Misi B

62 6 1
                                    

Waktu terus berjalan dengan sendirinya hingga sang awan tak mampu lagi tuk membendung air hingga ia pun menjatuhkan air tersebut ke bumi. Membasahinya dan memberikan kenikmatan untuk setiap makhluk hidup. Segelayut gemuruh halilintar menambah suasana pagi itu.

"Naura, dah hujan. Kita balik ke kelas yuk. Lima menit lagi mau bel," ajak Tasya ketika ia selesai menghabiskan jajanannya.

"Kau duluan aja. Nanti aku menyusul," ucap Naura.

"Kenapa?"

"Aku mau jumpain seseorang dulu."

"Ooo ... baiklah." Tasya beringsut berdiri dari bangku yang ia duduki bersama Naura. Lalu, melangkah menuju kelas.

Tasya berpaling sambil melambai-lambaikan tangannya. Senyuman juga membingkai di wajah gadis berkaca mata itu. Lalu, Tasya kembali menoleh ke depan dan berlari kecil menuju kelas. Bel berdering membuat anak-anak di sekolah itu ikut berlari, berhamburan menuju kelas mereka. Sekilat, suasana halaman sekolah itu menjadi sepi.

Naura tetap duduk membisu di bangku yang ia duduki. Lalu, ia tersenyum kecil. "Tasya, seharusnya lambaian itu kau lakukan ketika nyawamu sudah berada di ujung tanduk," ucap Naura sambil beringsut berdiri.

Naura menoleh ke kanan dan ke kiri. Memastikan bahwa ia benar-benar telah sendiri. Berharap, tiada manusia yang tengah melihatnya lagi. Merasa keadaan telah aman, kemudian Naura menyelentikkan jemarinya. Seketika, jiwa seorang lelaki yang bernama Dio itu datang entah dari mana. Ia berdiri mematung di samping Naura.

"Kau. Kita lakukan rencana B," ucap Naura tanpa berpaling menatap lelaki itu.

"Baik." Dio menurut sembari menundukkan kepalanya empat puluh lima derajat. Lalu, ia menghilang begitu saja.

Naura kembali tersenyum. Senyumnya berbeda dengan senyuman yang ia lontarkan kepada Tasya. Melainkan, senyuman itu sangat sinis. Wajah pucat gadis itu menjadi tampak menyeramkan bersama kilat petir yang berlomba-lomba menggetarkan langit bumi.

"Naura, kenapa kamu masih ada di sini?" tanya seorang wanita hingga membuat lamunan Naura pecah.

"Eh, Bu Indah. Anu, aku kehilangan balpoinku di sini tadi," bohong Naura. Ia menjongkok, mencari balpoin yang sebenarnya tidak hilang itu. Ia melakukan hal tersebut agar bu Indah mempercayainya. "Nah, ketemu!" seru Naura. Ia memegang balpoinnya yang ia ambil dari saku roknya itu.

"Bagus. Kalau begitu, sekarang kamu kembali ke kelas, ya," ucap bu Indah sambil tersenyum kepada Naura. Naura membalas senyuman itu dengan anggukan. Lalu, melangkah menuju kelas.

***

"Baik anak-anak, sekarang kalian buka buku halaman seratus dua puluh tiga," titah Bu Indah kepada anak-anak kelas IPA-4 itu.

"Baik, Bu," ucap anak-anak kelas IPA-4 serentak.

"Karena cuacanya lagi hujan dan mengganggu saya tuk menjelaskan, jadi kalian saya perintahkan untuk meringkas materi saja," jelas Bu Indah. Lalu, beliau beringsut berdiri dan pergi tuk menjumpai kepala sekolah.

Setelah guru tersebut benar-benar pergi, anak-anak IPA-4 itu kebanyakan lebih memilih kemauan mereka ketimbang menjalankan tugas yang dititahkan oleh bu Indah. Cuaca yang sangat mendukung tuk memanjakan diri bermain bersama alam mimpi. Hanya beberapa saja dari mereka yang mengerjakan tugas tersebut dan hal itu dilakukan hanya untuk orang-orang tertentu. Siswa-siswi yang memiliki prestasi pastinya.

Sudah satu jam lebih lamanya bu Indah tak kunjung datang masuk ke kelas IPA-4 yang terdengar mulai berisik itu. Usai sudah terlelap dalam tidur mereka dan berlanjut ke kegiatan yang berkaitan dengan suara. Tak perduli mau suara apa pun itu hingga bel istirahat bergema dan air hujan berhenti menampar bumi. Air itu bersatu dengan tanah, pun segala sesuatu yang ia jatuhi.

Anak-anak di setiap kelas berhamburan keluar kelas bagai anak ayam yang kehialangan induk. Berseru bahagia, berlari ke sana kian ke mari. Memadati segala tempat di lingkungan sekolah itu.

"Itu si Tasya lagi bercanda apa benar-benar lupa ya sama kejadian kemarin?" tanya Evril saat ia beserta keempat temannya yang lain hendak ke kantin.

"Gak tau juga. Kayanya sih, dia benar-benar gak ingat," jawab Nandra.

"Satu lagi. Si Naura itu. Kok tiba-tiba banget dia bergaul sama orang. Biasanya, 'kan dia selalu menyendiri," sambung Escy.

"Semua itu gara-gara kalian. Coba saja kalian gak mengusikku saat mengikuti Naura dan Tasya, kurasa misteri ini sudah sedari tadi terpecahkan," ujar Aliando santai.

"Lah, kok jadi salahin kami, sih?" Andi mulai marah. Ia tak terima dengan ucapan Aliando.

"Sudah-sudah," ucap Nandra mencoba menenangkan Andi.

"Aduh!" ucap Evril setengah berteriak tatkala seorang lelaki tak sengaja menabraknya.

"Maaf-maaf," mohon lelaki yang menabrak Evril itu.

"Iya. Gak apa-apa, kok." Evril beringsut berdiri dengan bantuan uluran tangan lelaki itu. Lalu, ia membersihkan seragamnya yang kotor akibat debu.

"Hey, lo anak kelas IPA-3 ya?" tanya Andi kepada lelaki itu.

"Iya. Emang kenapa?" tanya balik lelaki itu. Nada pertanyaan dari lelaki itu datar. Dari situ, sudah terlihat sipatnya yang dingin.

"Jadi, lo pasti tau, kan sama anak yang bernama Dio?"

"Dio? Gue gak kenal sama tuh anak."

Andi tersentak halus. Ia tak percaya akan ucapan dari lelaki itu. "Yang benar saja. Bukannya dia itu anak kelas IPA-3?" tanya Andi lagi. Ia mencoba meyakinkan lelaki itu.

"Nggak. Di kelas IPA-3 mana ada yang namanya Dio."

"Huh ...." Andi menghela napas panjang. Ia mencoba menangkan diri, mengendalikan emosinya. "Oke-oke. Jadi, apa lo tau sama kejadian kemarin? Kejadian anak yang bernama Dio yang meninggal secara tragis di gudang," lanjut Andi. Ia mengepal kedua tangannya. Berharap lelaki itu mengatakan 'ya'.

"Meninggal? Kemarin? Kemarin mana ada orang yang meninggal di gudang. Lo jangan ngaco deh," ucap lelaki itu. "Cih, apa lagi yang meninggalnya secara tragis. Dasar aneh," gumam lelaki itu. Ia merasa Andi sedang bertanya-tanya sesuatu yang menurutnya mustahil.

Kekesalan dan emosi Andi tak dapat ia pendam lagi. Andi mengepal kedua tangannya erat. Lalu, menarik kerah baju lelaki itu. Ia menggenggamnya sangat erat.

"Lo yang ngaco!" ucap Andi setengah berteriak. Kepalanya dan kepala lelaki itu hanya berjarak sebesar bola pimpong.

Lelaki itu tak terlihat marah. Ia tersenyum kecut sambil melepas genggaman tangan Andi dari kerah bajunya. Lalu, lelaki itu merapikan kerah bajunya yang berantakan itu.

"Jadi cowok itu harus sabar. Jangan sampai emosi mengendalikanmu," ujar lelaki itu tanpa memalingkan pandangannya dari kerah bajunya itu.

"Apa lo bilang? Jangan sok menggurui deh!" seru Andi. Kemarahannya semakin memuncak.

Andi kembali menggenggam erat kerah baju lelaki itu. Matanya berapi-api atas kemurkaan. Sudah sangat lama Andi tak pernah semarah itu.

Plak!

Kemurkaan Andi mendaratkan sebuah tamparan hebat ke pipi lelaki itu hingga lelaki itu tersungkur. Lantas, sipat santai yang dimiliki lelaki itu berubah. Ia merasa kesal dengan perlakuan Andi, seorang cowok yang baru ia jumpai pagi itu. Pertengkaran antara mereka berdua pun terjadi hingga anak-anak lain yang tadinya hanya berlalu-lalang melewati mereka, kini singgah dan memadati tempat Andi dan lelaki itu berkelahi.

Hanya berkumpul. Namun, tiada yang bertindak memisahkan Andi dan lelaki itu hingga Nandra pun mulai merasa kesal.

"Berhenti!" seru Nandra sambil memisahkan kedua lelaki itu.

"Dia yang mulai duluan!" seru Andi.

"Lo yang mulai duluan!" balas lelaki itu tak mau kalah.

"Ehem." Seseorang berdehem dari belakang kerumunan. Sontak, semua yang ada di tempat itu langsung menjuruskan pandangan mereka ke arah suara. Suara itu ... seperti suara bu Indah.

Gadis Misterius (PROSES REVISI)Where stories live. Discover now