Daniar si Apatis

76 22 1
                                    

Hujan turun dengan derasnya, membuat Lanang segera menggiring motornya untuk mencari tempat berteduh. Melihat ada warung kecil yang tutup, Lanang langsung membelokkan motornya. Jika ia tak membonceng Niar, pasti cowok itu akan menerjangnya. Masalahnya ia kini sedang membonceng cewek yang sedari tadi diam tak bersuara.

"Kita berhenti di sini dulu, ya," kata Lanang mematikan mesin motornya. Menoleh ke belakang untuk menatap wajah perempuan yang bibirnya terlihat pucat. Mungkin karena kedinginan, pikir Lanang.

Niar mengangguk. Ia tak banyak protes.

Keduanya kini mendudukkan diri di bangku panjang depan warung.

Sedari tadi Lanang melirik ke arah Niar. Perempuan itu berkali-kali menggosokkan kedua telapak tangan seolah menghangatkan.

"Pakai, jangan bandel. Gue tau lo kedinginan," kata Lanang melampirkan jaket varsity warna putih di bagian lengan dan di bagian dada berwarna biru pada bahu kecil cewek di sebelahnya.

Niar yang mendengar seruan Lanang hanya bisa mengeluh pasrah. Ia tak menolak karena benar apa kata cowok itu kalau dirinya sedang kedinginan. "Makasih," ujar Niar membenarkan jaket Lanang yang tersampir.

Keduanya kembali diam. Jujur rasanya mulut Lanang gatal ingin menanyakan sesuatu. Tapi, entahlah berkali-kali Lanang bungkam. Ia ragu.

Sungguh Niar yang tak ada niatan untuk membuka pembicaraan membuat Lanang menghela napas pelan.

"Kalo lo duduk sama Putri diem-dieman gini," kata Lanang membuka suara duluan.

"Emang mau ngomong apa?" balas Niar menatap sekilas Lanang.

"Ngomong apa gitu, biar gak canggung," kata Lanang memancing obrolan.

Lanang memang pandai membuat orang sekitar membuka suara. Niar? Tentu membuat Lanang mencari peruntungan siapa tau cewek itu bisa bicara banyak tanpa harus berdiam-diaman seperti ini.

"Gue bingung mau ngomong apa," kata Niar.

Cara gue berhasil ternyata, batin Lanang tersenyum.

"Gue liat lo deket banget sama Zilo?" ucap Lanang memancing. Menatap wajah Niar yang terlihat memicingkan sebelah matanya.

"Enggak!" tukas Niar cepat.

Sungguh menyebut nama Zilo, membuat Niar kembali teringat ucapan Putri waktu di tepi lapangan.

"Nambah satu temen gimana rasanya?" tanya Lanang lagi.

"Nggak gimana-gimana. Biasa aja."

"Perbanyak pertemanan, biar lo lebih bebas. Gak melulu itu mulu temen lo," kata Lanang memberi saran. Tak bisa dipungkiri jika Niar memang hanya punya satu teman. Tak seperi Lanang yang memiliki banyak kenalan.

"Gue cari teman itu yang nyaman bukan karena mereka yang tenar," kata Niar. "Lagian buat apa banyak temen kalo yang nyaman aja cuman beberapa orang," lanjutnya lagi.

Lanang yang mendengar penuturan Niar tersenyum. Tak mengira jika perempuan yang duduk di sebelahnya kini mencari teman hanya karena rasa nyaman. Berbeda dengan teman-teman lainnya. Menjalin pertemanan karena mereka tenar, karena mereka orang terpandang, atau karena mereka yang most wanted sekolah.

"Kalo Zilo?" tanya Lanang penasaran.

"Kenapa?" tanya balik Niar.

"Penasaran aja. Siapa tau dia bisa buat lo nyaman," kata Lanang kembali menatap iris mata Niar yang begitu indah untuk diabaikan.

◆◆◆

"Gue liat-liat lo akhir ini deket banget sama Niar," kata Panjul membuyarkan lamunan Lanang.

"Raganya disini, tapi pikirannya gak tau dah kemana," imbuh Juki ikut mengomentari.

Bisma yang baru masuk kelas langsung duduk di sebelah Lanang. Cowok tinggi dengan badan lebih berisi dari ketiga temannya iti menoleh menatap Lanang dengan pandangan curiga.

"Lo gak lagi coba deketin Niar, kan," ungkap Bisma yang membuat mata Panjul dan Juki melotot mendengarnya.

Panjul yang tukang heboh pun menggoyang-goyangkan bahu Lanang dengan keras. Seolah menyadarkan Lanang.

"Lo beneran, Nang! Lo gak lagi halu kan!" seruan itu datang dari Juki. Cowok dengan kulit eksotis khas Indonesia itu pun geleng-geleng kepala.

"Sadar, Nang! Sadar! Emang Niar mau sama lo" katanya lagi dengan nada yang meledek.

Lanang yang merasa risih karena goncangan Panjul di bahunya menatap horor. "Maksud lo?" tanya Lanang bingung dengan ucapan Juki.

"Cewek yang tiap ketemu selalu lo panggil patung hidup emang gak marah sama lo?" suara itu datang dari Bisma. Dari ketiga sahabatnya. Bisma lah yang tau keadaan. Dimana ia bisa menjadi lebih bijak dan pengertian ketimbang dua sahabat yang lainnya.

Ada kalanya Bisma bisa bersikap jahil, ada kalanya ia bisa bersikap dewasa seperti sekarang ini.

"Gue udah minta maaf sama dia, dia juga udah maafin gue," jawab Lanang dengan raut muka senang. Tentu saja senang. Karena dengan permintaan maafnya, Lanang bisa menjadi sahabat Niar. Sahabat yang nyaman mungkin.

"Aku cari teman itu yang nyaman bukan karena mereka yang tenar."
-DANIAR CAHAYA MUKA

Hai semua ini cerita pertama aku. Aku harap kalian suka dengan jalan ceritanya. Kasih aku saran untuk membuat cerita ini lebih baik lagi kedepannya. Terima kasih yaa❤❤❤

Follow ig @nndanrstu untuk menjalin pertemanan.


22.08.'20


Daniar si ApatisWhere stories live. Discover now