Hari Terburuk

51 5 0
                                    

Pemilik kafe itu mengangguk. "Oke, tapi kalian harus membayar kerugian yang saya dapatkan akibat dari perbuatan kakakmu ini," ujar si pemilik kafe itu. Jari telunjuknya menunjuk ke arah meja dan bangku yang Andi duduki. Keadaan bangku dan meja itu sedikit rusak dan sangat berantakan.

"Tapi, aku gak punya uang," kata Andi.

"Saya gak mau tau. Pokonya kalian harus membayar kerusakan ini atau gak ... saya akan melaporkan kalian ke polisi," ancam si pemilik kafe itu tegas.

"Saya akan membayarnya. Mungkin, ini cukup melunasi kerugian yang anda peroleh," kata lelaki sepenghukuman Andi waktu itu. Ia pun memberikan beberapa lembar uang tunai.

Si pemilik kafe itu menerima pemberian lelaki sepenghukuman Andi. Lalu, ia menghitung jumlah uang yang lelaki muda itu berikan. Si pemilik kafe itu tersenyum. Ia merasa puas karena jumlah uang itu memperoleh jumlah yang lebih dari cukup. Lalu, pria bertubuh kekar itu mempersilahkan Andi, Angel dan lelaki sepenghukuman Andi pergi.

"Kau ini gimana sih? Malu-maluin tau gak?" geram Angel saat ia, Andi dan lelaki itu sudah berada beberapa meter dari kafe tersebut.

"Gue hanya kesal aja sama kuntilanak rese itu." Andi duduk di bangku yang tidak jauh darinya. Lelaki sepenghukumannya dan Angel ikut duduk di sampingnya. Angel duduk di samping kanan dan lelaki sepenghukuman Andi duduk samping kirinya.

Senyap. Hanya suara kendaraan yang tengah berlalu lalang itu yang menemani kebungkaman mereka. Angel menatap kendaraan yang sedang berlalu lalang. Ia masih merasa kesal. Sementara Andi sedang menutup kedua netranya yang menjurus ke langit dan lelaki sepenghukuman Andi itu---ia tampak sedang memikirkan sesuatu.

Lelaki itu melihat Angel sejenak. Lalu, kedua matanya ikut menatap jalanan yang dipenuhi oleh beragam jenis kendaraan itu.

"Lo bukan manusia, 'kan?" tanya Lelaki itu datar.

"Apa? Kau bertanya samaku?" tanya balik Angel. Ia terkejut akan pertanyaan yang dilontarkan lelaki yang tidak ia kenali itu.

"Iya," jawab lelaki itu singkat.

"Dari mana lo tau kalau Angel bukan manusia?" tanya Andi. Kedua matanya masih tetap tertutup.

"Hanya firasat. Kata orang, gue ini anak indigo sehingga gue bisa melihat orang yang sudah meninggal. Namun, entah mengapa gue merasa sangat terganggu dengan penglihatan ini. Dapat melihat apa yang gak bisa dilihat orang biasa adalah hal yang sangat menjengkelkan," ungkap lelaki itu.

"Lebih menjengkelkan selalu diganggu sama kuntilanak," kata Andi. Ia menegakkan kepalanya dan menatap lelaki itu sekilas.

"Emm ... kayanya aku mau pergi mengawasi Tasya deh. Bye!" Angel menghilang begitu saja.

"Cih, dasar anak gak tau sopan santun," gumam lelaki itu. Namun, gumaman itu dapat diterima oleh pendengaran Andi.

"Dia memang begitu. Jadi, maklumin aja," kata Andi santai.

"Aku dengar itu!" kata Angel setengah berteriak.

Angel kembali secara tiba-tiba. Merasa kesal akan ucapan yang dikatakan oleh Andi. Kemudian, Angel kembali pergi menghilang dengan ucapan salam sebelum kepergiannya yang kedua kali itu. Andi dan lelaki itu menjawab salam Angel setelah Angel pergi.

"Sudah hampir jam setengah malam. Sebaiknya lo pulang segera," ujar lelaki itu datar setelah ia melirik jam tangannya.

"Tapi ... gue gak punya uang. Mobil gue rusak di tengah jalan dan sisa uang yang gue punya, gue habiskan untuk menuju ke sini," ungkap Andi.

Lelaki itu menarik napas panjang. Kemudian, ia menghentikan sebuah taxi.

"Gue yang akan membayar biayanya. Sebaiknya lo pulang sekarang," pinta lelaki itu.

"Makasih banyak ... em--"

"Gian. Nama gue Gian." Lelaki yang bernama Gian itu menyela ucapan Andi. Seakan ia tahu apa yang ada dipikiran Andi.

"Gian? Nama yang bagus. Nama gue Andi." Andi tersenyum tipis. Lalu, ia menjulurkan tangannya tuk berjabat tangan ke Gian.

"Terima kasih. Sebaiknya lo jangan buang-buang waktu melakukan itu. Sopir taxi ini gak akan menunggu lo sampai fazar tiba." Gian melirik sekilas jabatan tangan Andi. Namun, hatinya merasa tidak ingin menerima jabatan tangan yang baginya sangat membuang-buang waktu itu. Meski hanya beberapa detik.

"Oh ... baiklah." Andi menarik kembali tangan tangannya yang sempat ia julurkan itu. "Pak Sopir, aku harap kau masih bisa menunggu beberapa detik lagi, 'kan?" Andi kembali tersenyum penuh harap.

"Baiklah. Asalkan jangan lama-lama," jawab sopir taxi tersebut.

Andi mengangguk sebagai bukti kalau ia menyetujui perkataan sopir taxi tersebut. Lalu ia tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

"Lo gak mau ikut pulang bareng gue?" tanya Andi kepada Gian.

"Tidak. Gue masih ada urusan lain," jawabnya datar.

"Baiklah, tapi sebelum gue pulang, bagaimana kalau kita berteman? Soalnya, belangan ini entah mengapa kita sering banget ketemu." Andi kembali mengulurkan tangannya. Ia berharap kalau Gian akan menerima uluran tangan Andi sebagai jabatan tangan antara dua teman baru itu.

"Teman? Gue gak butuh seorang teman," jawab Gian sambil menyilangkan kedua tangannya di bawah pundak.

"What? Yang benar saja?" Andi terbelalak kaget atas pengakuan Gian. "Selain keluarga dan cinta, bagaimana manusia bisa melangsungkan hidupnya?"

"Satu anggota keluarga sudah cukup buat gue. Cinta? Kata aneh apa itu?"

"Argh, oh ayolah, masa ia lo gak tau apa itu cinta? Asal lo tau ya, hidup tanpa cinta itu bagaikan hidup tanpa makan. Jika makanan membuat tubuh berkembang, maka dengan adanya cinta membuat rohani kita berkembang."

Teett!

Syara klakson taxi berbunyi.

"Mau naik apa enggak?" tanya sopir taxi itu. Ia sudah merasa mulai marah karena penumpangnya tak kunjung masuk juga. Sopir taxi itu kehabisan banyak waktu.

"Iya-iya. Gue naik sekarang." Andi langsung melangkah masuk ke taxi tersebut.

"Antarkan Andi ke tempat tinggalnya dan ini uangnya." Gian memberikan beberapa lembar uang tuani dan sopir taxi itu menerimanya dengan senang hati.

Kendaraan roda empat itu pun melaju seiring berjalannya waktu. Andi melambaikan tangannya ke arah Gian yang sama sekali tampak acuh tak acuh dengan dirinya.

***

"Kasihan banget si Andi," ujar Nandra ketika Angel selesai menceritakan kejadian yang dialami oleh Andi malam itu.

"Gue pulang," ujar Andi sambil mengetuk-ketuk pintu utama villa tersebut. Nandra, Aliando dan Angel yang mendengar itu langsung diam. Nandra dan Angel menggembungkan pipi mereka menahan tawa mengingat kejadian yang baru saja dialami Andi.

Angel pun langsung membuka pintu. Ia menahan tawa saat melihat keadaan Andi yang sangat kelelahan itu. Gaya jalannya seakan orang yang sedang mabuk. Pakaian dan rambut yang tadinya rapi, kini berantakan seperti anak gelandangan. Angel dan Nandra menahan tawa hingga akhirnya mereka memecahkan tawa itu tatkala Andi sudah pergi ke kamar. Aliando hanya memperhatikan Angel dan Nandra tanpa ekspresi.

Tawa mereka lenyap seketika saat mendengar seorang wanita sedang menangis. Suara tangisan itu terdengar dari pohon mangga rimbun yang tumbuh di samping villa tersebut.

"Siapa itu?" tanya Nandra.

"Gak tau. Kita cek yuk?" ajak Angel. Mereka bertiga pun menuju ke asal suara tangisan tersebut.

Gadis Misterius (PROSES REVISI)Where stories live. Discover now