Zombie?

57 4 1
                                    

Senyap, Gian mencoba menyapu air mata yang membanjiri pipinya itu, sementara Andi hanya menatapnya dalam diam. Andi mengerti akan kisah hidupnya yang kejam. Lalu, ia pun tersenyum sambil menunduk dan memandang gelang yang telah ia buat. Andi mengambil satu gelang itu dan ia pasang di pergelangan tangannya.

"Mau atau enggaknya kau menjadi sahabat atau teman aku, terimalah gelang pemberianku ini. Mau, 'kan, Gian?" Andi memasangkan gelang tersebut ke pergelangan tangan Gian.

Gian hanya terdiam dan membiarkan gelang tersebut terpasang di pergelangannya. Setelah selesai Andi memasangkan gelang tersebut, ia pun tersenyum. Kedua anak pramuka kesasar itu saling tersenyum.

Seperdetik kemudian, Gian dan Andi mendengar suara dari balik semak yang berada beberapa meter di depan mereka. Gian pun bangkit dari duduknya dan memeriksa sumber suara.

Gian berjalan perlahan hingga ia berhenti tepat di depan semak tersebut. Kemudian, Gian pun menyipitkan sebelah matanya dan mengintip dari sela-sela dedaunan semak tersebut.

Tiba-tiba, jantung Gian berdetak kencang. Ia menelan kasar ludahnya. Gemetaran, lalu ia pun berhenti mengintip. Tidak kuat rasanya ia melihat pemandangan yang sangat keji tersebut.

"Ada apa, Gi?" tanya Andi.

"E--enggak ada apa-apa, Kok," jawab Gian sambil melangkah menghampiri Andi yang telah berdiri.

Saat Andi ingin melihat apa yang dilihat Gian, Gian menolak dan berkata, "sebaiknya kita cari jalan pulang kembali ke perkemahan aja, yuk. Sudah hampir tengah malam dan mereka pasti khawatir tentang kita." Gian memegang kedua lengan Andi dari belakang dan menuntunnya berjalan berlawanan arah dari pemandangan yang baru ia lihat itu.

Gian tidak menyangka kejadian itu. Ia melihat Naura sedang melakukan tindakan keji ke Tasya yang sudah tidak bernyawa itu.

Gian sengaja membawa Andi agar Andi terpisah dari teman-temannya agar teman-teman Andi terkelabui. Namun, entah kenapa tiba-tiba Gian merasa bersalah akan perbuatannya yang mendukung Naura, tapi mau bagaimana lagi? Ia harus melakukan perintah dari Naura. Atau tidak, akhir hidupnya akan senasib dengan Tasya.

Terus berjalan tanpa arah, tetapi Gian tidak perduli akan hal itu. Yang terpenting baginya adalah cepat-cepat menjauh dari tempat tersebut.

Langit menjadi gelap, sang awan telah menutup rembulan malam yang menjadi lampu penerang bagi Gian dan Andi dan tak diduga keberadaan Andi dan Gian saat itu ada di kuburan.

"Bagaimana bisa kita ada di kuburan?"tanya Andi.

Merinding, bulu kuduk Andi seketika berdiri tegak ditambah angin malam berhembus menusuk kulit. Ketakutan pun memuncak.

"Kya, aku takut!" jerit Andi. Gian langsung menutup mulut Andi.

"Ssstt ... jangan berisik di kuburan, mana udah malam lagi," pinta Gian.

Tiba-tiba kedua anak laki-laki itu dikejutkan oleh sebuah tangan yang tiba-tiba menjulang ke atas dari dalam salah satu kuburan, disusul seluruh tubuhnya mulai keluar dari kuburan tersebut.

Tak lama kemudian, hal tersebut juga terjadi hampir di semua makan di tempat itu. Manusia-manusia itu berjalan ke arah Gian dan Andi.

"Aaaaa ... zombie!" jerit Andi. "Bukannya zombie hanya ada di film-film saja?"

"Mereka bukan zombie, mereka hanya roh lemah yang keluar dari kubur dan itu pasti perbuatan dari Naura dan Dio!" tebak Gian. Ia berdiri di depan Andi tuk melindunginya.

"Naura? Gila tuh anak."

"Hati-hati! Jangan sampai mereka mencakarmu. Atau tidak, kau akan--"

"Jadi zombie juga? Wah, ini hampir sama seperti yang di film-film. Hanya saja, zombie itu menggigit manusia jika ingin manusia itu menjadi sama seperti mereka."

"Jangan bercanda! Ini bukan film-film yang kau maksud itu! Kita-kita harus segera lari daro sini, atau tidak mereka akan meninggalkan luka goresan cakaran mereka dan kita terpingsan di sini sampai luka itu membusuk dan kita pasti akan mati!" jelas Gian. Pandangannya menyebar, memastikan bahwa tiada satu pun roh itu yang berjalan lebih dekat.

"What?! Hanya karena goresan kita bisa mati? Yang benar saja?" tanya Andi kaget.

Perlahan, roh-roh itu berjalan seperti zombie. Kepala mereka miring dan kedua tangan mereka terentang lemas, seakan ingin meraih dan menyentuh tubuh manusia yang di depan mereka.

"Kita-kita harus segera lari dari sini, tapi-tapi gimana? Gak ada jalan keluar bagi kita untuk lepas dari sini." Gian berpikir keras untuk mencari jalan keluar agar mereka dapat bebas. Namun, pikiran itu buntu. Ia tidak dapat berpikir lagi.

"Apakah aku akan mati? Jika ia, berarti tidak ada pilihan lain. Jika ini takdirku, aku akan menerimanya. Rian, Khaila, aku datang," gumam Gian pasrah.

"Awas!" seru Andi. Kemudian ia memeluk Gian dan melindungi dari cakaran salah satu roh itu. Cakaran itu pun membekas di lengan Andi. Andi mengekang kesakitan.

"Andi! Kenapa kau melakukan itu?" tanya Gian.

"Karena kita teman, 'kan?" Andi tersenyum menahan rasa sakit yang mulai menyebar di tubuhnya.

Cakaran itu terasa seperti racun. Satu goresan mampu menjalar hingga menghasilkan rasa sakit di seluruh tubuh terutama di kepala. Pusing, Andi ingin pingsan saat itu juga. Namun, ia memaksakan diri agar tidak jatuh pingsan.

"Andi, kenapa kau ... kenapa hal yang sama terulang kembali. Padahal, aku belum menjadikannya temanku." Kedua ujung mata Gian berkaca-kaca.

"Ayo, kita lari sekarang!" Tangan kanan Andi menggenggam tangan Gian dan sebelah tangannya memegang kepalanya. Andi menarik Gian hingga mereka hampir lepas dari kurungan para zombie yang ada di mana-mana itu.

Saat mereka hampir meninggalkan kuburan itu, salah satu roh itu menarik pergelangan tangan Gian. Andi pun langsung menendang roh tersebut hingga ia terhempas. Meski begitu, roh itu berhasil meninggalkan luka di kaki Andi. Gian pun juga terkena cakaran meski hanya sedikit.

Saat kesempatan telah menyapa, Andi pun kembali menarik Gian dan berlari meninggalkan kuburan itu secepat mungkin. Sangat menyiksa, beberapa bekas cakaran itu seakan menusuk-nusuk, tapi ia harus tetap berlari hingga keadaan mereka sudah aman.

Bruk!

Gian terjatuh.

"Aku lemah. Aku hanya menerima sedikit luka dan langsung gak berdaya seperti itu, sementara dirimu? Kau menerima banyak luka karena berusaha melindungiku. Namun, kau masih kuat menyeimbangkan kedua kakimu agar tidak ambruk. Aku memang manusia gak berguna," kata Gian.

"Jangan anggap dirimu enggak berguna! Jika kau sudah gak kuat lagi, kita akan berjalan. Aku akan menggopongmu." Andi pun langsung menggopong Gian. Mereka pun berjalan.

Beberapa kali Andi hampir kehilangan keseimbangannya. Namun, dalam masa kristis itu ia masih berusaha. Aman, roh-roh jahat itu tidak mengejar mereka lagi. Andi tersenyum lega pun terjatuh. Ia pingsan.

"Andi?" panggil Gian pelan. Tubuhnya juga terasa sangat sakit. Matanya terbuka sedikit. Gian mencoba meraih tangan Andi yang telah pingsan itu. Namun, ia tidak bisa.

"Ha, itu dia!" seru Nandra yang telah menemukan salah satu temannya yang hilang itu.

"Andi!" Nandra, Aliando dan Angel berlari menghampiri Andi dan Gian. Untuk teman perempuannya sudah terlebih dahulu kembali ke tenda dengan membawa Sharla.

"Ka-kalian." Samar-samar Gian melihat Nandra, Aliando dan Angel hingga akhirnya ia pun tak sadarkan diri.

Gadis Misterius (PROSES REVISI)Where stories live. Discover now