Lama, Nduk!

2.7K 99 0
                                    

Sabtu sore usai mengajar Fatihah bergegas pulang kampung. Meski hanya tetangga kota—Surabaya-Sidoarjo—Fatihah memilih nge-kost di Surabaya saja mumpung masih lajang. Dan biar efektif bila ada kegiatan di Kampus. Fatihah menikmati perjalannnya dengan menarik matic-nya pelan-pelan. Senyumnya di balik masker manis membentuk bulan sabit. Dia bersemangat pulang kali ini, entah karena apa, ada apa, dia pun nggak paham.

Fatihah kini pulang kampung perdana, dia menjalani hari-hari barunya sebagai orang mandiri karena tak lagi pulang-pergi Sidoarjo-Surabaya saat mengajar di kampus, seperti sebelumnya. Dia kini nge-kost di Surabaya pusat, di dekat Kebun Binatang. Harapannya agar dekat dengan kampus dan utamanya agar bisa terbebas dari jeratan pertanyaan maut: kapan nikah, Nak? oleh sanak family atau tetangga-tetangganya bila setiap hari berjumpa.

Pulang kali ini sungguh Fatihah senang. Baginya sampai di haribaan Ibu dan Ayahnya adalah kebahagiaan tiada tara. Walaupun soal jodoh masih belum nemu jalan. Seolah tertutup awan gelap. Dia enjoy saja. Hidup hanya sekali masak digunakan nelangsa hanya perkara nikah. Tidak ah! Rugi!

"...Jodoh memang tak pernah terlambat atau salah alamat. Ia selalu datang tepat pada waktunya dan tepat di tujuannya dengan indah tiada tara...."

Nasihat Ibu Minggu lalu itu terus mengiang di balik tempurung kepala Fatihah. Tapi masalahnya nasihat hanya sekadar jadi nasihat jika tak pernah ada ikhtiyar dan tindakan nyata. Dengerin nasihat lalu memperbanyak berdoa juga tidak bijak. Karena alurnya menurut Tuhan adalah berusaha, berdoa, dan berpasrah kepada Yang Maha Kuasa.

Fatihah sampai di rumah saat matahari sudah ditelan bumi di ufuk barat. Adzan Maghrib berkumandang dari TOA masjid perumahan. Bergegas Fatihah dan seisi rumah pergi ke masjid untuk menunaikan kewajiban suci. Di masjid mereka tersungkur di haribaan Kuasa Allah Ilahi Robbi, sang pemilik alam semesta. Malam Ahad mereka habiskan bertafakkur di masjid hingga selepas shalat Isya'. Sudah itu mereka pulang lalu makan malam dan selanjutnya acara bebas. Fatihah dan Ibu bercengkrama di halaman rumah.

"Berhubung biaya nikah mahal, maka aku nyatakan tak lagi ngebet nikah, Bu," kata Fatihah lantas mengkekeh.

Malam itu anak beranak ini bercengkerama di beranda rumah, sebagaimana biasa itulah kebiasaan sejak dulu kala. Ibu dan Fatihah suka sekali bernaung langit di temani cahaya rembulan yang teduh. Apalagi ditemani semilir angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut wajah anak beranak itu.

"Ngawur kamu. Nunggu setua apa lagi kamu? Hah? Nikah itu tugas dan kewajiban orang tua pada anaknya yang sudah cukup matang. Setelah membesarkan menyekolahkan, kini giliran menikahkan. Nunggu Ibu mau mati baru kamu mau nikah ya?"

"Eh... jangan ngomong begitu, baginda ratu. InsyaAllah segera lah. Akan kukumpulkan uang dulu, setidaknya untuk menyiapkan segala sesuatunya, Bu."

"Oh... kamu sudah kami persiapkan biayanya. Jangan khawatir! Pokoknya segera menikah. Ibu sudah pingin nimang cucu, Fatihah."

"Iya, Bu. Doakan."

"Sudah doa terus aku sama Ayahmu. Kamu yang serius mestinya. Takdir tak berubah sampai hambanya sendiri yang merubah, Nduk."

"Iya ibu, aku juga sudah bosan shalat tanpa Imam, Bu. Aku ingin segera menikah. Ingin segera menyempurnakan separoh agamaku, Bu."

"Iya Nak, Ibu sepakat. Tapi segeralah. Jangan neko-neko cari calon yang tinggi levelnya. Menurut Ibu yang penting calonmu Agamanya bagus dan keturunan orang baik-baik. Nggak usah cari yang kaya dan punya pendidikan tinggi, Nduk."

Fatihah merebahkan kepalanya di haribaan Ibunya. Ia melihat langit luas yang terang-teduh oleh sinar bulan malam ini.

"Mohon doakan Fat ya, Bu."

"Selalu, Nduk. Nggak usah diminta. Sudah kewajiban orang tua," Ibu mengelus rambut Fatihah. "Lelaki mana yang sekarang dekat denganmu, Nduk? Pacar mungkin?"

"Haha... aku nggak pacaran, Bu. Sejak putus sama Deny aku nggak dekat sama siapa-siapa lagi, Bu. Cukup sudah terlalu menaruh harapan pada laki-laki. Apalagi lelaki busuk dan iblis macam Deny, Bu!"

"Hust.. baik sangka kenapa, Nduk. Deny ya dulu kan pernah menjadi orang yang sangat sayang sama kamu?"

"Iya, Bu. Tapi kata itu rasanya sangat pantas buat dia sampai sekarang."

Fatihah langsung menumpahkan airmatanya. Ibu mengelus kepalanya dan terus menasihati Fatihah. Menguatkan hatinya.

"Sudahlah, fokuslah dulu di kerjaanmu ini, sambil ya terus ikhtiyar juga. Tapi jangan sibuk pacaran dulu. Jaga dirimu. Jangan melewati garis merahnya Allah. Dekatlah pada Allah. Allah yang akan mendekatkan jodohmu nanti. InsyaAllah. Shalatlah berjama'ah di masjid mungkin kamu ketemu jodohnya di masjid, Nduk. Memang baiknya tak usah pacaran. Tapi ya jangan menutup diri juga pada orang yang mungkin mau mengenalmu lebih jauh. Siapa tahu cocok."

"Cariin Ibu aja ya calonnya. Aku manut Ibu." Fatihah mengangkat kepalanya.

"Baiklah, kucarikan di depan Ka'bah." Ibu setengah bercanda. "Tapi kapan ke tanah sucinya? Heee..."

"Ya kalau ada rezeki, Bu."

"Lama, Nduk. Keburu mati Ibu. Wes talah, suami ibarat pakaian. Kamu cari sendiri yang pas, yang enak dipakai. Kalau ibu atau ayahmu yang nyari'in bisa jadi nanti kelonggaran atau kesempitan bajunya."

"Siap ibunda ratu." Fatihah membalas Ibu dengan nyengir.

"Kamu mesti berbaik hati pada banyak orang. Berempatilah, jujuralah, dan tangguhlah, itu modal utama menjadi manusia. Kalau kamu tak punya itu habislah kamu. Yang penting juga kamu hati-hati di pekerjaanmu. Tidak mungkin semua orang mau mencintai kita, namun kita masih bisa mencintai semua orang. Ikhtiyarlah terus ya, Sayang."

"Aku sudah baik Bu. Insyaallah pahalaku sudah banyak. Aamiin..."

"Hussstt.. manusia tak pantas menghitung pahala. Yang pantas adalah Allah azza wajalla. Manusia pantasnya berbuat baik sebanyak-banyaknya tanpa tolah-toleh pahala. Ngerti?"

Fatihah mencium pipi kiri Ibu lalu beranjak meninggalkan Ibu dan masuk ke kamar.

"Aku tidur duluan ya ibunda Ratu. He he..." teriak Fatihah sambil berlari ke dalam kamar.

"Iyo..." []

Surga Terakhir [tamat]Where stories live. Discover now