12. Red Hair and a Tattoo on the Forehead

816 119 8
                                    

"Kenapa kau tidak mengerahkan pasukan? Kita harus menyelamatkan Lavi!" Arsen menggebrak meja kerja ayahnya dengan kuat, membuat pria paruh baya itu akhirnya mengalihkan atensi.

Sudah dua jam berlalu sejak insiden di istana Bathara. Berita dengan cepat tersebar ke seluruh wilayah klan dan beberapa prajurit bantuan sudah berdatangan memberi pertolongan meskipun semuanya telah terlambat. Untunglah tidak banyak yang terluka dalam penyerangan ini.

Arsen mengerti bahwa keputusan tidak bisa diambil seenaknya tanpa memikirkan risiko. Tapi dia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi, sejak buronan itu membawa Lavi sebagai sandera mereka.

Keduanya saling bertatapan dari jarak dua meter, tanpa ada yang bicara. Davion akhirnya menjawab, "Kita tidak akan menyelamatkan siapa pun."

Arsen mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?"

Ruangan kerja khusus itu sangat hening di malam hari. Suara jangkrik terdengar di kejauhan, mungkin di sekitar taman berbunga di balik ruangan ini.

Arsen mengulang pertanyaannya dengan serius, "Apa maksudmu dengan tidak menyelamatkan siapa pun? Apakah Lavi tidak ada harganya di matamu?"

Davion, "............"

"Baiklah!" Arsen mengangkat tangan menyerah. "Aku yang akan menyelamatkan Lavi."

Davion masih tidak menjawab, dalam hatinya dia membiarkan Arsen melakukan apa pun yang dikehendakinya. Yang pasti dia tidak mungkin membebaskan puluhan tahanan demi satu orang saja. Meski satu orang itu yang terpenting sekalipun, keselamatan desa lebih berharga. Pasti ada cara lain yang bisa digunakannya untuk menyelamatkan Lavi, dan Davion sedang mencari cara lain tersebut. Menyelamatkan Lavi dan mempertahankan para tahanan, dia harus bisa melakukan keduanya.

Arsen mengerang kesal saat sang ayah sama sekali tidak mencegahnya. Dia berbalik menatap ayahnya tajam.

"Sejak dulu kau tidak pernah berubah, kau tidak akan peduli pada orang-orang di sekitarmu, 'kan? Bagaimana aku bisa melupakan ini? Jika menjadi penguasa pulau ini berarti membuang perasaanmu, maka aku bersyukur tidak menjadi sepertimu, Ayah." Arsen menekankan kalimat terakhirnya dengan gigi menggertak. "Aku tidak menyesal karena menolak usulanmu untuk menjadi penguasa pulau primitif ini. Aku tidak mau jika aku harus menjadi seperti dirimu."

Kalimat itu menyentuh bagian terdalam pada hati Davion. Maksud dari perkataan Arsen adalah topik yang sangat bertentangan jauh dari tabiat seorang pemimpin, tapi Arsen sedang menyindirnya yang tidak begitu becus menjadi seorang ayah terhadap anak sendiri. Dan mungkin itu adalah jeritan hatinya.

"Rupanya kau bangga disebut sebagai pria egois."

Davion akhirnya menatap anak semata wayangnya tersebut. "Lakukan apa pun yang mau. Kalau kau bisa menyelamatkan Lavi tanpa harus membebaskan para tahanan bukankah itu membuktikan bahwa kau memang hebat? Itu adalah nilai tambahan bagi calon penguasa."

'Apa katanya? Nilai tambahan?'

"Kalau aku berhasil membebaskan Lavi, aku akan membawanya ke kota bersamaku," Arsen menantang. Tekadnya sudah sangat bulat untuk membebaskan Lavi dari penjara terkutuk ini.

"Kau tidak mungkin melakukan itu."

"Kenapa tidak? Pengorbanan Lavi tidak pernah kau hargai, bukan? Untuk apa dia membuang-buang darah dan tenaganya melawan Nero dan mendapat penghinaan seperti ini?"

BLACK MASK [Dalam Revisi]Where stories live. Discover now