15. Distance

742 113 7
                                    

Arsen tidak berekspresi, warna kulitnya begitu buruk mengikuti suasana hatinya yang bernasib sama hari ini. Kemarahan masih berkumpul di kepala sehingga rasa sakit pada betis kakinya tidak terasa sama sekali. Dia membiarkan Gilen membebat lukanya dengan kain lusuh, itu bahkan tidak bisa dikatakan steril.

"Kau pulanglah besok, aku akan mencarikanmu kuda." Gilen berkata di antara kemarahan Arsen.

Tentu saja Arsen langsung menatap Gilen dengan tajam, urat-uratnya menonjol di dahi. "Bagaimana mungkin aku bisa kembali tanpa Lavi? Aku harus menyeretnya pulang bersamaku."

Pada dasarnya Gilen tidak pernah takut pada kekuasaan, dia tidak mudah tunduk, kemarahan Arsen tidak berarti apa-apa. Seolah-olah itu hanya sehelai daun yang terbakar matahari, panas sesaat.

Gilen berkata, "Kalau begitu kita akan membuat penginapan di tengah hutan ini. Apa tuan muda kaya tak masalah tanpa kasur emasnya beberapa hari ke depan lagi?"

Kemarahan Arsen sedikit mereda tanpa sebab. "Sepertinya kau meremehkanku. Belum pernah ditembak pistol?"

Mata Gilen mengikuti ke mana tangan Arsen tertuju, sarung kulit di pinggangnya dibuka, pistol dilempar ke tanah. Meskipun tertinggal jauh, Gilen tahu benda apa itu, Kody bahkan tahu. Penduduk Banditi selalu membawa berita dari mulut ke mulut setiap harinya, bicara apa pun yang terjadi di kemiliteran. Benda itu sangat populer karena sedang dipakai latihan oleh para prajurit di sana demi mengembangkan kemampuan bertahan mereka.

Pria dengan tato petir itu mengamati pistol di tanah. "Inikah yang disebut mereka senjata api?"

"Mana? Mana? Aku mau lihat!" Kody melompat dari batang pohon, menyambar pistol itu. "Keren sekali, tapi enteng dan tidak meyakinkan! Apa ini bisa membunuh?"

"Ingin mencoba?" Arsen menggodanya.

Kody mencibir jual mahal, melempar pistol itu tanpa daya. "Maksudnya kau ingin menembakku dengan ini? Berani sekali kau!"

Di dunia bawah, tidak akan ada yang berani bicara selancang itu pada Arsen, kekuasaannya sangat solid, semua orang takut padanya. Melihat Kody memperlakukannya seperti itu, dia merasa lucu. Posisinya sekarang hanya seorang ketua mafia yang eksistensinya layu di pulau primitif, tapi di sisi lain membuatnya merasa tenang. Arsen mengambil pistol itu dan menarik pelatuk, moncong memuntahkan peluru ke akar pohon di tanah sampai berlubang.

Suara desingan yang kuat di telinganya, membuat jantung Kody hampir melompat. "Wow, dengan sekali tembak, ginjalku bisa hancur olehnya."

Gerutuan itu seratus persen diabaikan Arsen, pistolnya disarungkan kembali pada pinggangnya. Karena hari sudah gelap, mereka memutuskan untuk mencari tempat berteduh, menghindari dingin dan binatang buas. Dengan mudahnya mereka menemukan goa yang kosong dan lembab, tapi bagian dekat pintu masuk lumayan kering dan bisa ditempati, jadi mereka segera menginvasinya.

Arsen yang tak terbiasa dengan alam liar segera menyapukan pandangannya ke liang gua, terdapat banyak kelelawar yang menggantung terbalik di atas, nampak terjaga. Di luar tiba-tiba saja hujan deras, mereka masih sangat beruntung menemukan gua kosong itu sebagai tempat berlindung.

"Gilen, buatlah api," Kody berkata memerintah, dia sibuk memakan buah sisa-sisa mereka tadi. Keadaan cuaca yang bertambah dingin membuatnya kelaparan.

Sebenarnya Kody tidak peduli apa yang terjadi pada pria blonde itu, tapi merasa kasihan juga melihatnya terluka. Melihat pria itu memiliki aura yang tajam dan cukup kasar, dia pasti bukan orang yang bisa diremehkan.

BLACK MASK [Dalam Revisi]Where stories live. Discover now