Pertukaran Dosen

1.6K 68 0
                                    

Hari-hari berlalu, Fatihah masih saja seperti yang dulu: jomblo. Atau istilah kunonya adalah lajang, kalau Bahasa Jawanya ora payu! Namun bukan Fatihah kalau merana. Ia tetap tegar, sabar dan bersemangat setiap hari. Dia harus sibuk berguna bukan sibuk yang tak bermakna, tekatnya.

Pagi ini kalau tidak karena dorongan kecintaan yang besar kepada Allah, maka raungan adzan subuh dari musholla di sebelah kostnya pasti ia abaikan begitu saja. Pasti telinganya ia sumbat rapat-rapat dengan bantal guling. Namun karena itu bisikan robbul 'alamiin maka dosen cantik itu menyingkap selimutnya yang motif bunga mawar pink itu. Lalu dia duduk mengucek kedua matanya, meregangkan tanganya, menguap sebentar lalu bangkit untuk mengambil wudhu. Setelah mengabil wudhu ia tegakkan dua sahalat rawatib lalu shalat subuhnya. Sengaja ia berlama-lama saat shalat. Dibacanya dengan fasih surotul Fatihah lalu surat Arrahman sampai ayat 13. Ia yakin dalam dadanya Allah pasti menyayanginya, dan ia sangat yakin jodohnya sudah dekat.

Maka saat berdoa, semua isi dadanya ia tumpahkan. Berteima kasih atas nikmat dan karunia besar hingga pagi ini. Lalu ia memohon ampun atas banyak salah dan dosa, memohonkan keselamatan dan kesehatan untuk dirinya, untuk kedua orangtuanya, dan adiknya. Juga untuk teman-temannya. Ia juga memohon kesuksesan dan keberkahan dalam hidupnya. Tak lupa ia panjatkan apa yang paling ia inginkan adalah menikah.

"Ya Allah Tuhan kami yang Agung. Mohon kirimkan hamba seorang imam dalam hidup hamba yaa Allah... Yaitu lelaki yang sholih yang dapat menentramkan lahir dan batin hamba. Aamiin yaa Robbal alamiin..."

Usai shalat Fatihah memasak di dapur, yang ringan untuk sarapannya. Lalu sarapan di meja bersama rekan-rekan sesama penghuni kost. Mereka adalah pegawai kantoran dan ada beberapa juga yang pegawai bank. Seperti umumnya penghuni kost ini, mereka adalah wanita karier yang belum sibuk memikirkan hal nikah. Fatihah termasuk. Tapi dia sebenarnya kalau Fatihah sedang merintih kepada Tuhan bahwa dia sudah sangat ingin menikah.

Sambil mengunyah penekuk ditemani segelas susu, Fatihah membuka-buka buku di tangannya. Hanya sebuah novel bersampul kuning. Dia memang senang membaca. Maka tak salah bila ia luas wawasannya dan tinggi ilmunya. Sehingga terpancar dari adab dan kelembutan hatinya.

Selepas sarapan pukul enam lewat sedikit ia sudah siap berangkat ke kampus. Mobilnya ia kemudikan dengan kecepatan sedang. Sampai di kampus ia langsung menuju ke kantor jurusan. Di halaman dan lorong kampus ia bertemu petugas kebersihan, disapanya dengan senyum ramah. Ketemu rekan sesama dosen dilemparinya senyum.

Fatihah sampai di kantor jurusan paling awal. Dosen yang lain belum ada. Seperti biasanya memang begitu. Dosen anggun ini memang punya jam padat di pagi dan sore. Siang ia longgar. Maka mengisi waktu pagi sebelum sibuk dimulai pukul 07.30, ia kini menegakkan shalat dhuha di mushalla kantor jurusan. Di ujung sajadahlah ia tumpahkan keluh kesahnya. Mengiba keharibaan Allah SWT.

"Terimakasih atas segala kebaikanMu ya Robb. Mohon ampuni hamba yang sering lupa atas nikmatMu yang melimpah ini. Terimakasih atas kecintaan Engkau kepada kami ya Robb. Mohon jangan ubah cinta hamba kepadaMu meski hamba nanti akhirnya Engkau kirimkan pendamping hidup. Aamiin...."

Satu persatu dosen berdatangan. Dosen baru, dosen agak lama, dan ketua jurusan akhirnya datang. Dan alangkah kagetnya ketika Ketua Jurusan, Pak Jamal menyodorkan sebuah amplop kepada Fatihah. Apalagi dibarengi dengan senyum manis.

"Selamat ya, Dik. Semoga kamu sukses." Pak Jamal menyunggingkan senyum sangat manis kala itu.

Amplop itu berkop universitas. "Nopo niki, Pak?" Fatihah hanya membolak-balik amplop itu. Dia tak merasa pernah menggarap proyek apapun dalam waktu terakhir. Jadi baginya berlebihan kalau ada uang transport siluman.

"Bukaen Wae, Dik." Respons Pak Jamal.

"Nopo niki, Pak?" Fatihah penasaran.

Pak Jamal mengangkat kedua bahunya lalu tersenyum. "Buka saja Dik. Rizkimu ini."

"Ndredeg saya, Pak."

"Hehe.."

Dosen lain pun ikut senyam-senyum melihat Fatihah bingung.

Amplop itu kemudian di buka di hadapan rekan sesama dosen. Dan alangkah semringahnya Fatihah. Bahwa amplop itu berisi surat tugas, dia bersama 7 dosen lainnya terpilih lagi dalam program pertukaran dosen ke luar negeri. Kali ini dia diberangkatkan oleh universitas ke Yala Rajabhat University, Thailand.

"Alhamdulillah..." Didekapnya surat itu, berkali-kali dia mengucap syukur. Pak Jamal menyalami dan memberi ucapan selamat. Semua rekannya pun ikut menyalami.

Langsung juga Fatihah menghubungi kedua orangtuanya mengabarkan berita baik itu. Kedua orangtuanya berharap Fatihah menjaga diri baik-baik. Bila ada waktu, Ibunya terutama meminta Fatihah pulang dulu ke Sidoarjo sebelum terbang ke Thailand.

"Mule disek, Nduk."

"Baik Ibu, mungkin besok sore Fat pulang," Tenang hati Ibu-Ayahnya mendengar kabar itu, juga berbunga-bunga hati Fatihah sendiri.

Fatihah dijadwalkan berangkat bulan depan ke Thailand. Dia bahagia, meski masih lama berangkatnya tapi malam harinya di kost ia sudah mengemasi semua barang-barangnya untuk program pertukaran dosen 30 hari itu. Fatihah bukan tipe perempuan neko-neko, yang semua parfum harus punya, yang peralatan make up lengkap. Tidak. Dia tidak demikian. Dia sangat sederhana. Asal pakaian dan peralatan kecantikan yang tidak mewah sudah dirasa lengkap selama sebulan, cukup.

Esok pagi-pagi sekali Fatihah sudah keluar kost. Tujuannya adalah kantor imigrasi. Dia mengurus paspor yang sudah hampir abis masa berlakunya. Urusan ini tak sulit karena dia hanya menyiapkan dokumen lama dan berfoto lagi di kantor tersebut. Apa lagi ada tim kampus juga yang membantunya. Jadi urusan semakin lancar dan tak ribet.

Sorenya Fatihah pulang ke rumahnya, di Sidoarjo. Ibu dan Ayahnya menasihati macam-macam di ruang tamu. Ibunya berpesan agar Fatihah memperhatian dandananya selama mengajar di Thailand. Selain itu Ibu minta agar Fatihah memabwa baju yang bagus-bagus saat program pertukaran dosen itu.

Ibu memang suak berlebihan. Padahal Ayah hanya berpesan agar memperhatikan sikapnya dan harus murah senyum. Karena kata ayah di negeri orang kalau kelihatan tak ramah akan bermasalah. Bisa-bisa merusak citra tanah air. Katanya ternyata orang Indonesia orangnya nggak asyik, tidak ramah. Kan masalah.

Kalau Ibu nasihatnya ke Fatihah lebih detail lagi. Selain dandanan dan baju, Ibu menyuruh Fatihah agar tak jangan jual mahal selama di Thailand. Tapi ya juga jangan murah-murah. Misalnya ada dosen lain ingin kenalan ya sambut baik saja dulu. Ada lagi yang lain ya tamping juga. Pokoknya banyak-banyak koleksi, nanti dari sekian yang kenalan 'kan tinggal pilih barangkali salah satu di antaranya ada yang cocok.

"Barangkali dosen-dosen di sana ada yang ada yang naksir kamu, Nduk." goda Ibu.

"Aih, apaan sih, Bu!"

'La iya, Fat. Mungkin calon suamimu, orang sholih itu ternyata dari Thailand. Siapa tahu, Nduk," Ibu menegasakan. Ayah hanya diam menggeleng-geleng.

"Tapi malah tambah jauh kalau harus punya mantu orang luar negeri, susah kalau ada apa-apa, Bu," Ayah menaggapi.

"Si ayah nggak asyik, ah!" Ibu sewot.

"sudah-suah... Tugas utama saya ngajar di sana, Bu, Yah! Doakan lancar aja ya, Bu, Yah. Itu yang penting," pinta Fatihah.

"Iya, Nduk! Bismillah lancar, slamet!" ucap Ayah. []

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now