Sirna

198 22 4
                                    

Rasanya, semua ini seperti hanya ilusi semata. Mustahil. Ternyata, beberapa jam yang lalu adalah pertemuan terakhir ia dengan keluarganya.

Keluarganya kini tak bernyawa lagi dengan tumpahan darah di mana-mana. Bahkan, darah tersebut mewarnai boneka yang baru saja ia berikan kepada adiknya itu.

Paling tragisnya, Naura mendapati tubuh keluarganya tak lengkap lagi.

Ceceran darah hasil tumpahan dari tubuh keluarganya itu menghias benda-benda yang tak jauh dari jenazah mereka. Mulai dari sofa, meja, bahkan lantai yang tadinya bersih itu memerah akibat darah.

Terdapat banyak sayatan membekas. Papa,  mama, dan adiknya dibunuh oleh seseorang. Jenazah mama Naura memiliki luka dalam yang paling parah. Lehernya terdapat bekas seusai dicekik dan sebelah kaki beserta tangannya hilang entah ke mana. Dalam kondisi tak bernyawa, wanita paruh baya itu tampak memeluk anaknya. Melindunginya meski harus mempertaruhkan nyawa. Sungguh, kasih seorang ibu yang luar biasa.

"Kakak." Naura mendengar suara yang tak asing baginya. "Kakak," panggil orang yang sama lagi.

"Suara itu? ... Lala? Kamu di mana?" tanya Naura. Ia menjuruskan netra-nya ke segala penjuru arah.

"Kakak!" Pemilik suara itu menangis. Isakan tangisnya memecahkan keheningan berdarah tersebut.

"Lala!" seru Naura ketika ia telah menemukan sosok yang sedari tadi memanggilnya. Mengesot pada bercak cairan merah itu hingga pakainya juga terlumuri oleh darah.

Dengan segera Naura mengambil Lala dari pelukan almarhum ibunya. Hanya Lala yang selamat dengan luka ringan di tangannya. Sedikit sayatan cakaran di kaki dan meram di lengan kanannya. Dahi gadis kecil itu juga ikut berdarah akibat benturan keras.

"Kakak, Lala takut, Kak!" ungkap gadis kecil itu.

Lala melepas tangisnya dipelukan Naura. Lantas, Naura pun membalas pelukan Lala dan juga ikut menangis. Pecah! Isakan tangis mereka berdengung mengisi keheningan dan ketegangan yang sedang terjadi itu.

"Apa yang sebenarnya terjadi, La? Kenapa semua bisa begini?" tanya beruntun dari Naura. Ia memandang lekat sisa anggota keluarganya.

"Ada seseolang yang datang, Kak. Telus, dia ngasih minuman itu sama papa, mama, dan Lili," jelas Lala sembari menunjukkan sisa minuman jus jeruk yang tersaji indah di atas meja. "Lala tatut, Kak!" lanjutnya sambil memeluk erat kakaknya itu.

"Iya-iya. Kakak ada di sini tuk melindungi Lala. Sebaiknya kita segera pergi dari sini. Maafkan kami, Pa, Ma, Lili. Kami akan pergi ke kantor polisi tuk melaporkan kejadian ini." Naura mencoba bangkit dan ia berhasil meski terasa sulit. "Ayo, La," ajaknya sambil mengulurkan tangannya kepada adiknya itu. Lala pun meraih uluran tangan Naura.

"Aduh!" Lala terjatuh. Rasanya, luka yang terdapat pada kakinya itu menghalang pergerakan jalannya.

Namun, Naura tak habis pikir. Ia pun menggendong Lala di pundaknya. Rasanya ia tak sanggup. Namun, ia harus mengerahkan seluruh tenaganya agar mereka cepat-cepat keluar dari rumah tersebut.

'Mungkin saja pembunuh itu masih ada di sini,' batin Naura.

Napasnya terengah-engah. Sesak. Jantungnya terasa begitu sakit. Penyakit yang ia derita itu kambuh di saat yang tidak tepat.

"Argh, jangan sekarang, kumohon!" pinta Naura. Ia tetap berjalan. Terombang-ambing memikul tubuh lemah Lala. "Naura, kamu pasti bisa. Kamu harus bisa keluar dari rumah berdarah ini," ucapnya kepada dirinya sendiri sambil menahan rasa sakit di jantungnya itu. Rasanya seperti ditusuk oleh sebilah pisau. Sangat menyiksa.

Gadis berusia tujuh belas tahun itu mengidap sebuah penyakit yang mematikan. Namun, ia merahasiakan penyakit itu dari siapapun termasuk keluarganya sendiri. Naura tidak ingin keharmonisan keluarganya lenyap karena penyakit yang sedang menggerogoti tubuhnya secara perlahan. Ia selalu menahannya meski ... rasanya begitu menyakitkan.

"Aaa!" Naura mengekang kesakitan. Lantas, tubuhnya ambruk bersama Lala karena ia tak kuat lagi tuk menopang dirinya sendiri. "Jantungku!" jeritnya sambil menggenggam dadanya erat. Mencoba tuk menstaminalkan rasa sakit itu.

"Kakak kenapa?" tanya Lala dengan sisa bulir air mata di wajah mungilnya.

"Kakak gak apa-apa, La. Argh!" Rasa sakit itu semakin menggunung.

Ingin rasanya Naura berteriak sekeras mungkin tuk menyamai rasa sakit yang sedang ia bendung. Rasanya begitu menyakitkan hingga Naura semakin kuat menggenggam dadanya yang terasa sesak itu. Bahkan, air matanya kembali keluar. Bibirnya bergetar pucat.

Tak-tak-tak

Suara derah langkah seseorang berdengung melalui pendengaran Naura dan Lala. Sontak hal tersebut membuat Naura terkejut. Ia berpikir bahwa ada seseorang yang sedang berkelana di rumah tersebut. Siapa itu? Entahlah.

Netra Naura menjurus ke segala penjuru sudut ruangan tersebut. Tidak ada. Ia tak melihat siapapun manusia bernyawa di sana kecuali Lala dan dirinya sendiri. Namun, semakin lama suara langkah yang tadinya terdengar samar-samar itu menjadi sangat jelas terdengar. Si pemilik suara langkah kaki itu serasa tak jauh dari Naura dan Lala. Tapi, di mana dia?

"Kita harus segera pergi! Ayo, La," ajak Naura. Ia kembali menggendong Lala dan berlari kecil. Tangan kanannya sedari tadi tak lepas menggenggam dadanya yang sesak.

"Mustahil, pintunya dikunci! Padahal, tadi aku gak menguncinya," kata Naura saat ia telah tiba di ambang pintu utama.

Naura terus menarik-narik pintu tersebut. Panik. Seluruh ketakutan dan kepanikannya berkumpul memenuhi tubuhnya saat langkah kaki tersebut terdengar mulai melangkah cepat. Langkah sedang berlari.

"Oh, ayolah!" Naura menurunkan Lala dari gendongannya. Lalu, ia kembali menarik-narik pintu tersebut.

Netra gadis itu menjurus ke segala penjuru ruangan dengan keadaan tangan kanan yang sibuk merogoh saku celananya. Ia ingat kalau ia menyimpan kunci cadangan pintu tersebut.

"Ketemu!" serunya. Lalu, dengan cekatan ia membuka pintu berwarna putih tersebut.

Kebersihan warna putih dari pintu itu luntur dan tergantikan dengan bercak-bercak darah dari tangan Naura.

"Terbuka!" Naura tersenyum tipis saat ia berhasil membuka pintu tersebut.

Srett!

Derit pintu tersebut perlahan terbuka dan terlihat pula pemandangan luar beserta sesosok makhluk sedang berdiri di depan pintu tersebut. Namun, Naura tak melihatnya sebab ia terlebih dahulu memalingkan tubuhnya tuk menggendong adiknya---Lala.

"Ayo, Lala. Kita harus segera pergi dari sini." Naura menjongkok tuk menyamai dirinya dengan Lala. Lalu, ia mengulurkan kedua tangannya. Rasa sakit dari penyakitnya itu sudah mereda hingga tak tersa sakit lagi.

Lala menggeleng---menolak ajakan kakaknya. Ia melangkah perlahan ke belakang. Sesekali pula ia melihat sosok makhluk yang sedang menatapnya tajam. Gadis kecil itu sangat ketakutan.

"Jangan gitu dong. Kita harus pergi sekarang," ucap Naura. Ia membujuk Lala dengan sedikit rayuan manis.

Tetapi, gadis belia itu tetap menolak ajakan gadis yang sedang berjongkok di depannya dan ia semakin melangkah lebar ke belakang. Lebih menjauh dari kakaknya dan makhluk tersebut.

Sosok itu sangat menyeramkan. Tubuhnya sangat besar dan perutnya buncit. Mungkin, ia sudah memakan banyak manusia. Kuku-kuku hitamnya sangat panjang dan tajam. Benarkah itu makhluk gaib?

"Ka-kakak," panggil Lala pelan. Rasanya, bibirnya sangat sukar tuk digerakkan karena rasa takut yang telah merajai tubuhnya.

"Argh!" Naura mengekang. Jantungnya kembali menimbulkan rasa sakit ... meski tak sesakit tadi.

"Kakak," panggil Lala lagi. Kini, air mata mengucur deras membanjiri wajahnya.

Seperdetik kemudian, Lala memberanikan diri tuk mengangkat lengan kanannya ke arah makhluk tersebut. Ia menunjuk sosok itu dengan gemetar. Lantas, Naura pun bingung dibuatnya.

Deg!

Seketika jantung Naura berdetak sangat keras saat ia merasakan sesuatu di pundaknya. Seperti ... ada kuku seseorang sedang berjalan melingkar-lingkar di pundaknya.

Dengan perasaan sangat sakit, Naura mencoba memberanikan diri tuk berbalik kepala. Melihat siapa seseorang yang sedang di belakangnya.

Gadis Misterius (PROSES REVISI)Where stories live. Discover now