Daniar si Apatis

91 25 0
                                    

Bel pulang sekolah sudah berdering 30 menit lalu. Cowok berpawakan tinggi dengan surai hitam legam itu berdiri di rooftop sekolah. Sesuai ucapannya pada Niar. Ia menunggu kedatangan gadis itu untuk menemuinya. Gadis yang mampu membuat Lanang rindu akan suaranya.

Tak lama kemudian, Niar datang. Berjalan mendekat ke arah Lanang yang tengah mendengarkan musik lewat earphone putih yang dikenakannya.

"Mau ngomong apa?" ucap Niar langsung tanpa berbasa-basi. Ia takut jika Ayahnya sudah menunggu meski ia baru saja mengirim pesan untuk minta jemput.

"Lo bisa enggak santai dulu. Buru-buru amat," kata Lanang melepas earphonenya. Menurunkannya sampai leher.

Niar menghembuskan napas pelan. "Mau ngomong apa?" ucapnya menghiraukan ucapan Lanang sebelumnya.

"Gue mau minta maaf sama lo, gue sadar gue keterlaluan panggil lo 'patung hidup'. Gak seharusnya gue bersikap kayak gitu ke lo," kata Lanang tulus. Sorot matanya menatap manik mata Niar dengan perasaan yang sulit untuk di jelaskan.

"Gue nyesel. Lo bisa gampar atau pukul gue kalo mau," ucapnya lagi terdengar bersungguh-sungguh.

"Buat apa gue gampar lo. Gue gak sejahat yang lo kira."

Kata-kata Niar mampu membuat Lanang terdiam sebentar. Benar kata Putri, ini cewek gak pernah marah sama gue, batin Lanang memandang cewek yang masih berdiri di depannya.

"Jadi lo maafin gue," kata Lanang ingin memastikan lagi. Niar mengangguk pelan. Sungguh selama ini apa yang Lanang nilai tentang Niar salah besar.

Niar bukan sosok sombong, hanya saja ia memang susah untuk membuka topik duluan jika diajak bicara temannya. Itulah yang membuat Lanang mengira ia sombong, tak mau menyapa ataupun tersenyum.

"Iya gue maafin. Udah kan, gue mau pulang," ucap Niar menerima permintaan maaf Lanang.

Niar yang berjalan mendekati tangga untuk turun berhenti ketika cowok itu memanggilnya.

"Niar! Lo pulang naik apa?" tanyanya berjalan mendekati Niar.

"Di jemput Ayah," balas Niar. "Gue duluan ya," pamitnya lagi.

Rasanya dada Lanang berdetak tak karuan. Untuk pertama kalinya ia berbicara dengan Niar cukup lama dan santai. Tak seperti biasanya.

Refleks Lanang memegang dada bidangnya. Tersenyum mengingat perbincangan dirinya dengan Niar si apatis SMA Analog.

Gue kayaknya harus cek jantung, batin Lanang memegang dada sebelah kirinya sambil senyum-senyum.

◆◆◆

Lusa adalah hari penting bagi Aura, adik Niar yang tinggal di Yogyakarta.

Sungguh dalam hati Niar ingin sekali datang di acara ulang tahun Aura.

Sedari tadi ia ingin berbicara pada Ayahnya. Namun ia urungkan melihat Hermawan terlihat sibuk dengan setumpuk kertas dan laptop di depan meja di ruang kerjanya. Sesekali Hermawan  terlihat menyandarkan tubuhnya di kursi yang ia tempati. Sekedar mengistirahatkan diri.

Melihat sekilas bayangan Niar di depan pintu, Hermawan tersenyum. Tau betul jika ada hal yang ingin disampaikan oleh putri sulungnya.

"Kenapa gak masuk," ucap Hermawan berjalan mendekati pintu, menatap Niar yang masih berdiri dengan kaku.

"Ayah sibuk jadi Niar gak mau ganggu."

Mendengar ucapan Niar, Hermawan tersenyum. "Kamu gak ganggu Ayah. Ada apa?" tanya Hermawan membimbing Niar untuk masuk ruang kerjanya.

Melihat Hermawan sudah duduk di kursi kerjanya. Niar terdiam sejenak. Memilah kata yang tepat untuk mengutarakan keinginannya.

"Lusa ulang tahun Aura," ucap Niar pelan. Menatap wajah Ayahnya yang masih setia diam mendengarkan.

"Aura pengin Niar sama Ayah datang ke acara ulang tahunnya," lanjut Niar.

Hermawan terdiam, sejujurnya Hermawan ingat betul tanggal lahir Aura. Meski bukan darah dagingnya, Hermawan menyayanginya seperti ia menyayangi Niar. Tak ada perbedaan diantara keduanya. Hanya saja- Hermawan tak bisa melupakan kelakuan Marina, ibu Niar dan Aura.

Melihat Hermawan melamun, membuat Niar melangkah mendekati Ayahnya. Memeluk Ayahnya dari samping.

"Kalo Ayah gak bisa, Niar bisa bilang sama Aura," ucap Niar memahami.

Niar tau jelas jika Ayahnya pria sibuk. Besok saja Hermawan sudah berangkat ke luar kota untuk urusan bisnis.

"Ayah minta maaf," kata Hermawan dengan nada menyesal. Sungguh Hermawan ingin sekali datang di acara ulang tahun Aura. Ia juga rindu anak bungsunya. Rindu sikap manja yang mampu membuat isi rumah tertawa dengan tingkahnya.

"Disakiti seperti apapun seorang Ayah masih menyanyangi putri-putrinya. Dia tak pandai mengungkapkan bahagia, tapi dia pandai menyembunyikan segala luka."
-DANIAR CAHAYA MUKA

Hai semua ini cerita pertama aku. Aku harap kalian suka dengan jalan ceritanya. Kasih aku saran untuk membuat cerita ini lebih baik lagi kedepannya. Terima kasih yaa❤❤❤

Follow ig @nndanrstu untuk menjalin pertemanan.


17.08.'20


Daniar si ApatisWhere stories live. Discover now