Ini Rahasia Loh, Dik!

1.5K 60 0
                                    

Usai acara pertunangan Fatihah menginap di rumah Fatimah. Da tidur sekamar dengannya.

"Gimana awalnya kalian jatuh cinta, Dik? Dia kan dosenmu."

Fatihah penasaran dengan alur percintaan Fatimah. "Kalian cinlok ya?"

"Kepo ah, kakak nih," Fatimah tersenyum lebar. Mereka berdua di kasur bukan tidur malah duduk dan diharibaan mereka diletakkan sebuah bantal. Lalu Fatihah mulai menceritakan banyak hal tentang kisah cinta manisnya dengan si Ali.

"Kami bertemu di kelas itu saat aku semester 6, Kak. Pertama kali memang dia mengesankan. Baru kulihat dia itu aneh. Iya aneh, dia adalah pria yang begitu kulihat di dalam dadaku langsung aneh. Kagum mungkin! Dia ganteng, pintar, dan sopan. Alim juga. Aku sebenarnya cuek. Teman-temanku yang aneh. Mereka mengeluh-eluhkan Pak Ali. Di mana pun pembicaraannya tentang Pak Ali. Di kantin, di kost mereka saat aku main ke sana ya pembahasannya Pak Ali. Di kelas bila Pak Ali ngajar di belakang kasak-kusuk tiada bosan."

Fatimah berkisah sambil senyam senyum. Dia terus bercerita sambil mengingat-ingat semua yang menimpanya. Fatihah menyanggah dagunya dengan kedua tangan sambil mesam-mesem. "terus... terus, Dik!"

"Memang aku nggak bisa bohong dengan perasaanku, Kak. Saat jamnya Pak Ali di hari apa gitu aku selalu memperhatikan pakaianku, aku yang biasanya berdandan ala kadarnya kini berubah. Aku berdandan beneran. Yaa Allah aku naif betul. Tapi itulah cinta, mungkin.

"Kalau di kelas aku yang diminta maju ke depan mengerjakan soal pasti aku bahagia juga grogi. Teman-teman di belakang menyoraki kami. Aduh kalau aku menatap mata bening Pak Ali, jantungku mau copot, Kak."

Mereka berdua mengkekeh. "terus... terus...." pinta Fatihah.

"Sebenarnya musibah itu bermula saat kami ada jam sore, Kak. Saat mata kuliah selesai pukul setengah lima, aku sengaja memperlambat berkemas. Juga Pak Ali. Dia masih menata buku dan laptopnya serta kabel-kabel, nggak paham aku. Padahal semua teman-temanku sudah keluar kelas semua. Aku yang bertahan. Dan tinggalah kami berdua di kelas. Aku agak takut sebenarnya. Tapi apa mau dikata aku ingin ngobrol dengan Pak Ali. Minimal say hai, assalmualaikum gitu sama Pak Ali.

"Pak Ali sesekali melihatku aneh, karena aku masih pura-pura berkemas. Tapi saat mata kami bertemua Pak Ali memberiku senyum maniiiiis banget, Kak. Hee.. terus aku bangkit Pak Ali belum. Dia masih repot. Dan aku pamitan. Saya duluan Pak, kataku. Assalamualaikum, kataku. Pak Ali menyahut lalu senyum.

Tapi kemudian dia meringis lalu ambruk. Aku yang masih di ambang pintu hendak melongo keluar. Tapi melihat Pak Ali yang pingsan, entah beneran apa pura-pura. Aku langsung panik. Terus aku melolong minta tolong di luar, di balkon lantai 5 kelas kami sudah sepi tidak ada siapa-siapa. Aduuuh, aku benar-benar khawatir, Kak. Terus aku memberanikan diri menggugah Pak Ali. Tapi dia benar-benar parah. Hidungnya keluar darah lagi. Aduuh... terus aku beranikan diri memapah kepalanya di pahaku, terus hidungnya aku bersihkan dengan kerudungku.

"Kubilang, Pak.. bangun Pak.. aku udah agak keras ngomongnya. Tapi tetap Pak Ali nggak bangun. Aku akhirnya membawanya ke lift yang tak jauh dari kelas kami. Aku memeluknya, dia tangan kanannya ada di bahuku. Kendang telingaku persis menempel di dadanya Kak. Aku bahagia sekaligus getir. Jantungnya masih berdetak. Artinya Pak Ali masih hidup. Kubawa sekuat tenaga Pak Ali terus sampai di dalam lift langsung kupencet angka 1. Di dalam lift aku dag dig dug, Kak. Dada makin mendesir. Yaa Allah ini pertama kali aku memegang tubuh laki-laki selain Bapak. Aku juga mencium wangi tubuh Pak Ali. yaa Allah wangi, Kak. Haha...

"Tapi aku langsung sadar. Aku telalu jahat menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Lift terus turun, kami berdua saja di dalam. Terus saat di lantai satu baru ada dosen lain yang membantuku memapah Pak Ali. Tapi akhirnya ksmi ambruk lagi. Aku menungguinya dan si dosen menelepon bantuan. Tak lama menunggu ambulan poliklinik kampus datang. Aku melepaskan Pak Ali di sana. Lalu aku ingat barangku dan barang Pak Ali masih ada di lantai 5. Aku naik dan mengemasi semuanya. Barangnya Pak Ali aku serahkan ke kantor fakultas.

"Aku awalnya nggak ngira. Nggak ada yang tahu peristiwa itu. Bahkan Pak Ali sendiri mungkin nggak tahu. Teman-temanku juga nggak tahu. Tapi selepas isya' Pak Ali meneleponku menyampaikan ribuan terima kasih sama aku. Dia juga mengabarkan kalau dia sudah baik-baik saja. Soal dia tahu kalau aku yang bantu dia diberi info orang fakultas yang juga melihat sendiri kiriman video dari CCTV, bagaimana aku menolongnya. Dan mulai saat itulah kami dekat, Kak. Katanya aku malaikat yang menolong nyawanya."

Fatihah tak terasa menitikan airmata. Mereka berdua tersenyum. "terus... terus.... Dik!" pinta Fatihah.

"Terus di luar kuliah kalau kami berpapasan di jalan kami selalu salah tingkah, Kak. Dan aku yakin Pak Ali diam-diam mengorek info tentang aku. Pernah saat aku ulang tahun dia memberi kado, Kak. Ini kadonya, boneka bantal gajah biru. Dia pakai gosent langsung ke rumah. Terus kami akhirnya sering WA-an khususnya dia sering menasihatiku.

"Tak ada mata kuliah yang dibahas dalam HP. Semua tentang hal nggak penting. Tapi penting juga sih, dia sering ngingetin puasa, tahajjud, dan sedekah. Oiya, jangan dikira aku dikasih bocoran saat ujian ya. Dia itu pelit, Kak. Heee... katanya aku harus belajar. Masak suka sama dosennya saja tapi tidak pelajarannya. Gitu katanya, Kak. Pelanggaran kan?"

Mereka berdua mengkekeh. "Terus... terus.... Dik!" pinta Fatihah.

"Dia tak pernah mengatakan cinta kak, tapi perilakuknya menunjukkan kalau dia itu cinta banget sama aku. Dia menjaga aku. Sayang aku juga sayang sama Bapak. Saat mengantar aku ke rumah Bapak betah berlama-lama mengobrol dengan Pak Ali. Kata Bapak, kok ada orang selembut dosenmu itu, Nduk. Alhamdulillah akhirnya sekarang aku hampir jadi miliknya, Kak. Doain kami ya Kak. Bimbing aku, Kak!"

Fatimah meraih kedua tangan Fatihah. Fatihah tersenyum mengangguk-angguk lalu dua tangan Fatihah meraih pipi Fatimah. Kemudian dua manusia itu berpelukan.

"Kamu patas mendapatkan cintanya, Dik. Kalian sangat cocok. Hebat cinta kalian. Kakak jadi iri." Fatihah menumpahkan airmatanya lalu membiarkan ia meleleh mebentuk seutas sungai di pipinya.

Fatimah mengusap airmata Kakak sepupunya itu lalu mereka berdua lekat dalam pelukan.

"Kakak insyaAllah juga akan bahagia dengan Pak Yadi. Aku yakin!" Fatimah tersenyum menyemangati Kak Fatihah.

Buru-buru Fatihah melepas pelukannya. Kaget lebih tepatnya. Belum ada, belum pernah Fatihah bercerita tentang siapapun kepada siapapun bahwa dia sedang dekat dengan siapapun dalam waktu terakhir.

"Adik tahu dari mana tentang Pak Yadi?"

Fatimah nyengir. "Dia tadi pagi telepon saat Kakak sibuk di dapur membantu masak-masak, ya aku angkat teleponnya. Terus Pak Yadi menyampaikan banyak hal. Aku ladenin sekalian. Dan kami kenalan. Aku tanya-tanya yang perlu dan dia menjawab, Kak! Pak Yadi orang baik deh, Kak. Pokoknya semoga Kakak segera halal deh... heee..."

Fatihah memasang wajah marah palsu sama Fatimah. Tapi tiba-tiba mereka tertawa meledak-ledak.

"Ini rahasia loh, Dik! Hanya kamu yang tahu ya, sayang. Pliiiiiis....."

Fatihah menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Wajahnya memelas. Fatimah tersenyum jahat.

"Iya, Kak. Siap. Rahasia ya!" Fatimah menyanggupi.

Mereka mengkekeh dan bersepakat akan menyimpan rahasia. Lalu keduanya beralih tidur. Tak terasa jam kecil yang duduk di meja rias Fatimah, jarumnya sudah bersila di angka 12 lewat sedikit. Sudah sangat larut mereka bercerita. Sebentar lagi ayam tahu-tahu sudah berkongkok. []

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now