#9

73 12 4
                                    

Jam sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Lampu kamar Changbin masih menyala, menandakan kalau si pemilik kamar masih dalam keadaan sadar. Lelaki itu terlihat masih berkutat dengan bukunya.

Dia meletakkan pulpennya di atas buku dan meregangkan kedua tangannya seraya menatap ke luar jendela. Di seberang sana,  Yoon Areum terlihat tertidur di meja belajarnya. Kasihan, gadis itu pasti kelelahan sekali. Changbin bertanya-tanya apakah kaki gadis itu sudah baik-baik saja? Dia pasti kesulitan berjalan.

Changbin menyandarkan punggungnya dan mengamati Areum selama beberapa saat. Dia melipat kedua tangannya di depan dada.

Gadis itu masih belum bangun, sejak kapan dia tidur dengan posisi seperti itu? Punggungnya akan sakit. Entahlah, tidak ada yang bisa Changbin lakukan. Lelaki itu bisa mengamati dari kamarnya.

Perlahan bahu Areum bergerak. Gadis itu terbangun seraya memegang bahunya yang sepertinya terasa pegal. Changbin berkedip dua kali dan melanjutkan kegiatan menulisnya. Tepat ketika dia menulis, gadis di seberang sana menatap ke arahnya.

Tidak lama kemudian Areum beranjak dari meja belajarnya dan lampu kamar gadis itu dimatikan, diganti oleh lampu tidur.

Changbin mengangkat wajahnya dan melihat itu. Salah satu sudut bibirnya terangkat. Awalnya dia berpikir kalau Areum akan melanjutkan kegiatan belajarnya.

"Bagus. Kau harus tidur."

***

Bau masakan menyeruak begitu Changbin keluar dari kamar. Dia berjalan menuju dapur, di sana ibunya terlihat sedang menyiapkan sarapan. Sementara ayahnya terlihat sudah makan terlebih dulu.

"Bagaimana tidurmu?" tanya sang ayah ketika Changbin menarik kursi di depannya.

"Ya, cukup nyenyak. Setidaknya di sini tidak berisik."

Ayahnya tertawa pelan. Rumah lama mereka terletak di dekat stasiun, jadi tidak heran jika Changbin sering mengamuk di atas tempat tidurnya dengan kepala yang berada di bawah bantal.

"Kau selalu menyalakan lagu-lagu berisik saat tidur. Apa bedanya?" Sang ibu ikut menimpali seraya meletakkan semangkuk sup rumput laut yang masih panas ke hadapan putranya.

"Tentu saja beda. Itu adalah seni. Sementara bunyi-bunyi kereta itu hampir setiap hari membakar gendang telingaku." Changbin mengambil sendoknya dan memasukkan nasi ke dalam mulutnya.

Kedua orang tuanya tergelak. Apanya yang lucu?

"Jadi, kau lebih nyaman di sini karena tidak berisik, atau karena memiliki tetangga yang cantik?" Ibunya tertawa saat melihat putranya tersedak sup rumput laut buatannya.

"Ibu jangan bicara yang aneh-aneh." Changbin susah payah mengunyah makanannya. Lelaki itu lantas segera minum.

"Ah, maksudmu rumah yang di sebelah itu? Rumahnya selalu sepi. Ayah sempat berpikir kalau rumah itu kosong." Ayah Changbin berujar.

"Seorang gadis seumuran Changbin ada di sana. Orang tuanya selalu sibuk. Ibu sering melihatnya duduk sendirian di depan rumahnya. Dia pasti kesepian. Beberapa hari lalu Changbin membawanya ke sini karena kakinya terluka. Sepertinya orang tuanya bertengkar." Sang istri menjawab seraya menyabuni satu per satu peralatan masaknya.

"Benarkah? Kasihan sekali. Hei, Changbin. Kau harus bersikap baik padanya," ujar ayah Changbin.

Putranya hampir kembali tersedak. "Memangnya apa yang aku lakukan?" protes remaja itu. Dia merasa tidak pernah memperlakukan Areum dengan buruk.

Seusai sarapan, Changbin segera berpamitan ke sekolah. Udara terasa segar begitu dia keluar. Langkahnya sempat terhenti saat Areum berjalan melewati rumahnya. Ah, lihatlah. Gadis itu masih pincang. Kakinya pasti masih sakit.

"Bukankah seharusnya orang tua Areum mengantarnya ke sekolah?" gumam Changbin. Dia kembali melanjutkan langkahnya dan berjalan beberapa meter di belakang gadis itu.

Streetlight ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang