Mobilio silver yang bersebelahan dengan Brio Fatihah. Hanya saja posisinya Mobilio itu parkir masuk muka. Sedangkan Brionya Fatihah parkir mundur, pantat mobilnya yang dimasukkan duluan.

Kini Mobilio itu mundur sedikit kemudian meliuk dan bergegas malah mendahului Fatihah. Tapi lelaki itu masih menghadiahi dua kali klakson tanda pamitan kepada Fatihah. Fatihah membalasnya satu kali bunyi klakson. Dan lelaki itu pun lenyap dari pandangan Fatihah. Di parkiran ini mereka berpisah.

Fatihah tak jadi menginjak pedal gasnya. Ia malah melamun. Seandainya ini seandainya itu. Siapa sih nama Mas ganteng tadi?

Kaukah jodohku, Mas? []

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now