Daniar si Apatis

163 63 5
                                    

Niar yang selama ini hidupnya sepi merasa hidup kembali setelah mendengar suara yang begitu amat ia rindukan.

"Ini aku," ucap suara dari seberang telepon. Niar sontak menjauhkan ponsel dari telinga, menatap layar ponselnya kembali. Ia mengerutkan dahi. Nomor baru yang tak ia kenal.

"Aura?" ucap Niar mendekatkan kembali ponselnya, suara Niar meragu. Ia takut jika nama itu bukan nama orang yang sangat ia rindukan beberapa tahun terakhir ini.

Hening. Sang penelpon tak kunjung menjawab. Membuat Niar sadar, mungkin suara perempuan itu bukan suara Aura Adiwarna, adiknya.

Niar tampak kecewa, menghembuskan napas panjang, Niar kembali bersuara, "Maaf, kamu bukan Aura, ya?"

Suara dari seberang terkekeh. "Ini aku, Kak. Lupa ya?" ucap suara perempuan itu lagi.

"Apa kabar? Aku kangen," imbuhnya terdengar manja.

Niar tersenyum lega. "Kamu baik-baik kan disana?" tanya Niar dengan senyum sendunya. Tak menjawab apa yang ditanya oleh Aura padanya.

Obrolan Niar dan juga adiknya sungguh membuat Niar merasa bahagia. Di sela Niar dan Aura berbincang via telepon. Beberapa kali Niar kembali menatap foto keluarganya. Keluarga yang dulu pernah membuat Niar merasa sempurna.

"Ulang tahun aku, kakak sama Ayah ke Yogyakarta, kan?" tanya Aura antusias membuat Niar terdiam beberapa saat. Beberapa hari lagi memang ulang tahun adiknya. Niar tak pernah lupa akan hal itu.

Tapi beberapa tahun belakangan ini kondisi keluarga Niar berbeda tak seperti dulu. Membuat Ayah dan Ibunya tak pernah saling sapa atau pun menanyakan kabar masing-masing.

Niar tampak berpikir. Ia tak mau membuat Aura sedih ataupun kecewa. "Gimana kalo liburan kamu kesini, nanti ada kado buat kamu," ucap Niar mencoba bernegosiasi.

"Enggak usah kado, kak. Cukup Ayah sama Kak Niar datang ke acara ulang tahun aku aja, aku udah seneng," ucap Aura dengan suara sendu. Membuat Niar bisa merasakan rasa kekecewaan adik semata wayangnya.

"Maaf," ucap Niar lirih. Matanya mulai berkaca-kaca.

◆◆◆

Senja sangat indah tiap harinya. Terasa hangat dan memesona bagi penikmatnya, terkecuali Niar.

Niar yang baru keluar dari swalayan mendudukkan dirinya di jajaran kursi yang tertata rapi di depan toko. Menunggu Putri yang katanya akan mengembalikan buku catatan fisika yang dipinjamnya.

Ia kembali melamun. Memikirkan ucapan Aura tadi siang lewat telepon. Menghembuskan napas pelan, Niar meraih minuman kotak yang baru saja ia beli.

Belum sempat Niar meminumnya. Minuman itu sudah pindah tangan. Membuat Niar terkejut, menatap sosok cowok yang baru saja menghampirinya.

"Makasih, lo baik deh," ucap cowok berseragam pramuka yang kini sudah duduk disebelahnya. Meneguk habis minuman berlabel buah apel milik Niar tanpa rasa bersalah.

"Lo!!" ucap Niar terkejut. Tak menyangka jika Lanang kini berada di sekitar area rumahnya, lagi.

"Lo ngapain duduk sendiri disini," kata Lanang melempar kotak minuman yang sudah kosong ke tong sampah yang tak jauh dari jangkauannya.

"Gak ada temen ya, lo?" ejek Lanang.

"Nunggu Putri," kata Niar lirih hampir berbisik.

"Buku catatan gue di dia," imbuhnya sambil menatap sosok dua perempuan yang berjalan di depan Niar yang tampak asik mengobrol hingga kedua perempuan yang Niar kira adik kakak itu saling melempar senyum.

Membuat Niar ikut tersenyum walau tipis. Mungkin orang lain tak akan tau jika Niar tersenyum. Tapi Lanang, cowok itu sedari tadi menatap raut muka Niar.

Lanang mengikuti arah pandang Niar. Ia ikut tersenyum melihat interaksi dua perempuan yang kini memasuki swalayan.

"Lo bisa senyum juga ternyata," celetuk Lanang membuat Niar menatap kearah Lanang dengan tampang datar seperi semula.

Lanang terkekeh. "Lo tau, gue kira lo gak bisa senyum. Jangankan senyum, lo itu cewek yang kadar senyumnya mahal banget menurut gue," suara Lanang membuat Niar diam seketika.
"Lo itu manis kalo senyum, jadi sering-sering senyum deh biar kadar senyum mahal lo itu luntur," tutur Lanang beranjak dari duduknya.

Belum sempat Lanang meninggalkan Niar yang masih duduk. Lanang kembali berkata, "Senyum gak harus dari bercandaan temen, dari hal sepele di lingkungan sekitar lo aja, lo udah bisa buat bulan sabit di sini." Lanang menunjuk sudut bibir Niar. Cowok tinggi dengan iris mata hitam yang suka memanggil namanya 'patung hidup' itu berkata sambil tersenyum. Senyum yang mampu membuat Niar menatapnya sejenak.

Niar yang mendapat perlakuan seperti itu segera menepis tangan Lanang pelan. Ia merasa kikuk, baru kali ini ia melakukan kontak fisik dengan cowok, selain Ayah atau sepupunya.

"Senyum gak harus dari bercandaan temen, dari hal sepele di lingkungan sekitar lo aja, lo udah bisa buat bulan sabit."
-LANANG BAKAL BAGUS

Hai semua ini cerita pertama aku. Aku harap kalian suka dengan jalan ceritanya. Kasih aku saran untuk membuat cerita ini lebih baik lagi kedepannya. Terima kasih yaa❤❤❤

Follow ig @nndanrstu untuk menjalin pertemanan.


05.08.'20

Daniar si ApatisDonde viven las historias. Descúbrelo ahora