Dia yang sekarang telah tiada

180 17 1
                                    

"Aaaa!" Naura menjerit keras saat sosok mengerikan itu melancarkan sebuah aksi.

Sangat tragis. Sebuah darah kembali tertumpah mewarnai rumah tersebut.

"Kakak!" jerit Lala. Ketakutannya semakin menjadi-jadi.

Tapi, apalah guna jeritnya itu karena ia sudah sendiri. Kakaknya telah tiada di tangan makhluk tersebut. Gadis belia itu sangat ketakutan. Suasanya yang mencekam dan tragis harus ia jalani di masa itu juga.

Tapi, dugaan itu salah. kakaknya masih bernyawa meski hanya setengah nyawa. Tubuhnya yang bersimbah darah itu bergerak. Tangannya menyeret tubuhnya tuk mendekati Lala. Namun, makhluk tersebut menghalaunya. Terlihat jelas bahwa makhluk itu sangat marah karena Naura masih hidup.

"Larilah, La. Lari secepat mungkin. Kakak tahu penderitaanmu. Tapi, beginilah hidup. Tak selamanya akan indah dan tak selamanya pula akan adil. Dunia ini terlalu kejam untuk dirimu seorang. Maka, pergilah dan cari orang baik yang mau mengasuhmu," jerit Naura sebelum ia benar-benar dihabisi.

Lala menggeleng pelan. Ia tak tega melihat kakaknya dihancurkan oleh makhluk tersebut. Lantas, ia pun berdiri mematung. Kakinya gemeteran.

Cipratan darah kembali tertumpah hingga mengenai wajah Lala. Naura, kakaknya itu benar-benar sudah tiada---gadis cantik yang banyak dikagumi oleh orang banyak itu hanyalah tinggal nama.

Sekuat tenaga Lala melangkahkan kakinya tuk menjauh dari makhluk tersebut. Mematuhi perkataan terakhir dari kakaknya. Ia porak poranda. Berlari menjelajahi rumah tersebut. Netranya menjurus ke segala penjuru arah. Mencari tempat tuk bersembunyi.

Lala berlari hingga ia tiba di kamar orang tuanya. Ia menjinjit tuk meraih daun pintu dan segera mengunci rapat-rapat rumah tersebut---berharap makhluk mengerikan itu tak dapat masuk.

Bibirnya gemetar dan memucat---menyebar hingga ke seluruh tubuhnya. Lala memeluk kedua lututnya dan bersembunyi di sela-sela kolong antara lemari dan ranjang berwarna hitam putih catur tersebut. Keringat dingin tak henti-henti membanjiri wajah dinginnya melalui pelipis kepala.

"Papa ... mama ... kakak ... Lili, Lala takut," kata Lala pelan. Ia berusaha agar tiada yang mendengar suara panggilannya itu.

Seperdetik kemudian, suara langkah terdengar mendekat menuju kamar persembunyian Lala. Sontak, rasa takut Lala menggunung. Tubuh kecilnya tak mungkin bisa berlari cepat. Sangat cepat hingga makhluk itu tak dapat mengejarnya.

Suara derah langkah tersebut hilang atau berhenti saat sudah berada tepat di depan kamar tersebut. Lalu, tampak seseorang sedang mencoba membuka pintu kamar itu. Lantas, Lala pun semakin menyusutkan tubuh semampu yang ia bisa. Merapatkan seluruh tubuhnya dipersembunyiannya agar seorang yang sedang mencoba membuka pintu tersebut tak melihat dirinya. Karena ia tahu, bahwa mau tak mau pintu itu akan terbuka juga.

Kriet!

Pintu tersebut menderit terbuka. Terlihat bayangan besar sedang berdiri di ambang pintu tersebut. Lala menggerakkan sedikit tubuhnya. Mengintip di cela bolongan kecil tuk melihat siapa yang sedang berdiri di ambang pintu tersebut. Ternyata, makhluk itu!

Ia semakin mendekap, mencari sosok gadis kecil yang menjadi incarannya. Netra mengerikan dari makhluk itu menjurus ke segala penjuru arah. Melirik ke benda-benda maupun ke setiap sudut ruangan.

'Oh, Tuhan, tolong Lala,' Batin Lala. Ia menggigit jemarinya sendiri.

Langkah itu lagi. Ia menderap ke arah persembunyian Lala. Sontak, hal tersebut membuat jantungnya seakan ingin meledak. Jantung sebesar kepalan tangannya itu berdetak sangat cepat dan kuat.

Bayangannya semakin mendekat dan berhenti di balik lemari. Lala bergerak, memastikan diri agar tubuhnya tak terlihat dari balik lemari.

Tak lama setelah itu, iris mata hitam kecoklatan itu tertuju pada jendela di depannya. Lantas, ide tuk melarikan diri melintas di benaknya. Tapi, ia tak dapat melancarkan aksi pelariannya saat itu. Atau tidak, ia pasti akan tertangkap basah.

Lala mengulur waktu. Berharap ada kesempatan tuk keluar dari rumah mencekam tersebut.

'Kalau olang jelek itu melihat ke lain alah, aku langsung pelgi dali jendela itu dan segela melapolkan makhluk itu agal dia dipenjala,' batin Lala mantap. Ia memasang wajah geram. Tak sabar melihat makhluk itu tuk segera dipenjara sesuai aksara-nya.

"Kata mama, atu tak boleh tatut. Lala halus belani sebab Lala tak pelnah cendiri. Tuhan selalu ada belsamaku saat ini. Ia sedang duduk belsama denganku," gumam Lala. Ia mencoba mengindisikan suaranya sepelan mungkin.

Netra gadis kecil bijak itu menangkap sebuah benda kecil di sampingnya. Lantas, ide baru pun menyala dipikarannya. Lampu ide pun bercahaya. Lala berusaha meraih baru berukuran sebesar kelereng yang sedang menemaninya saat itu. Jarak antara Lala dengan benda mati keras itu berkisar kurang lebih satu meter.

Lala merasa sedikit kesulitan meraih batu tersebut. Tapi, ia tak menyerah dan terus meraihnya. Alhasil, usahanya berhasil. Lala tersenyum penuh kemenangan beserta jantungnya yang serasa tak berdetak kuat lagi. Mungkin, sudah menormal karena ia yakin kalau kematiannya belum menyapa.

Lala menggenggam erat batu tersebut. Matanya menutup sebelah dan yangj sebelahnya lagi sedang sibuk mengeker sasaran.

Plak!

Batu tersebut mendarat dan berhasil menimbulkan bunyi pada benda yang ia jatuhi. Sontak, makhluk tersebut berpaling dan berjalan menuju arah suara tersebut. Lebih tepatnya, benda yang ditajatuhi batu tersebut berada di luar kamar tersebut. Lala memang sangat pakar dalam bidang melempar.

Merasa kesempatan telah menghampiri, gadis tersebut segera berlari kecil menuju jendela tersebut. Ia menjinjit dan membuka jendela itu. Lantas, semilir angin malam berhembus. Rasanya sangat menusuk dan dingin hingga membuat tubuh Lala menggigil.

Tak!

Mata Lala melotot. Jantungnya kembali berdetak saat ia tak sengaja menjatuhkan vas bunga kecil yang menghiasi jendela tersebut. Tubuhnya gemetaran hingga sulit rasanya tuk naik ke jendela tersebut. Ditambah, jendela itu lebih tinggi darinya meski ia sudah memanjat di atas ranjang dan Menambahkan bantal sebagai penambah ketinggian tubuhnya.

Namun, Lala tetap berusaha. Ia harus dapat keluar dan selamat dari malam yang mencekam itu.

Tak-tik-tak.

Jarum jam terdengar jelas. Waktu menunjukkan pukul dua belas malam kurang.

"Aduh!" Lala terisak. Luka di kakinya tersayat lebih lebar. Ia terjatuh dan paku yang menancap di dinding di bawah jendela itu menggoreskan luka Lala lebih dalam lagi. Darah segar mengalir membasahi kakinya.

Sangat sakit. Ingin rasanya Lala menangis. Mengadu kepada Papa, Mama, Kak Naura, atau kepada Lili---saudari kembarnya seperti yang sering ia lakukan. Tapi, tidak untuk saat mencekam itu. Keluarganya telah dibantai. Ia tak punya siapapun lagi tuk mengadu.

Lala beringsut bangkit. Tapi, ia tak sanggup. Rasa sakit itu sangat menyiksa. Rasanya sangat nyeri dan mungkin saja tulang kakinya ikut digores oleh paku tersebut.

Sosok mengerikan makhluk itu kembali. Ia berdiri menatap lekat gadis buruannya. Ia merasa sangat gembira. Sontak, Lala pun semakin ketakutan. Sepertinya kematian Lala tak ingin menunda.

"Aaaa!" Lala menjerit sekuat mungkin menyamai rasa sakit yang tengah ia pendam.

Makhluk itu menangkap Lala.

Gadis Misterius (PROSES REVISI)Where stories live. Discover now