Bumi Perkemahan

41 4 0
                                    

Semenjak saat itu, kuntilanak itu tak pernah mengganggu hidup Andi lagi. Keberadaannya masih ada, tetapi ia hanya diam membisu dan mematung dari kejauhan. Namun, hal tersebut sama sekali tak dihiraukan Andi. Ia mengacuhkan keberadaan kuntilanak tersebut. Tampaknya, Andi masih memendam perasaan marah dan kesal kepada kuntilanak tersebut.

Malam itu, tepat malam jumat, Andi dan teman-temannya itu sedang sibuk mengemas pakaian yang hendak mereka bawa ke perkemahan besok. Tidak hanya pakaian, mereka juga tak lupa menyiapkan sembako untuk makan mereka di sana.

Tak memerlukan banyak waktu bagi mereka untuk mengemas semua itu. Pakaian telah tersusun rapi di dalam tas. Sementara sembako, sepatu dan pakaian pramuka beserta atribut pramuka yang hendak dipakai besok sengaja diletakkan tepat di samping tas mereka masing-masing. Besok adalah hari besar yang ditunggu-tunggu anak pramuka pada umumnya.

Malam berlalu dengan begitu tenang. Tiada siapa pun yang mengusik tidur mereka. Tidak dengan si kuntilanak dan tidak juga dengan suara teriakan menggelegar atau suara dengkuran berisik Andi. Hari baru pun menyapa.

Pagi-pagi sekali kelima sekawan itu sudah tiba di sekolah. Itu sebab titah dari pelatih pramuka mereka yang mengharuskan anggotanya tiba sebelum pukul tujuh pagi karena tepat pukul tujuh, mereka harus sudah berangkat dan pukul setengah delapan mereka harus sudah tiba di lokasi perkemahan.

Bus yang akan mengantar anggota pramuka SMA Bangsa Bakti ke bumi perkemahan telah tiba dan setia menunggu penumpangnya yang sedang berbaris di tengah lapangan sebelum berangkat. Doa dipanjatkan dan salam menyalam kepada Kepala Sekolah telah dilaksanankan.

Akhirnya, anggota pramuka itu pun bergotong royong membawa barang keperluan mereka di perkemahan ke bus. Regu perempuan membawa barang yang ringan, sementara regu laki-laki membawa barang yang cukup berat seperti gas, kompor gas, dua lebih galon air dan sebagainya.

"Bay-bay!" Para anggota pramuka melambaikan tangan mereka ke arah gerbang sekolah yang dipadati oleh murid-murid yang bukan anggota pramuka. Tersenyum tipis sebagai lambang perjuangan yang hendak dimulai.

"Gue masih mengawasi." Dalam posisi berdiri, Escy berbisik kepada Nandra dan Aliando yang sedang duduk di depan bangku bus yang ia duduki. Sekilas kedua netra Escy melirik ke arah Tasya dan Naura yang sedang duduk sebangku tak jauh di depan mereka.

"Mengawasi apa?" tanya Nandra. Ia mendekatkan telinganya ke mulut Escy untuk mendengar lebih jelas bisikan yang hendak disampaikan oleh Escy.

"Ngawasi Tasya sama Naura lah. Siapa lagi? Lihat, ya. Perkemahan ini ... kita harus waspada. Siap siaga! Siapa tau Naura melancarkan aksinya di perkemahan ini," jelas Escy. Lantas, perkataan Escy membuat kedua netra Nandra, Aliando dan Evril menoleh ke arah Naura dan Tasya.

Satu jam kemudian. Akhirnya anggota pramuka dari SMA Bangsa Bakti itu tiba di bumi perkemahan. Sudah cukup banyak gudep dari sekolah lain memadati tempat itu. Setelah bus diparkirkan, para anggota pramuka itu pun langsung keluar dari bus. Sejuk. Udara di perkemahan itu cukup menyegarkan suasana hati yang suntuk akibat gerahnya bus yang pengap itu.

"Masih gue awasi," gumam Escy. Namun, gumaman itu dapat ditangkap oleh pendengaran keempat teman karibnya itu.

Nandra, Aliando, Evril dan Andi hanya diam mendengar ucapan Escy. Kemudian, mereka membantu anggota pramuka yang lain membawa barang-barang ke lokasi tenda gudep sekolah mereka yang hendak mereka dirikan.

Setengah hari di awal perkemahan itu cukup melelahkan. Mengurus ini itu dan malamnya harus mengikuti LCTP bagi peserta yang mengikutinya.

Malam itu, malam tepat pukul sebelas malam Naura keluar dari tenda sendirian dengan alasan ingin buang air kecil. Awalnya, Tasya ingin menemaninya. Namun, Naura menolak dengan senyum di pipinya. Kemudian, raut wajahnya kembali menunjukkan ekspresi datar. Dingin.

Senyap. Naura berjalan semakin dalam ke hutan. Semakin jauh pula ia keluar dari area perkemahan. Naura terus berjalan diiringi suara burung hantu yang menambah kecekaman malam itu. Namun, ia tidak merasa takut sedikit pun. Ya ... mau takut terhadap apa? Hantu? Dia, 'kan hantu juga.

Naura berhenti di bawah pohon tertinggi di hutan itu. Diam mematung hingga Dio---seorang lelaki yang telah ia bunuh waktu itu. Meski kedatangan Dio tak menimbulkan sedikit pun suara, tetapi Naura mengetahui kedatangan Dio. Mungkin, aura Dio sudah cukup bagi Naura untuk mengetahui kedatangan Dio.

"Bagaimana?" tanya Naura datar tanpa mengalihkan pandangannya ke arah Dio yang tengah berdiri di belakangnya.

"Besok. Aku rasa ... besok adalah waktu yang cukup bagus," jawab Dio seakan ia mengetahui apa yang dimaksud Naura.

Naura mengangguk pelan sambil tersenyum. "Bagus. Selama aku melaksanakan tugasku, kau harus mengecoh Nandra dan teman-temannya itu agar mereka gak menggangu rencana kita lagi. Mereka itu sangat menyebalkan."

"Jika begitu, bagaimana jika setelah Tasya, baru giliran mereka. Atau ... salah satu dari mereka," saran Dio. Ia melangkah dua langkah mendekat ke Naura.

Naura membalikkan badannya. "Saran yang bagus." Naura kembali tersenyum sambil berjalan mengelilingi Dio.

"Naura, lo di mana?!" panggil seseorang. Sepertinya itu Tasya. Sontak, Naura merasa sedikit terkejut. Kemudian, ia pun memerintahkan Dio untuk segera pergi hingga akhirnya Naura menjawab panggilan dari Tasya.

"Kok lama kali baliknya?" tanya Tasya saat ia telah berjumpa dengan Naura yang sedang berdiri sendiri di bawah salah satu pohon di hutan tersebut. Senter yang Tasya bawa menerangi jalan mereka kembali ke tenda.

Gadis Misterius (PROSES REVISI)Where stories live. Discover now