#13

60 12 0
                                    

Layar ponsel tidak kunjung menyala. Sudah hampir lima belas menit Areum menunggu dan dia tidak mendapat satu pun notifikasi. Dia mendengkus dan mencoba menelepon Jisung. Panggilannya beberapa kali tidak diangkat.

"Sebenarnya apa yang dia lakukan? Di sekolah bahkan dia selalu sibuk dengan teman-temannya," gumam Areum. Dia kembali menelepon Jisung dan panggilannya pun diangkat.

"Hm."

Kedua alis Areum bertaut. "Hanya 'hm'? Kau tidak berniat meminta maaf padaku?"

"Kenapa aku harus meminta maaf padamu?"

"Kau akhir-akhir ini sulit dihubungi. Kau juga selalu mengabaikanku saat di sekolah. Kau selalu sibuk dengan teman-temanmu. Kau ini sebenarnya kenapa?"

"Memangnya aku tidak boleh bersama teman-temanku?" Terdengar nada tidak suka di dalam kalimat Jisung.

"Bukan begitu. Tapi kau tidak biasanya begini. Kau jadi aneh."

"Aku tidak aneh. Hei, kau juga selalu ingin dihubungi setiap saat. Aku juga punya kesibukan."

"Kesibukan apa maksudmu? Kau hanya pergi nongkrong bersama teman-temanmu!" Nada bicara Areum semakin meninggi.

"Jangan membuatku marah. Kau selalu sibuk dengan buku-bukumu itu, 'kan? Kau sering menolak ajakanku dengan alasan harus belajar, belajar, dan belajar. Ah, iya. Kau kan murid kesayangan semua guru."

"Kenapa kau berkata begitu?"

Tawa Han Jisung terdengar pelan. "Sudahlah. Kau seharusnya belajar, jangan meneleponku. Ah, sial. Mood-ku jadi tidak bagus. Hyunjin-ah, ayo pergi ke tempat lain."

"Kau sedang bersama Hyunjin?"

"Ya. Kenapa? Kau cemburu padanya?"

Samar-samar Areum bisa mendengar tawa Hyunjin. Lelaki itu pasti mendengar percakapannya dengan Jisung. Areum membuang napasnya kasar.

"Kenapa sekarang kau jadi menyebalkan?!"

"Memangnya kau tidak?"

Areum seketika bungkam. Sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Jisung. Tangan Areum yang semula memegang ponsel itu perlahan jatuh ke atas pahanya. Dia menatap wallpaper ponselnya yang menunjukkan foto dirinya dan Jisung beberapa waktu lalu saat mereka pergi menonton.

Tangannya lalu bergerak mencari kontak teman-temannya. Panggilannya tersambung, namun tak kunjung diangkat. Bahkan ada beberapa nomornya yang tidak aktif. Areum mengayunkan ayunan yang didudukinya. Dia lantas menatap langit malam yang dihiasi banyak bintang. Suasana hatinya sedang tidak bagus, namun tidak ada satu orang pun yang bisa diajak bicara.

Areum lalu menatap rumah Changbin yang tampak sepi. Halaman rumahnya juga tampak kosong, hanya ada sebuah bola basket yang berada di bawah tiang ring. Biasanya Changbin menghabiskan waktunya di sana saat malam. Tapi kali ini lelaki itu tidak tampak di sana.

Areum menghela napas dan membuang pandangannya ke arah lain. Kedua kakinya terus bergerak menggerakkan ayunan.

***

Areum membuka jendela kamarnya dan tersenyum saat angin pagi yang segar menyapa permukaan kulitnya.

"Segar sekali," ucapnya. Pandangannya lalu bertumbuk dengan Changbin yang sepertinya juga tengah melakukan hal yang sama.

"Apa-apaan ini? Kenapa kau meniruku?" ucap Areum setengah berteriak.

Changbin tergelak mendengar itu. "Aku tidak menirumu, Nona!"

Keduanya tertawa. "Dasar peniru!" Areum menjulurkan lidahnya.

"Hei, hei. Kau terlalu percaya diri," protes Changbin.

"Seo Changbin-ssi, apa kau pagi ini ada rencana? Aku ingin pergi berolahraga. Kita bisa pergi bersama."

"Pagi ini aku harus pergi bersama ayah dan ibu. Maaf, ya. Kurasa lain kali."

Bibir Areum perlahan mencebik. Gadis itu tampak kecewa. Changbin yang melihat itu tertawa pelan.

"Jangan memasang tampang seperti itu. Kau jadi jelek!"

"Aku tidak jelek!" protes Areum.

Mereka berdua terus berbicara lewat jendela kamar masing-masing, bahkan sesekali berteriak. Suasana yang semula sepi perlahan ramai karena kedua remaja itu.

Streetlight ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora