Oh!

1.9K 78 0
                                    

Malam-malam berikutnya Fatihah kian rajin ke Masjid Al-Akbar. Dia amat yakin hatinya akan tertambat pada pemuda sholih di masjid ini. Entah pada siapa dan yang mana. Atau pada pemuda yang pernah dia jumpai beberapa waktu lalu dan atau sama siapa lagi yang lain? Wallahu 'alam. Bagi Fatihah siapapun lelaki itu asal rajin ke masjid bisa jadi dia lelaki yang sholih. Karena bagi nuraninya, setiap lelaki yang rajin ke masjid selalu nampak ganteng dan baik.

Dan saat Fatihah bersiap pulang seusai shalat isya' ia sejenak singgah di tempat fovoritnya. Berdiri bersandar di dinding, di teras masjid dekat pintu utara, pintu pertama dari barat berdekatan dengan kotak amal. Lama dia mematung di sana dan merasa bosan. Mengalihkan kebosanan dia merogoh tas mukenanya. Diambilnya hape dari sana lalu digulir-gulirkan apapun di layar hape itu.

"Beb doakan ya, aku udah ketemu, Beb. Sepertinya dia seorang ustad. Orangnya ganteng Beb."

"Duuuuh, senengnya, Beb. Semangat ya cantiiiik. Semangat....."

Itu obrolan Fatihah dengan sahabatnya, Lestari, lewat WA.

Selesai mengobrol dengan Lestari, Fatihah lalu merogoh tas dan mengambil beberapa lembar uang. Selanjutnya ia bergegas menyuapkan isi tangannya ke mulut kotak amal yang selalu menganga. Nasib kotak amal, meski selalu mangap kadang kala manusia-manusia yang melihatnya banyak yang mengabaikan. Kadang pula bahkan tak sudi dilirik sekali pun. Kasihan!

Nah, tangan kanan Fatihah selesai menyuapi kotak amal itu lalu diturunkannya. Saat menurunkan tak sengaja tangan Fatihah mendepak lengan seseorang. Orang itu laki-laki.

"Au... maaf," sontak Fatihah kaget lalu membalik tubuhnya dan menangkupkan tangannya di depan dada. "Maaf... pak... maaf..." mata Fatihah terpejam.

Lelaki di depannya tersenyum.

"Nggak pa pa, mbak," ucapnya santai.

Fatihah membuka mata. Dan alangkah terkejut Fatihah, lelaki di depannya itu yang kena depak tangan Fatihah adalah lelaki yang bertemu tempo hari. Fatihah semakin gugup. Ia menjadi kikuk tatkala yang terkena gibasan tangan kanannya itu rupanya adalah lelaki tampan yang dijumpainya malam lalu. Lelaki itu juga hendak memasukkan uang ke kotak amal itu. Isi kepalan tangan lelaki itu akhirnya tercebur juga ke mulut kotak amal itu.

"Nggak apa-apa, santai." katanya lagi lalu melengkungkan bibirnya dan menatap Fatihah. Suaranya lembut. Itu yang langsung menambah Fatihah kesengsem. Kata nggak apa-apa itu bagi Fatihah adalah masalah besar. Dia yakin peristiwa ini akan jadi permulaan sinetron dalam hidupnya.

"Silahkan," Fatihah menyilakan lelaki tadi menyuapi kotak amal. Dia menyingkir kembali ke tempat ia berdiri semula dan membalas senyum tipis.

"Sudah kok," Lelaki itu membalas senyum Fatihah.

Fatihah mengangguk pelan padanya. Lelaki itu berfikir sejenak di depan kotak amal lalu dia bertekat untuk menunaikan agenda selanjutnya. Dari ke kotak amal, lelaki muda tampan itu malah mendekat ke tempat Fatihah berdiri dan menyapanya.

"Assalamualaikum," Pria itu menangkupkan kedua tapak tangannya bagai menyembah ke Fatihah.

"Oh.. waalaikumsalam," Fatihah mengangkat wajahnya menghadap lelaki muda tampan yang berdiri tepat di hadapannya dan membalas salam tangannya juga.

Pria itu dari jarak dekat sungguh tampan menawan. Apalagi dengan kumis serta dagu yang baru bekas dicukur. Matanya tegas dengan tahi lalat kecil di atas alis kirinya. Wajah campuran Indonesia dan Timur Tengah itu kini menatapnya. Celananya gelap berkemeja biru tua dan kopiah putih.

Beruntung Fatihah sudah melepas rukuhnya dan merapikan pakaiannya tadi di dalam masjid. Sehingga kini yang melekat di tubuhnya adalah longdress pink berbunga hitam dengan kerudung senada. Fatihah tampak anggun meski hatinya sedikit kalut karena belum jua ada lelaki sholih yang memikatnya secara halal sampai detik ini.

"Maaf ya. Dua kali saya mengganggu, Mbak," lelaki itu membuka obrolan.

"Eh, nggak apa-apa, Pak. Yang ada saya tadi tangan ngena, Ba...pa..k!"

"Hehe... saya sudah tua ya, Dik?"

"Hehe..."

Nyess, Fatihah bagai tersengat listrik tegangan sangat tinggi di seluruh bagian tubuhnya, terutama di dalam dadanya.

Sebenarnya bukan dua kali, Mas. Ada tiga kesalahan sampean, Mas. Yang ketiga sebenarnya yang pertama, yaitu sejak aku melihat sampean, dengan senyum sampean pertama kali padaku itu yang terus bersarang di otakku. Kalau soal menabrak spion dan tadi kena depak tangan itu bukan masalah, Mas! Yang masalah senyummu tak pernah bisa pergi dari ingatanku!

Fatihah melamun.

"Hei... Halo... Mbak... hallo..." lelaki tadi membuyarkan lamunan Fatihah.

"Eh... iya Ustadz! Mmm nggak kok, ustadz, aku nggak apa-apa,"

Fatihah nampak salah tingkah.

"Maaf, panggil aku Zain saja. Aku sangat tidak pantas dipanggil ustadz."

"Oh!"

Fatihah seperti tak punya jawaban lain selain kata oh yang meluncur dari mulutnya.

"Mas Zain ya!"

"Iya. Maaf, nama Mbak siapa?"

"Fatihah," sahutnya. "Fatihahtul Chazanah, Mas"

"Hmm.. Nama yang indah," sanjung Zain.

"Terima kasih," Fatihah tersipu.

"Nama saya Zainal Abidin, Mbak. Salam kenal ya,"

"Oh... oke, Mas!"

Zain memang terlihat dewasa dan nampak cocok di hati Fatihah. Usianya juga, rasanya masih sepantaran dengan Fatihah. Meski Fatihah tak tahu persis berapa usia Zain. Mereka mengobrol ini itu di beranda masjid itu hingga bermenit-menit, atau jangan-jangan hingga berjam-jam. Cinta membuat banyak orang lupa waktu. Serius! Mereka memang sadar kapan memulai kisahnya itu tapi kini lupa bagaimana cara menyudahi obrolan hangat malam itu di teras masjid. Keduanya dengan sama malu-malu bahkan mengobrol ngalor-ngidul, ngetan-kulon. Membahas yang penting dan yang remeh temeh. Akhirnya obrolan pun usai.

Fatihah sampai di kost-an berguling-guling di kasur dengan sambil senyam senyum. Dia sedang kasmaran. Sudah jelas dia sedang kasmaran. Tak henti-hentinya dia menghayal senadainya begini seandainya begitu, seandainya Zain jadi miliknya.

Saat lagi fokus menggosok gigi dan berwudhu menjelang tidur pun dia nyengar nyengir sendiri di kamar mandi. Bercermin dia menaik turunkan alisnya, memoncong dan memanis-maniskan bibirnya dia lihat itu lucu sendiri di cermin kamar mandi. Cinta telah memberinya tambahan keceriaan. Bahkan bisa jadi ini keceriaan baru baginya. Pipinya disentuh-sentuh, alisnya, hidungnya, bibirnya dan dia terus mematut-matutkan diri di depan cermin nyaris tak akan berkesudahan.

Tak ingin gila sendiri, dia berbagi kebahagian kepada sahabatnya, si Lestari. Dicengkramnya smartphone dengan mata berbinar-binar. Sambil berguling-guling dia mulai asyik mengobrol dengan Lestari.

"Namanya Zain, Beb. Ganteng,"

"Ciyee yang lagi kasmaran."

"Iya, Beb. Doain aku ya, Beb. Semoga dia memang lelaki yang dikirim Allah untukku!"

"Aamiin... Besok traktir aku dulu biar kalian segera jadian, hehe..."

"Ah, dasar Ratu yang haus upeti dari rakyat jelata."

"Hehe.. kamu rakyatnya?"

"Iya, siapa lagi? He... Serius, Beb. Doain aku ya biar bisa nyusul kamu jadi rumah tangga bahagia. Doakan kami bahagia juga ya, Beb."

"Duuuuh, senengnya, Beb. Semangat ya cantiiiik. Semangat..... InsyaAllah dialah jodohmu sayang. Semangat ya."

"Siyap, Beb."

Itu obrolan Fatihah dengan Lestari, sahabatnya lewat WA. []

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now