Prolog

5.9K 390 6
                                    

Malam telah menyelimuti langit di atas istana saat seorang pria berjubah hitam dan topeng hitamnya bertarung dengan para pasukan ahli pedang. Di balik tudung jubahnya, mata yang hitam dari balik topeng berpendar suram menyapu puluhan orang yang bernafsu menyerang.

Lengan pria itu telah tergores dengan tajamnya logam mengilat hingga darahnya menetes, namun tak ada ekspresi kesakitan di wajahnya. Walaupun dia menyerang dengan gesit, gerakannya cukup anggun dan teratur. Dia berhasil memukul mundur berpuluh-puluh pasukan seolah-olah mereka hanya semut kecil yang lemah dan rapuh.

Ketika salah satu prajurit menghunus pedang, dia membalas dengan tongkat kayu. Tiba-tiba, dua pria melompatinya dari titik buta. Melalui angin, dia membaca gerakan itu dalam beberapa detik sebelum berbelok ke samping dan melompat tinggi. Menyebabkan lawannya berakhir dengan patah lengan dan dada yang memar saat dia turun dan menyerang organ vital mereka.

"Pasukan rendahan," desisnya.

Karena itu, tidak ada yang berani mendekatinya, tapi di kejauhan tiba-tiba sebuah suara berteriak, "Kau tidak bisa lari lagi!"

Dari atap istana, anak panah ditembakkan ke arahnya. Dia tidak bisa melihat pergerakan anak panah. Berpikir lebih cepat, dia menarik penyerangnya sebagai perisai hidup dan lolos begitu saja. Tapi sekali lagi, dia kesal ketika pria lain mendatanginya dengan pedang dan tombak.

Oh.

Ada berapa banyak?

Sepuluh?! Dua puluh? Atau lebih dari itu一yah, tidak peduli berapa banyak jumlah mereka, tidak butuh waktu lama baginya untuk membuat mereka terluka parah. Dia seharusnya tidak pesimis.

Pengurangan pasukan yang drastis membuat mereka lebih waspada. Tidak ada lagi serangan mendadak dan kecerobohan, mereka mundur untuk meningkatkan kesadaran. Kemudian, seperti yang dia duga, prajurit yang lebih waspada mengelilinginya seperti tembok tinggi mengelilingi desa ini.

Itu membuat darahnya mendidih.

Ketika tiba-tiba bayangan dari samping menerjang, lelaki itu masih bisa membaca gerakannya dan berhasil menghindarinya. Pasukan lain masih menyerangnya; satu per satu, bergiliran. Dia memblokir mereka terus-menerus, melompat menjauh, mengambil pedang curian dan menyerang poin vital lawannya.

Dia benar-benar pria yang tangguh.

Tapi apa pun yang terjadi bukanlah saatnya untuk berbangga diri sebab serangan-serangan itu harus ditangkis. Dia tidak ingin misinya gagal atau semuanya akan sia-sia. Bahkan ketika pedang hampir memotong lehernya, pria itu berhasil menahannya dengan tongkat. Saat serangan lain datang dari belakang, lagi-lagi dia segera menangkap lawannya hingga pedangnya meleset, mengenai sasaran yang salah.

Bagus, hanya tersisa lima orang.

Pria itu hendak menyerang ketika tiba-tiba penglihatannya kabur. Dia hampir mengira dia akan pingsan ketika tubuhnya terhuyung mundur. Benar juga, itu pasti efek luka di lengannya. Para prajurit itu akan siap untuk perang kapan pun. Pedang itu pasti telah dibubuhi racun dan salah satunya mengenai lengannya.

Menyaksikan buronannya tidak fokus, itu adalah kesempatan bagi salah satu prajurit di depannya.

"Mati kau, keparat!"

Sebelum dia bisa menjawab, matanya melebar saat dia merasakan sesuatu yang tajam menusuk perutnya. Napasnya tercekat di tenggorokan dan matanya melebar karena terkejut begitu menyadari bahwa bajingan itu baru saja menikamnya.

Pisau telah ditarik keluar dan dia melihat darah tumpah dari lukanya dan merembes pada jubahnya. Kejadian itu membuatnya sedikit bingung sampai dia merasakan rasa sakit yang membutakan inderanya secara tiba-tiba.

Perlahan, kepalanya mendongak lagi dan melihat penyerangnya menyeringai jahat di depannya. Sebelum kekuatannya habis, dia menendang si penyerang dan menyabetkan pedang ke kepala pria itu tanpa ekspresi. Dengan segera kepala prajurit itu berguling-guling di tanah seperti bola.

Tanah yang kering dengan cepat menjadi lautan darah sejauh yang bisa dia lihat. Pada saat yang sama lukanya mulai terasa menyengat dan tangannya menekan luka itu lembut. Dengan segera, seluruh pemandangan di depannya penuh dengan kabut dan dia merasa hampir kehilangan kesadaran. Dia mencoba untuk melawan rasa sakit itu, menyebabkan mual hebat secara bertahap.

Sial. Dia tidak bisa pingsan di sini!

Dia segera pergi sebelum ada pasukan lain yang menyadari keberadaannya. Pandangannya semakin buram. Pusing. Dahinya berkilau karena keringat dingin. Dia tak menyangka betapa sakitnya itu; tangannya gemetar. Semakin dia berjalan, pusing di kepalanya secara bertahap menjadi lebih berat, mungkin karena dia kehilangan banyak darah.

Dia bersandar pada pohon terdekat sambil menatap hampa darahnya yang menetes ke tanah, lalu menyeret langkahnya menuju aliran sungai yang deras. Tanpa membuang waktu, dia mengambil banyak air untuk membasuh diri.

Dia merintih saat lukanya bersentuhan dengan air. Sakitnya begitu luar biasa, sehingga jiwanya akan terbang jauh. Seperti seseorang telah memasukkan bara api ke dalam perutnya, itu panas dan terbakar.

Karena pandangannya semakin berkunang-kunang, dia segera melepas topeng dan jubahnya, menyisakan kaus hitam yang basah kuyup pada bagian perut dan lengan. Mengikuti insting, dia cepat-cepat menjauh dari sungai tersebut dan masuk ke dalam hutan. Dia harus melewati Jalan Utama jika ingin pergi ke menjauhi hutan tersebut. Untungnya tidak ada tanda-tanda pengejaran.

Sesegera mungkin dia harus tiba di rumah sebelum mati konyol di hutan. Dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika harus mati di hutan ini. Dia harus bertemu dengan sang kakak yang sudah menunggunya untuk diselamatkan一bagaimanapun caranya.

"Kakak."

[]

BLACK MASK [Dalam Revisi]Where stories live. Discover now