Kita Ini Aneh, Nduk!

2.3K 93 0
                                    

"Kita ini aneh, Nduk!"

"Aneh nopo, Yah?"

"Iya kita ini manusia aneh, Nduk,"

Fatihah tak jadi meninggalkan Ayahnya usai menaruh secangkir kopi di meja. Sang Ayah sedang duduk bersantai sambil membaca koran pagi ini, di balkon. Ayah melipat korannya lalu meletakkannya di meja bersebelahan dengan kopi dan sepiring pisang goreng. Dosen muda itu akhirnya ikut duduk sambil mendekap tatakan baki plastik. Mereka bercengkrama agak serius di balkon, pagi ini.

Cangkir dan lepek diangkat dan diseruput pelan-pelan oleh Ayah. Dinikmati betul kopi hitam itu oleh ayah. Seperti dinikmatinya alur kehidupannya yang mirip kopi. Pahit-pahit nikmat. Fatihah mengamati Ayah minum kopi.

"Kurang gula, Pak?" tanya Fatihah.

"Tidak, Pas! Nikmat, Nduk!" jawab Ayah. "Kita ini aneh, Nduk. Saat shalat minta petunjuk kepada Allah, tapi saat di jalan, di tempat kerja, di luar shalat kita malah tersesat. Melakukan hal-hal yang dibenci Allah. Contohnya, kita sering malah jadi orang munafik, berbuat kecurangan, jahat pada orang lain, dan lain-lain."

Ayah menghela nafas,

"Kita saat shalat rela mencium bumi, merendah serendah-rendahnya di hadapan Allah. Tak ada yang lebih tinggi selain Allah. Tak ada yang hina selain manusia. Itu di saat shalat, tapi di luar shalat sombongnya tidak terkira. Mestinya harus kompak antara shalat dan di luar shalat harus seirama. Selepas shalat lalu beramal shalih. Berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya ber-fastabikhul khairat. Berlaku lembut pada orang lain, menyejukkan, menenteramkan. Tidak sebaliknya.

"Saat puasa juga begitu. Badan puasa, semua sedang berpuasa. Tidak makan tidak minum, malamnya shalat lail dikerjakan sampai berkeringat. Tapi, hati dan mulutnya tak berpuasa. Masih beprasangka buruk pada orang lain, masih membicarakan kejelekan orang lain. Kok bisa ya begitu. Aneh 'kan kita ini?"

Fatihah hanya termangu. Bingung dia mau merespons apa. Maklum dia tinggal agak jauh dari orang tuanya. Meski hanya Surabaya-Sidoarjo. Hanya sepekan sekali dia pulang. Itu pun bila di kampus tidak ada kegiatan. Biasanya dia sibuk di kampus untuk mengalihkan hal-hal atau energi negative dalam hidupnya. Benar kata orang bijak, sibukkan kamu di jalan kebaikan makan kebaikkan akan menolongmu jika kamu sedang sibuk (ada masalah).

Karena jarang ketemu dengan Ayah bisa jadi apa yang dikatakan Ayah agak aneh. Jadi, untuk nasihat "kita aneh" ini dia perlu mengunyah dulu masak-masak baru kemudian memberi respons. Tapi rasanya nasihat sang Ayah tak butuh respons. Ia hanya butuh dijiwai dan diaplikasikan.

"Oiya Nduk, kamu sudah lama tidak main ke Uwak Imran kan?"

"Iya, Yah. Terakhir main saat Dik Fatimah sakit, itu kapan ya? Bulan November kemarin."

"Berarti nanti sore sebelum kamu balik ke Surabaya sempatkan mampir dulu ke rumah Uwak ya,"

"Inggih, Ayah!"

"Kamu harus tahu, beliau bukan hanya sekadar kakak bagi Ayah, beliau itu seperti orangtua Ayah. Sejak Atuk dan Omamu sedha, Uwak-lah yang jadi tumpuan kami. Dulu, meski masih SMA Uwak sudah bisa menghidupi kami. Dia mencari nafkah dengan membuka tambal ban di depan rumah kami dulu. Uang hasil usaha itu untuk kami makan. Dia yang menggatikan peran Atuk. Uwak itu orang yang gigih. Pekerja keras, lurus, dan bijaksana, Nduk. Ayah yakin kamu akan mendapat pencerahan darinya,"

"Inggih, Yah!"

Ayah menyeruput kopinya dalam-dalam, lalu kembali mengamit koran dan membuka lipatan dengan sangat hati-hati. Fatihah melihat tangan kokohnya mencengkram kertas koran itu dengan tak ragu. Kini koran itu di tangannya. Mata ayah melotot di satu kolom.

Fatihah dengan amat hati-hati berdiri dari kursinya lalu beranjak dan menuruni anak tangga. Sampai di dapur ia menaruh baki. Dosen muda ini tentu bertanya-tanya apa maksud nasihat Ayah tadi. Yang jelas itu sesuatu yang baik juga benar. Bijak! Memang manusia ini suka aneh. Rela mencium bumi, merendah serendah-rendahnya di hadapan Allah di saat shalat, tapi di luar shalat sombongnya tidak karu-karuan. Rela mengeluarkan triliunan harta bendanya namun ternyata itu hanya bagian dari ingin dapat pujian orang lain.

"Makanya kamu harus lebih mawas diri, Nduk." Ucap Ibu sambil tangannya repot memasak di dapur.

"Ibu nguping ya tadi?" Fatihah mengonfirmasi.

"Iya sedikit."

"Yeeeh... ngupingan ah, Ibu."

"Ora ya! Tapi maksud Ayah baik, Nak. Kamu harus konsisten. Bisa jadi kamu masih melajang sampe sekarang ya karena kamu nampak angkuh di mata teman-temanmu,"

"Aku tidak begitu, Ibu."

"Ah yang bener? Bahkan kita merasa baik saja, dan itu hanya terbesit di hati itu sudah angkuh namanya, Nak."

Ibu meletakkan apapun lalu menepuk pundak putri sulungnya itu lantas berlalu di belakangnya. Sementara Fatihah mematung.

Apa salahku Tuhan sehingga Engkau belum mengirimku seorang imam? []

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now