Tapi Dia Bukan Untukku!

1.4K 59 0
                                    

Pak Yadi adalah orang yang baik. Sholih boleh dikata. Selama memimpin kelompok program pertukaran dosen di Thailand, dia bersikap arif dan bijaksana. Tak pernah menyakiti siapapun. Semua keputusan selalu mufakat. Dia tidak egois. Selalu menyenangkan. Dan lebih menyenagkan lagi di hati Fatihah. Terspesial kalau yang ini. Persoalannya sekarang adalah Pak Yadi itu bukan muslim. Dia nasrani.

Sayang, non muslim! Seandainya Gus Dur masih hidup beliau pasti akan membantu Fatihah. Setidaknya beliau akan menjadi alasan kuat kenapa Fatihah perlu menerima cinta Yadi. Bagi mendiang Gus Dur, akan tidak masalah apa agama seseorang karena kalau kita bisa baik kepada orang lain, orang lain tak akan bertanya apa agama kita.

Menurut Fatihah, Yadi tepat baginya. Dia memang baik, kebaikannya terpancar di wajahnya yang teduh dan perangainya yang tegas. Sayang dia Kristen.

Bagaimana mungkin aku menegakkan shalat seorang diri sementara dia pergi ke gereja. Naudzubillah mindzalik.

Fatihah galau! Tentu Ibu dan Ayah Fatihah sangat keberatan dengan Yadi. Sebaik apapun Yadi, seganteng, sesopan, dan seintelek apapun dia, dia adalah Kristen. Dia tak bisa jadi imam shalat Fatihah. Dia jika tetap dalam imannya, tak bisa membuat sakinah mawaddah warahmah yang diidamkan Fatihah.

Garis keras agamanya sudah mematahkan dalil apapun di dunia ini untuk Yadi bisa menyunting muslimah seperti Fatihah.

"Aku harus bagaimana, Beb?" Fatihah menyanggah kedua pipinya dengan kedua tangannya saat duduk berhadapan dengan sahabatnya si Lestari, di sebuah restoran cepat saji, di jantung kota Pahlawan.

"Tenang Beb, coba ajak Yadi masuk Islam," Lestari tersenyum lalu menaik turunkan alisnya. Fatihah tak bergeming.

"Dia itu orang baik, Beb. Mana mungkin bisa meninggalkan agamanya hanya demi wanita sepertiku."

"Ah, kamu ini gimana sih. Belum perang sudah kalah. Belum dicoba sudah nyerah. Ikhtiyar dong!"

Dua insan sahabat ini mengkekeh. Lalu menyantap nasi goreng mawut yang tersaji di depannya. Langit di luar menangis. Air matanya membias di kaca jendela di sebelah kiri Fatihah dan Lestari yang sedang makan siang.

"Kamu sudah tidak benci hujan, Beb?" Lestari memecah keheningan.

"Hmm... tidak, Beb." Sahut Fatihah. "Cuma buenci, Beb. Hee..."

"Kasihan kamu, Beb! Lupakan aja ya berlalu."

"Siyap. Makasih perhatianmu, Cantik!"

Sampai di rumah Fatihah bertemu Ibunya. Ini malam Rabu. Ia mengutarakan maksud tujuan dan angan-angan yang tersimpan di kepalanya sejak di Thailand. Memang Fatihah lebih berani kalau curhat kepada Ibunya daripada kepada Ayahnya.

Maka semua cerita kebaikan dan kegantengan Pak Yadi ia sampaikan kepada Ibunya.

"Kalau dia muslim, meski mualaf ibu ridho, Nduk. Tapi kalau dia tetap berada di imannya kami mohon maaf. Tidak bisa."

Ibu menghela nafas agak berat. Seberat kisah yang baru saja diutarakan putrinya, Fatihah.

"Katanya, besok malam Pak Yadi mau main ke sini, bertemu Ibu dan Ayah. Apa boleh, Bu?"

"Boleh saja, Nak. Silaturrahim masak nggak boleh. Besok Ibu siapkan makan malam yang enak buat tamu kita itu ya."

"Mmm... Ibu memang top deh! Sayang Ibu."

Fatihah memeluk dan cium Ibunya lalu pergi ke kamarnya.

"Siapa tahu besok setelah bertemu Ayahmu, dia bersyahadat, Nduk!" Ibu mengeraskan suaranya saat fatihah berlalu.

"Aamiiin," sahut Fatihah di lantai 2.

Mereka bebas saja berteriak-teriak. Sebab Ayahnya sedang rapat pengurus RT sehingga tidak sedang di rumah.

***

Malam ini Ayah masih memakai baju koko putih dan berpeci serta memakai sarung saat menerima Pak Yadi, rekan dosen Fatihah. Yadi berbatik biru motif bunga putih dan bercelana kain malam ini. Dia nampak berkharisma. Mobil Jukenya diparkir rapi di halaman rumah Fatihah berjejer dengan Brionya Fatihah. Yadi tinggal dengan orangtuanya di Surabaya Barat. Fatihah rumah aslinya ini di Sidoarjo kota. Namun sehari-hari Fatihah mengekos di komplek rumdin TNI AL dekat bonbin. Adalah rumah kost agak elit di tengah kota.

Malam ini Yadi datang tepat saat ayah turun dari masjid di komplek perumahan. Dan saat itu dua bidadari sudah menyiapkan makan malam di dalam rumah. Begitu ayah membuka pagar depan, Yadi turun dari mobil Jukenya. Lalu menyalami Ayah Fatihah seraya mencium tangannya. Yadi memperkenalkan diri. Ayah agak kaget dengan kehadiran tamu lelaki itu, belum pernah Fatihah membawa temannya ke rumah. Tapi adabnya memang tamu harus disambut baik, maka ayah membawanya ke ruang tamu. Oleh Ayah, Yadi dipersilakan duduk di sofa biru ruang tamunya.

"Fatihah, ada tamu ini, Nak!" Ayah agak melolong saat di ruang tamu. "Silakan duduk, Nak." Tangan ayah mempersilakan duduk Yadi. Si Yadi mengangguk, tersenyum, dan mengucapkan terima kasih.

"Nduk, ini ada temanmu." Ayah sekali lagi mengeraskan suaranya.

Ibu dan Fatihah lalu muncul. Maka Yadi tanpa diminta langsung berdiri dari duduknya dan menyatukan kedua tangannya di depan dada bagai menyembah. "Selamat malam Ibu.... Fatihah..." ucapnya lalu senyum. Ibu dan Fatihah pun menangkupkan tangannya di depan dada.

"Silakan duduk, Mas!" suruh Ibu. Yadi tersenyum dan duduk pelan-pelan. Sungguh halus perangainya. Lembut dan sopan orangnya. Yang aneh di benak Fatihah adalah kenapa saat Yadi menyembah tadi tidak sambil mengucap salam. Maklum dia kan non muslim.

Ayah lalu mengajak ngobrol Yadi. Bertanya rumahnya dan bekerja di mana. Si Yadi menjawab semua pertanyaan basa-basi Ayah. Dia tinggal di Surabaya barat bersma kedua orangtuanya dan kerja di Fakultas Hukum Unair.

"Saya yang bersama Adik Fatihah ke Thailand, Pak!" katanya lantas tersenyum.

"Owalah... masyaAllah.... Iya... iya... Nak. Terima kasih sudah membantu dan menjaga anak kami selama di luar negeri. Makasih ya!"

"Sami-sami, Bapak." Yadi malu-malu. Dia banyak diam sebenarnya kalau tidak dipancing pertanyaan Ayah Fatihah. Tapi wajahnya tegas dan hatinya mantap. Dia santai bertamu di rumah Fatihah malam ini. Entah ada apa gerangan. Survei kecil-kecilan atau memang hanya silaturrahim.

Fatihah tersenyum Ibu juga.

"Dia ketua programnya, Yah." Sambung Fatihah. Yadi malu-malu.

"Ooh... masyaAllah... bagus," respons Ayah.

"Oiya, Mas. Fatihah masak enak malam ini. Kami sangat bahagia bila Mas Yadi berkenan menyicipi masakannya Fatihah." Celetuk Ibu menyambung obrolan. "Ayo-ayo ke sini." Ibu berdiri lalu berjalan ke ruang makan.

"Ayo Nak, jangan sungkan!" ucap Ayah memegang lengan Yadi. Si Yadi malu-malu, tapi manut saja. Seperti angin yang selalu patuh titah Tuhan.

Makan malam itu berlangsung nikmat dengan obrolan ringan dan akrab. Ayah dan Ibu menyukai perangai Yadi. Mereka suka takzimnya, santunya, senyumnya, ramahnya.

Usai makan Yadi berpamitan. Keluarga Fatihah tak bisa menahannya. Yadi berterima kasih atas sambutan baik dan ramah keluarga ini. Dari dalam mobilnya yang daun kaca jendelanya sudah diturunkan Yadi menangkupkan kedua tangannya, lalu melambai-lambai pada Ayah Ibu dan Fatihah. Lalu mengangguk takzim satu kali. "Monggo, Bapak, Ibu, Dik Fatihah!" Ujar Yadi. Yang aneh sekali lagi tanpa salam yang keluar dari lisannya.

Ayah, Ibu, dan Fatihah mengangguk dan membalas dengan ungkapan "monggo" juga. Fatihah melempar senyum dan melambaikan tangan kanannya kepada Yadi. Saat Yadi menghilang, Ibu dan Ayah memandang Fatihah yang senyam-senyum tidak selesai memandangi mobil Yadi yang sudah menjauh lalu lenyap. []

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now