Ikhlas

1.7K 58 1
                                    

"Perumpamaan orang berinfaq tapi riya atau pigin dipuji/pamer ialah seperti batu yang licin yang diatasnya ada debunya, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Sia-sia saja perbuatannya. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk bagi orang-orang kafir. Itu bunyi al-Quranul karim surat Al-Baqarah ayat 264. Jadi bagaiman niat kita dalam berinfaq, Bapak Ibu? Semoga tidak karena pingin dipuji manusia."

Ustadz berjenggot tebal dan panjang itu mantab dan menggebu mengutarakan dalil tersebut di layar TV. Itu program kajian al-Quran di TV lokal. Pagi-pagi sekali, Uwak telah memegang remot TV dan bersandar di kursi santainya. Ditemani secangkir wedang jahe buatan Fatihah tadi. Uwak mengangguk-ngangguk menyaksikan tayangan itu.

Sang ustadz kembali melanjutkan melantunkan ayat suci Al-Quran lalu menerjemahkannya: "Sedangkan perumpamaan orang yang menginfaqkan hartanya mencari ridho Allah ibarat sebuah kebun di dataran tinggi yang disiram hujan lebat, maka kebun itu berbuah dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak datang, maka embun pun masih memadai. Allah maha melihat apa yang kamu berjakan. Itu bunyi al-Quranul karim surat Al-Baqarah ayat 265. Jelas beda dengan yang riya. Seseorang yang mencari ridha Allah maka Allah akan memuliakannya di dunia dan akhirat. Semoga kita termasuk bagian yang kedua ini. aamiin ya robbal alamiin..."

Dan pagi-pagi sekali, di luar rumah ada seseorang mengetuk pintu rumah Uwak. Suara ketukan pintu itu sampai di telinga Fatihah. Ia beranjak lalu membukakan pintu.

"Assalamualaikum, Kak!" rupanya Alikhlas di sana. Ia lantas menangkupkan tangannya di depan dada.

Fatihah membalas sikap serupa. "Waalaikumsalam. Sampean, Mas!"

Ali mengangguk seraya tersenyum, Fatihah membalas dengan senyum samar.

"Bapak ada, Kak?"

"Ada tunggu sebentar." Fatihah menyilakan Ali duduk di kursi di beranda rumah. Begitu Ali duduk, Fatihah masuk ke dalam ruang keluarga. Uwak masih setia di depan TV. Fatihah menyampaikan kalau ada tamu.

"Siapa Nduk?"

"Mas Ali, Wak!"

"Oh...." Bergegas Uwak menemui Ali.

Tanpa Bahasa lisan Uwak langsung menemui Ali.

"Kamu, Le!"

"Inggih, Pak!" Ali mencium tangan mantan mertuanya itu.

Selanjutnya Uwak dan Alikhlas langsung berpelukan. Mata mereka kemudian menjadi basah. Dalam pelukan dua lelaki itu meratapi sangat dalam yang terjadi. Keduanya sangat menyayangi Fatimah. Kedua lelaki itu telah kehilangan Fatimah untuk selamanya.

Kuasa Allah. Tak ada yang mustahil. Ali adalah korban selamat dari penerbangan penuh cinta dari Juanda dalam perjalanan menuju Korea Selatan. Kini Ali bersilaturrahim ke rumah mantan mertuanya itu. Setelah benar-benar sembuh dan sehat seperti sedia kala.

"Bagaimana kabarmu, Nak?"

"Alhamdulillah sehat, Pak. Hanya ini yang masih sakit." Ali menunjuk ke pergelangan tangan kirinya yang masih diperban. Ceritanya, sehari setelah Fatimah dikubur Ali baru sempat menelepon dan berkabar kepada Bapak Fatimah, bahwa dia selamat saat tragedi pesawat nyungsep. Bapak bersyukur. Fatihah juga ikut bersyukur.

Katanya, Ali terkena benturan benda keras. Lalu ingatannya lenyap. Tahu-tahu dia ada di tengah laut dengan sebilah puing atau kayu. Tidak paham berapa hari dia ada di tengah laut itu. Ya, kok Ali luput dari pencarian TIM SAR. Yang terjadi Ali terlunta-lunta di tengah samudera. Ia memakan ikan teri atau binatang kecil yang hinggap di tangannya untuk bertahan hidup di tengah laut. Dengan sepilah puing pesawat Ali terus dihanyut arus dan semakin menepi. Beruntung Ali kemudian ditolong oleh seorang nelayan. Pergelangan tangannya nyaris putus. Pelipisnya juga memar. Sampai sekarang ia suka pening. Mungkin karena benturan benda keras saat kecelakaan kala itu.

Bapak mengelus-ngelus bahu kanan Ali. lalu menyilahkan Ali duduk di sofa ruang tamu. Ali duduk, Bapak masuk ke kamarnya lalu membawa sesuatu.

"Nak, Bapak tak ingin mengikatmu dengan pernikahan kalian. Kamu orang yang baik. Silakan ihktiyar lagi, carilah wanita yang sholihah, nikahilah dia. Ini buku nikahmu, kamu resmi bebas dari ikatan pernikahan dengan Fatimah."

Uwak memberikan buku nikah Ali. Mulai sekarang dia bebas dari belenggu keluarga Bapak Imran. Waktu memang kejam, beberapa hari silam Uwak dan Ali adalah orang yang paling bahagia di dunia ini. Namun kini semua luka lara menghunjam ulu hatinya dengan kepergiaan Fatimah.

Ali tanpa aba-aba langsung merangkul orang tua di hadapannya itu sambil menitikan airmata. Bahkan seolah semua airmatanya pun ditumpahkan saat itu. Terbata-bata ia ngomong sambil menangis.

"Baik, Pak! Mohon maafkan segala khilaf dan dosa saya selama ini!"

"Kamu tak punya salah dan dosa buat kami, Nak. Sama sekali tidak ada."

Ali kemudian menyodorkan kembali cincin itu.

"Pak, mohon beribu-ribu maaf. Sudah saya cari wanita sholihah itu di banyak tempat. Tapi aku tak menemukannya. Sekarang saya punya ini." Ali melepaskan cincin emas putih yang disematkan Fatimah saat pernikahan waktu lalu.

"Saya pasarahkan cincin ini kepada Bapak nggih. Mohon keridhaan Bapak. Bila ada wanita yang menurut Bapak tepat dan cocok buat saya silahkan berikan cincin ini."

Uwak menghela nafas sejenak. Matanya berkaca-kaca. Sejenak benaknya kembali ke tayangan wajah Fatimah, putrinya. Ingatan itu berkelebat tanpa pamit. Fatimah tersenyum di sebuah taman penuh bunga. Dia bergaun serba putih dengan kulit bersih dan penuh cahaya.

"Baiklah Nak. Jadi begini Ali, Aku punya cerita. Mau kamu mendengarkan?"

"Inggih, Pak,"

"Jadi begini, Nak, aku mau bercerita. Ada seorang perempuan, dia memiliki cinta besar kepada Tuhannya, cinta dan patuh kepada kedua orangtuanya dan juga sanak saudaranya. Dia berkali-kali jatuh cinta bahkan menjalin hubungan dengan seorang pria namun selalu berakhir kandas. Tapi saya jamin dia pandai menjaga diri. Nah, pada suatu hari perempuan itu bersuami, tapi karena suaminya tak memenuhi kewajibannya sebagai suami, maka dia diceraikan. Dia janda. Tapi insyaAllah dia masih suci, Nak. Seorang perempuan menjaga shalat lima waktu, berbakti kepada Allah dan orangtuanya, bersedekah, dan melaksanakan puasa wajib dan sunnah, dan menjaga kemaluanya, serta menaati suaminya. Tapi akhirnya dia menjanda. Bagaimana menurutmu perempuan ini, Nak Mas Ali?"

"Saya samikna wa atokna dawuh Pajenengan, Bapak!"

"Tapi nuranimu bagaimana?"

"InsyaAllah saya mantap hati kalau Bapak yakin,"

"Aku yakin, Nak Mas!"

"Kula samikna wa atokna panjenengan, Pak!"

"Alhamdulillah. Baiklah, Nak Mas. Perempuan itu adalah Fatihah kakak sepupunya Fatimah. Kamu berkenan?"

"Fatihah, Pak?"

"Iya, Nak!"

"Allah yaa Kariiiimmmm."

Tangan kanan Ali memegang dadanya. Allah mengirim detak jantung yang tak wajar di dalam dada Ali. Rupanya selama ini Fatihah telah menjanda.

Kedua insan ini lalu berpelukan. Keduanya kompak melelehkan airmata di pipi masing-masing. Inilah kebahagiaan surgawi.

Fatihah di dapur bersyujud syukur. Dia tumpahkan airmatanya. Desir dalam dadanya sungguh buka desir biasa. Inilah cinta yang murni. Cinta karena Allah ilahi rabbi.

"Cepat pulang, Le! Sampaikan niat baikmu ini kepada kedua orangtuamu. Nanti dzuhur shalat di masjid komplek sini. Kamu akan aku nikahkan dengan Fatihah. Cincin ini maharnya."

Kedua insan ini lalu berpelukan. Keduanya kompak meluapkan airmata di pipi masing-masing. Mereka sedang dilanda kebahagiaan hakiki.[]



Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now